Kamis, 14 Februari 2013

Dzulqarnain a.s.-2
          Allah Ta’ala berfirman: {Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya"}.[1]
Ayat di atas adalah ayat 83 surat Al Kahfi. Surat ini terdiri dari 110 ayat setelah basmalah, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Dinamai Al Kahfi artinya “Goa” dan Ashhabulkahfi artinya “Penghuni-penghuni goa” yaitu para pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka. Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam surat ini pada ayat 9 sampai ayat 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam goa di salah satu gunung yang mengitari kota mereka selama 309 tahun Qamariah, pada zaman yang dikuasai oleh persekutuan kepada Allah dan pembangkangan kepada perintah-perintah-Nya. Setelah ketidakhadiran mereka yang lama dari kehidupan di sekitar mereka, Allah Ta’ala membangkitkan mereka dengan suatu mu’jizat yang memperlihatkan bahwa Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Selain cerita tersebut terdapat juga beberapa buah cerita dalam surat ini, yang kesemuanya mengandung i’tibar dan pelajaran yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Banyak hadis-hadis Rasululah s.a.w. yang menyatakan keutamaan membaca surat ini.
Pokok-pokok isinya:
1-      Keimanan: Kekuasaan Allah Ta’ala untuk memberi daya hidup pada manusia di luar hukum kebiasaan, dasar-dasar tauhid serta keadilan Allah Ta’ala tidak berubah untuk selama-lamanya, kalimat-kalimat Allah (ilmu-Nya) amat luas sekali, meliputi segala sesuatu, sehingga manusia tidak mampu buat menulisnya. Kepastian datangnya hari berbangkit. Al Qur’an adalah kitab suci yang isinya bersih dari kekacauan dan kepalsuan.
2-      Hukum-hukum: Dasar hukum wakalah (berwakil), larangan membangun tempat ibadah di atas kubur, hukum membaca “Insya Allah”, perbuatan salah yang dilakukan karena lupa adalah dimaafkan, kebolehan merusak suatu barang untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar.
3-      Kisah-kisah: Cerita Ashhabulkahfi, cerita dua orang laki-laki yang seorang kafir dan yang lainnya mu’min, cerita nabi Musa a.s. dengan Khidhr a.s., cerita Dzulqarnain dengan Ya’juj dan Ma’juj.
4-      Dan lain-lain: Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari cerita-cerita dalam surat ini antara lain tentang kekuatan iman kepada Allah Ta’ala serta ibadah yang ikhlas kepada-Nya, kesungguhan seseorang dalam mencari guru (ilmu), adab sopan santun antara murid dengan guru, dan beberapa contoh tentang cara memimpin dan memerintah rakyat, serta perjuangan untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan Negara.
Surat Al Kahfi berkisar sekitar persoalan akidah Islam seperti golongan surat-surat Makkiyyah yang lain, bersandar pada keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, tiada seorangpun yang setara dengan Dia, tiada yang menyekutukan-Nya, tiada yang menyerupakan-Nya, dan luput dari sifat-sifat ciptaan-Nya dan dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya, beriman kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, dan kepada qadr yang baiknya maupun yang buruknya, serta kepada risalah manusia dalam kehidupan ini yaitu sebagai hamba Allah dan menyembah-Nya sesuai dengan apa yang Dia perintahkan kepadanya, menjadi khalifah di muka bumi dengan memakmurkannya dan menegakkan ketetapan-Nya dan keadilan-Nya di muka bumi.
Untuk menegaskan itu maka surat ini menyampaikan tiga cerita dan memaparkan tiga perumpamaan yang dapat diambil darinya pelajaran dan ketauladanan. Yang pertama adalah cerita Ashhabulkahfi. Yang kedua adalah cerita nabi Musa a.s. dengan Khidhr a.s., dan yang ketiga adalah cerita Dzulqarnain dengan Ya’juj dan Ma’juj. Sementara perumpamaan pertama adalah perumpamaan orang kaya yang sesat jalan dengan hartanya dan orang fakir yang mulia dengan keimanannya kepada Tuhannya. Perumpamaan kedua untuk meneguhkan ketidakkekalan kehidupan dunia dan kemestian kebinasaannya, dan perumpamaan itu diserupai dengan tumbuhnya tumbuh-tumbuhan setelah turun hujan dari langit, berbuah, matang, petik, atau panen, kemudian musim kemarau sehingga angin membawanya. Perumpamaan ketiga tentang hukuman bagi kesombongan dan sesat jalan sebagaimana telah dialami oleh Iblis yang terkutuk dengan pengusirannya dari surga, pengharamannya dari rahmat Allah sebagai balasan atas pembangkangannya kepada perintah Tuhannya, dan keengganannya untuk sujud hormat kepada bapak kita Adam a.s., sebagaimana diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya.

Dzulqarnain dalam Al Qur’an Al Karim:
Hamba saleh yang dijuluki Dzulqarnain yang berarti “Sang Dua Tanduk” disampaikan dalam enambelas ayat dalam surat Al Kahfi dan julukannya disebutkan sebanyak tiga kali dalam firman Allah Ta’ala: {Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya". Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuh suatu jalan. Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: "Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka. Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami". Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" Dzulkarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar"}.[2]
Firman Allah Ta’ala: {Mereka akan bertanya kepadamu} adalah firman-Nya yang ditujukan kepada sang penutup para nabi dan rasul Muhammad s.a.w.
Di antara sebab-sebab diturunkannya surat Al Kahfi bahwa orang-orang kafir Makkah mengirim utusan mereka kepada ahli kitab dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang berada di pinggiran Jazirah Arab untuk meminta kepada mereka tentang pertanyaan-pertanyaan yang mereka akan lontarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. untuk memastikan kebenaran kenabiannya, maka orang-orang Yahudi berkata kepada mereka: “Tanyakanlah kepadanya tentang seorang yang berkeliling di muka bumi, tentang sekelompok pemuda dan tentang perbuatan mereka, dan tentang roh. Maka turunlah kepadanya surat Al Kahfi dan di dalamnya terdapat jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu semuanya.
Al Azraqi dalam bukunya Akhbaru Makkah menyebutkan bahwa Dzulqarnain adalah seorang yang beriman kepada risalah Ibrahim a.s. dan bertawaf di Baitullah bersama Ibrahim a.s. setelah dia meninggikan tiang-tiang Baitullah itu. Jika kita menerima pendapat itu maka kita tahu tentang waktu kedatangan Dzulqarain karena Ibrahim a.s. hidup di milenium kedua sebelum Masehi antara tahun 1861-1686 sebelum Masehi atau antara 2000-1825 sebelum Masehi.
Al Qur’an Al Karim memberitahukan kepada kita bahwa Dzulqarnain adalah seorang raja yang beriman dan saleh, maka Allah Ta’ala telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, menguatkan kerajaannya, dan memudahkan kepadanya penaklukan-penaklukannya. Dalam hal itu Allah Ta’ala berfirman kepada sang penutup para nabi-Nya dan rasul-Nya: {Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya". Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuh suatu jalan}.[3]  
Telah banyak pembicaraan tentang Dzulqarnain. Buku-buku para sejarawan dipenuhi dengan berita-berita tentangnya. Tetapi Al Qur’an Al Karim ketika memaparkan kisah seorang nabi Allah atau sikap satu umat-Nya atau perjalanan salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang saleh maupun hamba-hamba-Nya yang jahat, maka hal itu dimaksudkan sebagai suri teladan dan pelajaran, bukan untuk menceritakan secara rinci peristiwa-peristiwa sejarah. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman tentang Dzulqarnain: {Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya"}.[4] Walau demikian beberapa ahli sejawah berusaha untuk menyampaikan secara lebih rinci tentang pribadi Dzulqarnain.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Dzulqarnain adalah salah seorang dari raja-raja Al Tababi’ah dari keturunan Humair putera Saba’. Ibnu Hisyam menyampaikan bahwa Dzulqarnain adalah Alexander Agung dari Macdonia. Al Maqrizi menuliskan bahwa Dzulqarnain adalah orang Arab dari keturunan Huud a.s. dan salah seorang dari raja-raja Humair dan namanya banyak disebutkan dalam syair-syair Arab.
Abulkalam Arad berpendapat bahwa Dzulqarnain adalah Korsh Agung yang hidup di abad keenam sebelum Masehi, dan banyak bertoleransi dengan mereka, tetapi pertanyaan yang dilontarkan oleh orang-orang Yahudi kepada Rasulullah s.a.w. tentang Dzulqarnain membuktikan bahwa namanya telah disebutkan dalam Taurat yang diturunkan sedikitnya sembilan abad sebelum masa kerajaan Corsh.
Muhammad Ali Al Bar dalam bukunya Idhaat Qur’aniah Wa Nubbuwiah Fii Tarikh Al Yaman menyebutkan bahwa kerajaan Al Tababi’ah telah menguasai dunia di masanya, dan salah seorang dari mereka bernama Tebe Al Aqran adalah Dzulqarnain yang menguasai dunia dan disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim. Demikian pula di antara mereka ada yang sampai ke China, Tibet, Turkistan, dan membangun Samarqand, pergi ke Afrika, menguasai Mesir, Afrika Utara, dan negeri-negeri yang lain. Tetapi Muhammad Ali Al Bar menambahkan bahwa ini semua adalah perkara-perkara yang berlebihan, penuh dengan legenda, dan tidak ada bukti sejarah yang kuat, kecuali bahwa terdapat bukti-bukti kuat bahwa mereka adalah raja-raja yang telah menyatukan Yaman dan kerajaan mereka telah membentang ke seluruh penjuru Jazirah Arab, ke Makkah Al Mukaramah, Yatsrib, dan kota-kota yang lain di Jazirah Arab, kecuali itu semuanya adalah kisah-kisah yang perlu pembuktian.
Ahmad Husain Syarafuddin menyebutkan bahwa kekuasaan raja-raja Al Tababi’ah membentang antara 275-533 Masehi. Jika kita menerima pendapat Al Azraqi yang menyebutkan bahwa Dzulqarnain adalah seorang yang beriman kepada risalah Ibrahim a.s. dan bertawaf di Baitullah bersama Ibrahim a.s. dan Ibrahim a.s. hidup di milenium kedua sebelum Masehi antara tahun 1861-1686 sebelum Masehi atau antara 2000-1825 sebelum Masehi, maka mustahil bahwa Dzulqarnain berasal dari raja-raja Al Tababi’ah dikarenakan perbedaan waktu antara periode kerasulan Ibrahim a.s. dan kerajaan Al Tababia’h yang lebih dari dua ribu tahun.
Hamad Hamzah Al Sharishari dalam bukunya Fak Asrar Dzulqarnain: Akhnatun, Wa Ya’juj, Wa Ma’juj menyebutkan bahwa Dzulqarnain adalah raja Akhnatun salah seorang raja Mesir Kuno dari dinasti ke-18 yang menduduki singgasana kerajaan Mesir pada abad keempatbelas sebelum Masehi antara 1360-1342 sebelum Masehi atau 1379-1362 sebelum Masehi. Dzulqarnain hidup semasa dengan nabi Musa putera Imran a.s. dan dia adalah putera Firaun Amenhuteb III yang membuntuti Musa a.s. sampai laut lalu Allah Ta’ala menenggelamkannya beserta tentaranya di laut. Akhnatun adalah seorang raja dari dinasti Firaun yang beriman kepada Allah Ta’ala sebagaimana disampaikan dalam surat Al Mu’min, yang membela Musa a.s. di negeri bapaknya Amenhuteb III. Pendapat ini bertentangan dengan hadis Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya: (Ada tiga orang yang tidak akan membangkang kepada Allah sekedipan matapun: Hezkiel seorang mu’min dinasti Firaun, Habibunnajar dari keturunan Yasin, dan Ali bin Abi Thalib).
Al Baghawi dalam tafsirnya berpendapat bahwa kebanyakan sejarawan memandang bahwa Dzulqarnain adalah seorang raja yang adil dan saleh. Oleh karena itu kita tidak dapat mengatakan tentang Dzulqarnain lebih daripada apa yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala dalam Al Qur’an Al Karim bahwa dia adalah seorang raja yang beriman dan saleh, Allah Ta’ala telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, menganugerahkan kepadanya ilmu dan hikmah, menguatkan kerajaannya, dan memudahkan kepadanya penaklukan-penaklukannya, maka begeri-negeri di muka bumi mendekat kepadanya dan umat-umat dari bangsa Arab dan non-Arab mengabdi kepadanya.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuh suatu jalan},[5] yaitu menempuh jalan yang mudah baginya lalu dia berjalan ke arah Barat dari kampung halamannya yang boleh jadi Jazirah Arab, sehingga dia sampai pada tepi pantai samudera Atlantika yang pada zaman dahulu kala disebut dengan “Laut kegelapan”, sebagaimana firman Allah Ta’ala: {Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat Kami berkata: "Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka}.[6]
Disana dia mengikrarkan undang-undang dasarnya yang adil. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami"}.[7]
Kemudian Dzulqarnain kembali ke arah Timur dari perjalanannya ke Barat sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya}.[8]
Boleh jadi ayat-ayat ini berarti bahwa kawasan itu adalah kawasan Timur Jauh atau kawasan Timur dan Utara China.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa Dzulqarnain boleh jadi telah sampai ke kutub Utara pada musim panas, tetapi pendapat ini tidak didukung dengan bukti-bukti ilmiah.
Kemudian ayat-ayat dalam surat Al Kahfi beralih ke perjalanan ketiga Dzulqarnain, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" Dzulkarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar"}.[9]
Firman Allah Ta’ala: {Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"}.[10]
Yang dimaksud dengan “tidak mengerti pembicaraan” adalah mereka tidak bisa memahami bahasa orang lain, karena bahasa mereka amat jauh bedanya dari bahasa yang lain, dan merekapun tidak dapat menerangkan maksud mereka dengan jelas karena kekurangan kecerdasan mereka.
Yang dimaksud dengan “dua buah gunung” adalah dua dinding pembatas buatan atau alami dalam bentuk rentetan gunung-gunung yang berhubungan di sebelah kanan dan sebelah kiri sehingga sampai ke laut. Keduanya telah ada sejak sebelum kedatangan Dzulqarain kepada kaum yang disebutkan dalam ayat di atas. Di antara dua buah gunung itu terdapat sebuah lembah yang darinya bangsa Ya’juj dan Ma’juj dapat melintas ke bangsa-bangsa yang bertetangga dengan mereka untuk membunuh, merampas, menjarah, dan merusak di muka bumi. Tatkala Dzulqarnain sampai ke kaum tersebut mereka mengeluh kepadanya dari apa yang mereka terima dari bangsa Ya’juj dan Ma’juj dan mereka meminta darinya agar dibuatkan dinding pemisah antara mereka dengan bangsa Ya’juj dan Ma’juj.
Dan jawaban Dzulqarnain datang sebagai berikut: {"Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulqarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar"}.[11]
Apapun, sesungguhnya perdebatan sekitar pribadi Dzulqarain dan sekitar hakikat Ya’juj dan Ma’juj masih terus berlangsung hingga kini. Namun demikian penyebutan dalam Al Qur’an Al Karim tentang kisah Dzulqarnain dengan kaum yang dia bangun untuk mereka dinding pemisah antara mereka dengan Ya’juj dan Ma’juj tetaplah menjadi salah satu sisi mu’jizat Al Qur’an dan bahwasanya ayat-ayatnya tidak mungkin buatan manusia karena tidak ada seseorangpun dari penduduk Jazirah Arab, pada waktu wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang tahu tentang Dzulqarnain atau tembok pemisah yang dia bangun atau tentang Ya’juj dan Ma’juj. 


[1] Surat Al Kahfi: 83
[2] SuratAl Kahfi: 83-98
[3] SuratAl Kahfi: 83-85
[4] SuratAl Kahfi: 83

[5] SuratAl Kahfi: 84-85
[6] SuratAl Kahfi: 86
[7] Surat Al Kahfi: 87-88
[8] Surat Al Kahfi: 89-91
[9] Surat Al Kahfi: 92-98
[10] Surat Al Kahfi: 93-94
[11] Surat Al Kahfi: 95-98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar