Rabu, 13 Februari 2013

Bahasa adalah senjata

Peperangan melahirkan suatu ide di benak umat manusia, demikian pula dengan perdamaian, iapun melahirkan suatu ide di benak umat manusia. Maka benarlah kiranya hakikat perkataan bahwa perang dan damai itu sebenarnya telah lahir di benak manusia jauh sebelum keduanya lahir ke alam nyata.
Dan dikarenakan bahwa suatu ide tidaklah lahir di luar kerangka, suku kata, dan terminologi bahasa, maka perhatian terhadap penyebaran ideologi dan informasi bagi ide tersebut pastilah beriringan dengan pemilihan suku kata dan terminologi yang dipakai dalam penyebaran ideologi atau informasi ide itu sendiri.
Seorang pengamat sejarah tentang pertikaian besar umat manusia sepanjang masa niscaya akan mendapati bahwa sesungguhnya ada kepedulian yang tak henti-hentinya terhadap pemilihan kata-kata ”rhetorika” yang membuka jalan bagi ”suatu perbuatan” dan bahwa tiap-tiap masa mempunyai kata-kata ”rhetorika” yang mendahului ”perbuatannya”.
Di sepanjang zaman pastilah ada orang-orang yang menata bahasa ”rhetorika” dengan anggapan bahwa suatu ide itu harus dapat diterima oleh masyarakat umum sebelum ide itu diterapkan, atau atas dasar bahwa diterimanya ide tersebut akan mengantarkan kepada suatu suatu perbuatan.
Dari sinilah pentingnya bahasa dalam suatu pertikaian antar dua musuh atau antar dua puhak yang bertikai, bahkan pentingnya bahasa itupun terlihat dengan jelas dalam situasi kerjasama dan dialog.
Sejarah dipenuhi berbagai contoh yang menunjukkan betapa pentingnya bahasa dalam suatu pertikaian antar dua pihak, terutama dalam pertikaian-pertikaian besar antar umat dan antar peradaban.
Hal itu karena peralihan pertikaian politik, misalnya, ke dalam suatu peperangan, atau ke dalam suatu situasi damai, tidaklah berlangsung dengan serta merta, akan tetapi berlangsung melalui proses pendahuluan yang di dalamnya bahasa memainkan peranan menentukan guna mempersiapkan benak manusia dalam rangka menerima perbuatan perang atau siatuasi damai.
Bahasapun membentuk opini pada masing-masing pihak tentang sikapnya terhadap sikap musuhnya, yang bisa jadi opini tersebut mengakibatkan kekacauan, ketidak tenteraman, dan rasa ragu.
Ada dua contoh di antara berbagai contoh yang menunjukkan betapa pentingnya bahasa dalam membentuk opini masyarakat. Satu di antara dua contoh itu adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di abad pertengahan antara kaum musli dan musuh-musuhnya, dan kedua adalah peristiwa-peristiwa yang sedang berlangung di masa sekarang antara kaum muslim dan musuh-musuhnya.
Kedua contoh itu sangat penting lantaran keduanya memiliki pentas yang sama yaitu tanah suci Palestina dengan segala simbol peradaban, nasionalisme, dan agamanya. Pentas yang dengan segala cirikhas dan karakter geografinya, itulah yang menjadi saksi pertikaian antara kaum muslim dan kaum Salib sepanjang dua abad antara penghujung abad ke-11 sampai penghujung abad ke-13 masehi, dan menjadi saksi pertikaian antara kaum muslim dan Zionis sejak penghujung abad ke-19 hingga kini.
Kaum Salib memakai bahasa secara kelewat batas dalam rangka mempersiapkan Barat Eropa untuk melancarkan perang melawan kaum muslim di kawasan Arab dan bahasa yang dipakaipun disesuaikan dengan mentalitas Eropa di kala itu. Mereka mencampur adukan bahasa mereka orasi mereka antara orasi agama dan orasi politik dengan segala apa yang terkandung di dalamnya dari iming-iming duniawi seperti harta rampasan perang dan keagungan pribadi.
Propaganda takha suci di abad pertengahan menggunakan bahasa untuk melebelkan sifat-sifat buruk dan permusuhan terhadap Islam, kaum muslim, dan bangsa Arab, menggambarkan Nabi Muhammad saw dengan berbagai macam sifat dan yang paling hina adalah sebagai ”Dajjal”, melukiskan kaum muslim sebagai ”kaum kafir”, menuduh kaum muslim sebagai ”kaum yang melakukan penyiksaan keji, kejam dan brutal terhadap kaum kristiani di negeri mereka”, ”kaum yang mengotori gereja-gereja dan tempat-tempat suci kristiani dengan cara-cara yang paling menjijikkan”, dan ”kaum yang melarang kaum kristiani memraktekan ritual-ritual agama mereka”.
Sedangkan terhadap kaum kristiani Katolik, Propaganda takhta suci menggunakan bahasa dengan suku kata yang menggambarkan mereka sebagai ”bangsa Allah yang terpilih”, ”bangsa yang perkasa dan berani”, ”pemilik sejati Palestina”, tanah air yang digambarkan oleh kitab suci Injil sebagai ”tanah yang di dalamnya berlimpah susu dan madu”. Tulisan-tulisan propaganda takhta sucipun mencampur adukkan ayat-ayat kitab suci Injil dengan penuturan-penuturan para paus, pendeta, rahib, dan misionaris takhta suci.
Propaganda takhta suci menggambarkan kaum kristiani sebagai ”pasukan Tuhan”, ”Tentara Kristus” dan ”Peziarah tanah suci”, melukiskan ekpedisi-ekspidisi Salib sebagai ”Perjalanan ziarah tanah suci” dan ”Ekpedisi-ekpedisi suci”, mengkaitkannya dengan Salib sebagai simbol pengorbanan dan penebusan dalam agama kristen maka mereka menjadi kaum Salib, bahkan terminologi Salib dan kaum Salib itupun berkembang dalam kesusasteraan Barat modern menjadi arti yang agung, mulia, dan baik, seperti ekpedisi dana sumbangan penyelamatan orang-orang sakit kanker yang disebut sebagai ”ekspedisi Salib” dan orang yang baik dan mulia disebut sebagai ”orang Salib”.
Demikianlah, bahasa merupakan faktor penentu dalam merangkul anak bangsa Eropa agar mereka bersedia pergi, dalam jumlah yang tak pernah ada tandingannya, melakukan perjalanan bersenjata yang panjangnya 1.200 mil dari negeri mereka untuk membunuh bangsa Arab dan kaum muslim setelah benak mereka dirasuki oleh ide-ide bahwa mereka sesungguhnya melakukan suatu tindakan yang benar dan bahwa kaum muslim berhak untuk dibunuh dan dibinasakan.
Pada sisi yang lain, kaum muslimpun menggunakan bahasa yang sesuai dengan situasi sejarah, dalam rangka mempertahankan jiwa raga, tempat-tempat suci, dan tanah air mereka. Para alim ulama, cendekiawan, dan budayawan muslim berlomba-lomba menerangkan kemuliaan ”berjihad”, ”orang-orang yang berjihad”, dan kedudukan Baitulmaqdis dalam warisan Arab Islam serta kaitannya dengan perjalanan Israa dan Mi’raaj Nabi Muhammad saw.
Dari lain sisi, mereka menggunakan bahasa yang sesuai dengan peradaban dan budaya mereka dalam menuturkan kaum Salib yang melakukan agresi terhadap mereka, merekapun sudah barang tentu menggambarkan kaum Salib sebagai ”kaum Kafir”, akan tetapi mereka menggunakan sifat-sifat yang realitas terhadap kaum Salib. Sifat-sifat itupun beragam sesuai dengan ragam individu dari para pemimpin kaum Salib yang mereka hendak gambarkan. Mereka melukiskan para pemimpin kaum Salib sebagai orang-orang kafir, tanpa perlu menyebutkan kafir kepada seluruh kaum kristiani.
Pertikaianpun berakhir dengan keluarnya kaum Salib dari tanah air bangsa Arab setelah tentara Mesir dan pasukan negeri Syam dibawah pimpinan Sulan Agung Khalil bin Qalawwun berhasil mengembalikan benteng kaum Salib terakhir di Akka tahun 1291 masehi dan mengusir sisa-sisa kaum Salib dari negeri Syam.
            Abad demi abad berlalu, terjadilah apa yang terjadi selama masa itu terhadap Barat Eropa dan terhadap Dunia Arab, dan oleh karena berbagai sebab maka bangsa Arab mengalami kemunduran sedang bangsa Barat Eropa dan Amerika Serikat mengalami kemajuan, kemudian bangsa Barat menancapkan kekuasannya atas Dunia Arab lewat gerakan penjajahan yang mulai memperlihatkan cengkeramannya di kawasan Arab sejak abad ke-19, selama masa itu bangsa Barat berhasil mengosongkan identitas peradaban dan budaya bangsa Arab, mereka memusatkan kerja keras mereka pada dua bidang utama yaitu peradilan dan pendidikan, dan dibawah klaim-klaim reformasi maka berubahlah sistem peradilan dan pendidikan di kawasan Arab dengan meniru pada sistem-sistem Barat, dan pada gilirannya Dunia Arabpun menjadi turutan budaya Barat.
            Sebelum ketuatan-kekuatan penjajahan Eropa meninggalkan kawasan Arab dibawah tekanan gerakan-gerakan nasionalisme di negara-negara Dunia Arab, mereka menanamkan di atas tanah air bangsa Arab entitas Zionisme yang memisahkan belahan timur dengan belahan barat Dunia Arab. Gerakan pemukiman Zionisme dimulai sejak dini di penghujung abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, maka pertikaianpun mulai mengambil ragam bentuknya, di antaranya di bidang budaya dan ideologi.
            Sejak semula, gerakan Zionisme menaruh perhatian besar pada dimensi budaya dalam pertikaian itu: Mereka mendirikan pusat-pusat pengkajian dan penelitian, sekolah-sekolah, universitas-universitas untuk menyebarluaskan ideologi Zionisme dari satu sisi, dan untuk menanamkan terminologi-terminilogi dan konsep-konsep yang menyesatkan dari lain sisi.
            Situasi objektif sejarah di Dunia Arab menunjukkan ketidakmampuan budaya, maka bangsa Arab tidak mearuh perhatian kecuali terhadap segi militer dalam pertikaian kendati lemahnya perangkat dan peralatan militer mereka.
Kaum Zionis menggunakan bahasa secara intensif, sementara bangsa Arab gagal dalam menggunakan bahasa secara orasi maupun terminologi, baik pada taraf nasional maupun pada taraf internasional, lantaran bahasa orasi mereka tak berubah seperti ketika mereka menggunakannya pada abad-abad silam.
Dalam tulisan-tulisan dan siaran-siaran radio Zionisme muncul ungkapan-ungkapan dan terminologi-terminologi yang menyiapkan benak masyarakat untuk menerima perampasan Palestina, maka muncullah tulisan-tulisan dan beredarluaslah ungkapan-ungkapan tentang ”tanah air tanpa bangsa bagi bangsa tanpa tanah air”, tentang ”tanah air bangsa Yahudi”, tentang ”Bangsa Allah yang terpilih”, ”tanah air yang dijanjikan”, dan tentang ”Kembalinya bangsa Yahudi terpencar ke tanah air mereka setelah dua ribu tahun”. Sementara orasi bangsa Arab masih bersifat lokal dan terbelah-belah, bahkan sebagian negara-negara Dunia Arab merupakan ruang terbuta bagi propaganda Zionisme melalui media massa dan percetakan dan radio.
Ketika malapetaka terjadi tahun 1948, dengan dideklarasikannya berdirinya negara Israel di atas tanah air Palestina yang dirampas: Propaganda Zionisme berbicara tentang ”perang pembebasan” dan bangsa Arabpun berbicara tentang ”malapetaka” dan ”para pengungsi”. Sepanjang tahun demi tahun pasca berdirinya entitas Zionis, bangsa Arab tetap saja tak beralih dari orasi antuisme dan propaganda semu, mereka tidak pernah berusaha mengkaji ragam sisi tentang entitas asing tersebut. Barat mulai berbicara tentang ”apa yang disebut degan Israel”, sementara bangsa-bangsa Arab tetap pada ketidaktahuannya pada fakta-fakta dan dimensi-dimensi pertikaian tersebut lantaran lembaga-lembaga resmi Arab berpegang teguh agar tidak menyebutkan sesuatu tentang ”musuh”.
Kemudian terjadilah kekalahan tahun 1967, yang merupakan sebuah trauma kuat bagi Arab di segala tingkatan, lantaran bahasa orasi Arab telah menanamkan suatu halusinasi besar di benak dan akal pikiran masyarakat di seluruh penjuru Dunia Arab, maka mulailah muncul secara malu-malu upaya-upaya untuk memahami dan menghimpun sebanyak mungkin informasi tentang ”musuh”, kelihatannya bahwa orasi Arab mulai menggunakan bahasa yang lebih baik dalam menggambarkan ”musuh”, tujuannya adalah melenyapkan dampak agresi.
Lalu datanglah perang Oktober 1973. Arab meraih kemenangan besar pertama mereka atas entitas Zionis. Amerika Serikat bersegera menyelamatkannya dengan upaya militer langsung, dan terjadilah apa yang terjadi setelah itu yang mengantarkan pada penandatanganan perjanjian Camp David. Kontakpun menjadi terbuka secara langsung dengan sang musuh. kendati banyak percakapan tentang ”perdamaian” namun pertikaian tetap pecah di bidang ideologi dan budaya, sebagaimana juga tetap berkobar di medan perang dan politik.
Dalam suasana seperti itu, beredarlah terminologi-terminologi dan slogan-slogan baru yang dimunculkan oleh kaum Zionis, dan diungkapkan oleh Arab tanpa sadar. Maka kawasan Arab berubah menjadi ”kawasan Timur Tengah” dan ”masalah Palestina menjadi ”Krisis Timur Tangah”, bahkan mulai pulalah pembicaraan tentang ”normalisasi” dalam hubungan antara Arab dan Israel. Sesungguhnya terminologi-terminologi seperti itu membangun konsep-konsep sesat, juga menjadikan Arab tidak sadar akan dimensi-dimensi permasalannya yang hakiki, sebab penggunaan terminologi ”Timur Tengah” menggantikan ”kawasan Arab” mengenyampingkan peradaban Arab dan menghilangkan mereka dari sejarah mereka, dan secara terselubung juga berarti pengakuan terhadap entitas Zionis sebagai bagian dari kawasan.
Walaupun terminologi itu adalah penemuan penjajahan Barat, namun propaganda Zionisme berhasil menggunakannya demi kepentingannya.
Dari sis yang lain, sesungguhnya pembicaraan tentang ”krisis Timur Tengah” sepenuhnya menafikan pemikiran perampasan tanah Palestina yang disebutkan dengan sebutan ”masalah Palestina”, bahkan terminologi ”naturalisasi” menunjukkan kepada kembalinya hubungan antara dua musuh ke sedia kala setelah dikeruhkan oleh suatu kejadian luar biasa, dan hubungan alami satu-satunya yang memungkinkan antara sang perampas dan orang yang tanah airnya dirampas adalah permusuhan, itulah hubungan antara gerakan Zionisme dan bangsa Arab.
Demikianlah kita mendapati pembicaraan tentang ”saling tukar-menukar kekerasan” dalam menggambarkan agresi Israel atas bangsa Palestina dari satu sisi, dan intifadah Al Aqsa dari sisi yang lain, juga kita mendapati ungkapan-ungkapan seperti ”tindakan-tindakan bunuh diri” dalam menggambarkan tindakan-tindakan kepahlawanan yang di dalamnya para penguang Palestina gugur dan mereka sedang berjuang melawan musuh, bahkan ada pula yang mengikuti propaganda Zionisme dan Barat dalam menggambarkan tindakan-tindakan perlawanan sebagai tindakan-tindkan terorisme.
Para pemimpin Israel dengan fasih melontarkan orasinya sedang para pemimpin Arab tak mampu melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar