Rabu, 13 Februari 2013

Hilangnya Identitas Bangsa Arab
          Kekacauan yang tak henti-hentinya di Timur Tengah, berbagai malapetaka serius yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir di banyak kawasan di Timur Tengah, dan meningginya tindakan-tindakan terorisme, tidak lain adalah indikasi-indikasi penting dari krisis psikologis massal yang menerpa masyarakat Arab.
          Sejarah membuktikan bahwa perang saudara dan tindakan terorisme sesungguhnya lahir dari krisis identitas massal dan keretakan elemen-elemen utamanya. Identitas massal itu biasanya merekat seluruh lapisan masyarakat dengan segala perbedaan asal usulnya, bahasanya, agamanya dan golongannya.
          Demikianlah kasus yang terjadi pada kekaisaran Rusia di akhir abad sembilanbelas dan awal abad duapuluh. Sesungguhnya meningginya tindakan-tindakan terorisme terhadap simbol-simbol otoritas sipil dan militer bahkan terhadap rakyat yang tak berdosa, di bawah pengaruh doktrin-doktrin ambisius, telah membuka jalan bagi kehancuran kekaisaran Rusia dan naiknya segelincir orang dari orang-orang komunis ke puncak kekuasaan.
Demikian pulalah kasus yang terjadi di Amerika Latin pada tahun 60-an dan 70-an abad duapuluh tatkala gerakan-gerakan pemberontakan bersenjata bermunculan di beberapa negara, merongrong ketenteraman regime-regime politik, sehingga militer melakukan kudeta secara kejam dan buas seperti di Argentina, Brazil dan Chili, membungkam kebebasan manusia, membunuh atau memasukkan ke penjara ribuan orang yang tak berdosa, dan menculik mereka tanpa harapan dapat kembali. Di Amerika Latin masih ada gerakan-gerakan pemberontakan bersenjata yang aktif hingga kini seperti di Peru dan Kolombia yang pada gilirannya melahirkan kekacauan-kekacauan yang tak henti-hentinya, penculikan, dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tak berdosa.
 Seperti itu pula yang terjadi di Kamboja akibat rongrongan regime politik Kamboja selama perang Amerika Serikat lawan Vietman, yang pada gilirannya memunculkan pembantaian massal yang mencekam oleh regime Khmer Merah dan mengakibatkan tiga juta orang tewas.
Setiap orang pasti ingat kasus-kasus histeris massal yang beberapa tahun lalu dialami oleh masyarakat Yugoslavia dan mengakibatkan pecahnya perang antar provinsi-provinsi Yugoslavia yang kemudian lepas dari pemerintah pusat walau ada kesamaan sejarah dan bahasa kecuali dalam kasus Kosovo.
Demikian pula halnya dengan gelombang teror dalam masyarakat Barat dan Jepang pada tahun 60-an abad duapuluh, yang bersumber dari gerakan-gerakan yang mengangkat bendera Marxisme, menculik, dan membunuh para pengusaha dan politikus dalam masyarakat-masyarakat yang mapan seperti masyarakat Italia atau Jerman atau Prancis. Gelombang teror ini mencerminkan sikap penolakan mutakhir terhadap perkembangan dan ekspansi kapitalisme.
  Jika kita melihat kepada contoh-contoh kekerasan yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda itu, maka sesungguhnya kita melihat bahwa persamaan yang ada dalam masyarakat-masyarakat itu adalah runtuhnya tata nilai masyarakat yang mengikat sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain dan menjadikan perilaku mereka berjalan secara wajar dan benar tanpa dikotori oleh ketegangan atau kekerasan di antara mereka.
Pertanyaan dasar yang muncul adalah mengapa tata nilai masyarakat Arab dan masyarakat Islam menjadi lunak sehingga banyak kekerasan yang mengakibatkan pembunuhan terhadap orang-orang yang tak berdosa di tangan gerakan-gerakan yang kebanyakan membawa bendera agama sebagaimana terjadi dari waktu ke waktu di negara-negara Arab seperti Aljazair, Irak, Lebanon, Saudia Arabia, Mesir, Yordania dan Mroko, dan di negara-negara Islam seperti di Indonesia, Afghanistan dan Pakistan?
Bisa jadi krisis kekerasan yang sering terjadi di negara kita berangkat dari kegagalan pembauran masyarakat Indonesia yang beraneka suku dan agama.
Benar bahwa masyarakat-masyarakat Arab, seperti masyarakat yang lain, mempunyai ragam kawasan dan aneka suku namun pada masyarakat-masyarakat Arab tidak terdapat perbedaan bangsa dan bahasa kecuali pada bangsa Kurdi di belahan timur dari Dunia Arab dan bangsa Amazighi di belahan barat dari Dunia Arab, di samping bangsa Armania di beberapa negara Arab khususnya Syria dan Lebanon, yang lari dari pembantaian yang mereka alami dari tangan orang-orang Turki selama Perang Dunia Pertama.
Masalah Kurdi tidak saja memunculkan persoalan yang kronis di Irak tetapi juga merambah ke Turki dan Iran. Masalah Kurdi inipun tidak saja memunculkan tindakan-tindakan terorisme tetapi juga memunculkan perseteruan militer yang berkepanjangan dengan campurtangan pihak luar. Sedangkan masalah Amazaghi tidak ada kaitannya dengan tindakan-tindakan terorisme yang terjadi di belahan barat dari Dunia Arab.
Persoalannya bahwa bangsa Arab tidak pernah sepakat untuk menentukan identitas mereka sendiri. Nasionalisme Arab moderen telah diwarnai dengan berbagai macam warna sejak permunculan benih-benih awal “Kepribadian Arab Bersama” di abad sembilanbelas setelah kepribadian tersebut redup selama beberapa abad tatkala unsur non-Arab khususnya Turki menguasai Dunia Arab. Ketika kebangkitan Arab pertama muncul di awal abad sembilanbelas, tokoh-tokoh budaya dari para pemuka masyarakat dan agama mulai berpikir tentang pembentukan kembali identitas Arab yang bebas dari regime kesultanan Ottoman yang berkuasa di kala itu. Pada hakikatnya perseteruan ideologi telah dimulai sejak saat itu antara para pengikut nasionalisme Islam yang berusaha menjaga kesatuan antara Arab dan non-Arab dari kaum muslimin dengan aliran yang berusaha untuk memastikan “Kepribadian Arab Bersama” dalam masyarakat-masyarakat yang kebanyakan penduduknya beragama Islam. Perseteruan tersebut diterjemahkan di awal abad duapuluh, dalam situasi runtuhnya kesultanan Ottoman, dengan persaingan antara para pemimpin politik Arab baru yang bermunculan di pentas Dunia Arab untuk mewarisi kekhalifahan Islam pasca pembubarannya di Turki di tangan Mustafa Kemal.
Dalam beberapa dekade perseteruan antara aliran-aliran ideologi yang bertumpu pada agama dan nasionalisme yang bertumpu pada budaya dan bahasa semakin membesar. Perseteruan itu mengambil karakter politik yang tajam di bawah naungan perkembangan “fanatisme Pan Arabisme”. Tiap-tiap negara Arab mengklaim kepeloporannya untuk memimpin perjalanan Arab dalam tata dunia yang moderen pasca pembubaran kesultanan Ottoman dan penjajahan Eropa. Perseteruan itu mengakibatkan kepada perseteruan-perseteruan destruktif yang melumpuhkan kesetiakawanan atau solidaritas dalam kaitannya dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh bangsa Arab pasca kemerdekaan, baik dalam kaitannya dengan sikap Arab Bersama dalam Perang Dingin, pembelaan hak-hak rakyat Palestina, penghentian ekspansi dan pendudukan Israel atas tanah-tanah Arab, maupun dalam kaitannya dengan Revolusi Iran Khomeinisme.
Dengan demikian kawasan Arab menjadi kawasan yang hampa kekuatan-power vacuum dengan lenyapnya solidaritas antara satu negara dengan negara yang lain, yang pada gilirannya mendatangkan lebih banyak campurtangan pihak luar dalam urusan Arab dan masuknya Arab ke dalam persekutuan dengan kekuatan-kekuatan asing yang berseteru demi meraih pengaruh atas kawasan itu.
Sampai hari ini bangsa Arab tidak dapat menyelesaikan masalah identitas mereka yang terbelah antara konsep “nasionalisme Islamisme” yang bertumpu pada agama dan konsep “nasionalisme Arabisme” yang bertumpu pada bahasa, budaya dan kesamaan sejarah. Perseteruan ini telah mengakibatkan pengetahuan yang timpang tindih tentang sejarah, situasi, dan psikologi bangsa Arab dengan berbagai macam warnanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar