Kamis, 14 Februari 2013

Zakat Dalam Islam
            Allah Ta’ala berfirman: {Dan orang-orang yang menunaikan zakat}.[1]
Ayat di atas adalah ayat 4 surat Al Mu’minuun, surat Makkiyyah, jumlah ayat-ayatnya adalah 118 ayat setelah basmalah.
Dinamai Al Mu’minuun (Orang-orang yang beriman) karena di dalamnya ada pemujian kepada orang-orang yang beriman dari hamba-hamba Allah Ta’ala.
Di antara mu’jizat Al Qur’an Al Karim dalam kaitannya dengan pengaturan fardhu zakat:
            Zakat disebutkan dalam lebih dari tigapuluh ayat dari Al Qur’an Al Karim, dan disandingkan dengan shalat dalam kebanyakan dari ayat-ayat itu. Zakat diwajibkan oleh Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya dari kaum muslimin dalam Al Qur’an Al Karim dan fardhunya diteguhkan dalam Sunnah Nabi. Para ulama sepakat bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima.
              Asal usul “zakat” adalah perkembangan yang dihasilkan dari berkah yang diadakan oleh Allah Ta’ala dalam tiap-tiap perkara duniawi dan ukhrawi. Dari sinilah datangnya ungkapan syar’i “zakat” sebagai isyarat kepada apa yang dikeluarkan oleh seorang muslim dari hak Allah Ta’ala dalam hartanya kepada orang-orang yang berhak menerimanya dalam masyarakatnya atau di luar masyarakatnya.
Dinamai “zakat” karena di dalamnya terdapat pengharapan berkah dan pensucian, dan pembersihan harta dan jiwa, yaitu perkembangan berkah, pensucian, harta dan jiwa dengan sifat-sifat kebaikan dan berkah-berkah akibat kepatuhannya kepada perintah-perintah Allah Ta’ala. Oleh karena itu perintah untuk zakat disandingkan dengan perintah untuk shalat dalam banyak ayat-ayat Al Qur’an Al Karim, di antaranya: Firman Allah Ta’ala: {Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'}.[2]Dan firman-Nya: {Dan orang-orang yang menunaikan zakat}.[3]
Di antara makna-makna firman Allah Ta’ala {Dan orang-orang yang menunaikan zakat},[4] adalah orang-orang yang menunaikan zakat dengan harapan Allah Ta’ala menumbuhkan berkah kepada mereka, membersihkan harta mereka dan diri mereka, dan agar mereka membersihkan jiwa mereka sendiri dengan memerangi kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan pada harta benda, mendidik diri mereka dengan memberi harta mereka di jalan Allah demi mencari keredhaan-Nya.
Pada mulanya zakat di Makkah bersifat mutlak dan besarannya diserahkan kepada kebaikan seorang muslim karena kebutuhan kaum muslimin di sekitarnya pada waktu itu, namun pada sekitar tahun kedua Hijriah Allah Ta’ala menetapkan dan memerinci besaran zakat dari tiap-tiap jenis harta.
            Allah Ta’ala memerintahkan penunaian zakat dalam banyak dari ayat-ayat Al Qur’an Al Karim. Di antaranya adalah firman-Nya: {Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui}.[5]
Firman-Nya: {Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian}.[6]
Dan firman-Nya: {(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan}.[7]
Zakat adalah satu dari rukun Islam yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, diteguhkan oleh nabi Muhammad s.a.w., dan disepakati kewajibannya oleh para ulama sehingga menjadi kemestian agama, yang menjadikan pembangkangnya keluar dari agama Islam dan ditegakkan atasnya hukuman mati, karena menjadi seorang yang kafir, kecuali jika dia baru masuk Islam, maka orang itu dimaafkan karena ketidaktahuannya tentang ketetapan-ketetapannya.
Adapun orang yang menghindar dari penunaiannya-walau dia percaya pada kewajibannya-maka dia berdosa karena penghindarannya, tanpa mengeluarkannya dari agama Islam, dan seorang pemimpin muslim diwajibkan atasnya untuk mengambil zakat secara paksa darinya, dan menetapkan hukuman ta’zir kepadanya, dan jangan mengambil dari hartanya lebih banyak dari besaran zakatnya.
Sementara jika suatu kaum dari umat Islam menghindar dari penunaiannya-walau mereka percaya pada kewajibannya-sedang mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan maka diwajibkan bagi umat Islam untuk memerangi mereka agar menunaikan zakat sampai mereka menunaikannya.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. ketika mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman, dia bersabda kepadanya: (Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka jika mereka mentaati itu, maka ajarkannya kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan jika miereka mentaat itu maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka sedekah dalam harta benda mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka).[8]  
Zakat diwajibkan atas setiap muslim yang bebas dan memiliki satu dari macam-macam harta yang diwajibkan atasnya untuk mengeluarkan zakat jika telah sampai nasabnya.
Diisyaratkan agar nasab melebihi kebutuhan-kebutuhan dasar seorang muslim seperti sandang, pangan, papan, alat angkut, biaya pendidikan dan biaya kesehatan, dan telah sempurna masa haulnya yaitu satu tahun Hijriah, yang bermula dari hari kepemilikan nasab dan harus sempurna dalam masa haul seluruhnya.
Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa jika kurang dari nasab selama masa haul dan sempurna setelah itu maka permulaan haul dimulai dari hari sempurnanya nasab.
Di antara harta yang diwajibkan ditunaikan zakatnya adalah harta yang berkembang dengan sendirinya seperti biji-bijian dan buah-buahan, maka zakatnya diwajibkan pada waktu dipanen atau dipetik.
Di antaranya adalah harta yang dikembangkan seperti investasi, perniagaan, dan peternakan. Dalam hal ini zakat diwajibkan jika telah sempurna nasabnya dan telah sampai haulnya.
Orang-orang yang berhak menerima zakat ditentukan oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya: {Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana}.[9]
Yang berhak menerima zakat ialah:
1. Orang fakir: Orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: Orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus zakat: Orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: Orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: Mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang: Orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Pada jalan Allah (fisabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Zakat diharamkan atas kaum kafir dan kaum ateis, atas ahlibait Rasulullah s.a.w., atas masing-masing dari kaum bapak, kaum anak, dan isteri. Demikian pula diharamkan atas golongan yang tidak disebutkan dalam ayat 60 surat At Taubah, maka zakat tidak dikeluarkan untuk mendirikan masjid, tidak untuk mengafani orang-orang yang meninggal dunia, dan tidak pula untuk membiayai proyek-proyek pembangunan negara.
Islam memandang kepada harta dengan pandangan realistis karena harta adalah urat nadi kehidupan. Dari sinilah maka agama Islam memperhatikan penyantunan setiap orang yang hidup dalam masyarakat muslim. Hal itu dengan memenuhi kebutuhan mereka dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan keperluan-keperluan dasar yang lain.
Di antara media yang paling baik untuk memenuhi itu adalah ketetapan wajib zakat yang orang kaya niscaya tidak disempitkan dadanya untuk menunaikannya, dan dengannya orang-orang yang berhak menerimanya naik ke batas yang cukup untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan mereka dan memelihara martabat mereka. Hal itu karena zakat bukanlah karunia dari orang kaya kepada orang miskin, tetapi zakat adalah hak Allah Ta’ala yang disimpan pada orang kaya agar dia menunaikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya sehingga harta itu tidak beredar pada orang-orang kaya saja.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya}.[10]
Dan firman-Nya: {Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang}.[11],
Ayat di atas berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema'afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.
Hikmah dari ketetapan hukum zakat terlihat dengan jelas pada butir-butir berikut:
1-      Sesungguhnya harta itu adalah harta Allah dan bahwa orang-orang kaya dijadikan-Nya untuk menguasainya. Hal itu sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar}.[12]Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia yang menafkahkan hartanya tidak memiliki hak untuk menolak perintah sang pemilik harta hakiki yang mewajibkannya untuk menunaikan zakat. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. bersabda: (Zakat itu diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang yang fakir di antara mereka).[13] Jadi zakat itu adalah salah satu kewajiban atas negara Islam untuk meaksanakan dan mengaturnya.
2-      Sesungguhnya orang-orang kaya jika mereka mengeluarkan zakat harta mereka kepada orang-orang yang berhak menerimanya dalam masyarakat muslim, maka mereka telah menutupi kebutuhan kaum fakir miskin dan kebutuhan orang-orang lain yang berhak menerimanya, yang pada gilirannya memenuhi pemerataan pembagian harta, memulihkan berbagai persoalan masyarakat, membantu untuk menghilangkan kedengkian kepada orang-orang kaya dari orang-orang miskin, dan mengikat mereka dengan ikatan persaudaraan pada jalan Allah. Maka orang kaya memberi hartanya sebagai bentuk pembersihan atas jiwanya dan hartanya, sebagai bentuk penunaian hak Allah dan sebagai bentuk pencarian keredhaan-Nya, sedang orang fakir memuji orang kaya atas kesantunannya padanya dan perasaannya kepada persoalan-persoalannya maka dia menghargainya, yang pada gilirannya masyarakat dibangun atas dasar hubungan baik antara orang-orang yang kaya dan orang-orang yang miskin di antara mereka dan berkurang kejahatan di dalamnya. Rasulullah s.a.w. bersabda: (Bukanlah seorang mu’min yang kenyang sedang tetangganya lapar dan dia mengetahui).[14] 
3-      Sesungguhnya masyarakat manusia dibangun oleh seluruh anggotanya dari orang-orang kayanya dan orang-orang miskinnya, maka jika orang-orang yang kayanya menunaikan hak zakat mereka maka sehatlah masyarakat itu secara materil dan moril, berbahagialah orang-orang yang ada di dalamnya, dan mampu memulihkan persoalan-persoalan yang dihadapinya, tetapi jika mereka menghindari zakat maka hancurlah masyarakat itu secara materil dan moril dan menderitalah orang-orang yang ada di dalamnya.
4-      Sesungguhnya pengeluaran zakat harta sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum syariat tidaklah akan memiskinkan orang kaya, bahkan menambah subur hartanya dan berkahnya, menambahkan dalam dan kuat keimanannya kepada Allah Ta’ala, dan menutupi kebutuhan orang-orang yang berhak menerimanya, maka naiklah derajat masyarakat itu secara keseluruhan, karena masyarakat yang bertambah kaya orang-orang kaya di dalamnya dan bertambah miskin orang-orang miskin di dalamnya adalah masyarakat yang sakit karena dipenuhi dengan ke-ego-an pada orang-orang yang kaya, dan kebencian dan kedengkian pada orang-orang miskin, yang pada gilirannya meninggikan persentase kejahatan, dan hilanglah nikmat keseimbangan ekonomi dan nikmat keseimbangan keamanan social dalam masyarakat.
5-      Sesungguhnya pengeluaran zakat harta sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum syariat membawa kepada kesetaraan pembagian harta dalam masyarakat, juga memenuhi tanggungjawab orang-orang kaya di dalamnya terhadap orang-orang yang berhak menerimanya, karena jika hilang tanggungjawab tersebut maka runtuhlah masyarakat karena ketimpangan pembagian harta di dalamnya.


[1] Surat Al Mu’minuun: 4
[2] Surat Al Baqarah: 43
[3] Surat Al Mu’minuun: 4
[4] Surat Al Mu’minuun: 4
[5] Surat At Taubah: 103
[6] Surat Adz Dzariyaat: 19
[7] Surat Al Hajj: 41
[8] Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
[9] Surat At Taubah: 60
[10] Surat Al Hasyr: 7
[11] Surat An Nuur: 22
[12] Surat Al Hadiid: 7
[13] Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
[14] Hadis riwayat Hakim dalam Al Mustadrak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar