Kamis, 14 Februari 2013

Ramadhan Dalam Sejarah Islam
            Ramadhan selalu merupakan bulan peristiwa-peristiwa penting yang telah menggetarkan dunia Islam. Ramadhan selalu menjadi saksi sejak wahyu pertama hingga kini, seakan-akan Allah tidak membedakannya dari bulan-bulan lain dengan mengadakan di dalamnya ragam ujian, cobaan, dan kesabaran.
            Pada bulan Ramadhan, wahyu pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang ketika itu sedang menyendiri di gua Hira. Yaitu permulaan surat Al ‘Alaq: {Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya}.[1]
            Wahyu merupakan permulaan dakwah Islam dan permulaan sejarah baru bukan hanya bagi bangsa Arab saja tetapi juga bagi umat manusia semuanya.
            Pada bulan Ramadhan tahun pertama Hijriah (622 Masehi), pasukan rahasia dibawah pimpinan Hamzah bin Abdulmutholib dibentuk. Pasukan rahasia itu merupakan pasukan rahasia pertama dalam Islam yang menyusup ke daerah musuh. Pengiriman pasukan rahasia itu berlangsung tujuh bulan setelah Rasulullah s.a.w. hijrah dari Makkah ke Madinah dengan tujuan untuk merintangi kafilah Qurasy. Ikut dalam pasukan rahasia itu tigapuluh orang. Semuanya dari orang-orang muhajirin. Dalam pengiriman pasukan rahasia itu tidak terjadi pertempuran.     
            Pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriah (623 Masehi), perang Badr Al Kubra berlangsung. Jumlah pasukan Muslimin yang ikut dalam perang tersebut 314 orang, sementara jumlah pasukan Quraisy berkisar antara 900-1.000 orang. Dalam perang itu pasukan Muslimin meraih kemenangan yang besar. Sekitar 70 orang dari pasukan Quraisy mati terbunuh, sekitar 70 orang ditawan, dan di antara mereka terdapat beberapa orang dari pemuka Quraisy. Kemenangan pasukan Muslimin dalam perang tersebut merupakan permulaan lembaran baru dari jihad di jalan dakwah Islam, dimana kedudukan kaum Muslimin di bidang sastera dan politik membaik. Perang Badr Al Kubra merupakan bukti keberanian mereka dan kedalaman iman mereka kepada akidah mereka, namun di pihak lain merupakan petaka bagi kaum Quraisy yang mulai bersiap-siap untuk balas dendam dari kaum Muslimin dalam pertempuran berikutnya.
Pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriah (629 Masehi), Rasulullah s.a.w. menaklukkan Makkah. Sebab langsung penaklukan Makkah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap perjanjian damai Al Hudabiyah yang ditandatangani antara kaum Quraisy dan Rasulullah s.a.w. pada tahun keenam Hijriah. Sebagaimana diketahui bahwa kabilah Khuza’ah masuk ke Makkah pada era Rasulullah s.a.w. setelah penandatangan perjanjian damai Al Hudabiyah, sementara kabilah Bani Bakar masuk pada era Quraisy. Kabilah Bani Bakar mengambil kesempatan dari perjanjian damai tersebut untuk menyerbu kabilah Khuza’ah Al Hudabiyah. Kaum Quraisy membantu kabilah Bani Bakar dengan senjata dan pasukan, sedang kabilah Khuza’ah meminta pertolongan kepada Rasulullah s.a.w. lalu Rasulullah s.a.w. berjanji untuk membantunya. Pada tanggal 10 Ramadhan, Rasulullah s.a.w. pergi menuju Makkah dalam sebuah pasukan yang terdiri dari sepuluh ribu orang. Tatkala penduduk Makkah tahu tentang kedatangannya, keluarlah para pemimpin Makkah sambil menunduk. Di antara mereka adalah Abu Sufyan, lalu Rasulullah s.a.w. memberi hormat kepadanya. Kaum Muslimin masuk ke Makkah, sedang Rasulullah s.a.w. menuju Ka’abah, bertawaf mengitarinya sebanyak tujuh kali, dan memerintahkan penghancuran patung-patung berhalam seraya: {Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap}.[2]
            Penaklukan Makkah adalah permulaan tahap baru dalam sejarah dakwah Islam, dimana kabilah-kabilah Arab di Jazirah Arab bersegera masuk Islam secara berbondong-bondong.
Pada bulan Ramadhan tahun 40 Hijriah (660 Masehi), Imam Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh seorang Khawarij yaitu Abdurrahman bin Maljam, yang menyerangnya di dalam masjid Kuffah dan menikamnya dengan pedang beracun ketika dia sedang bersiap-siap untuk shalat Subuh. Kemudian Abdurrahman bin Maljam ditangkap, dibunuh, dan dibakar. Imam Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah selama empat tahun beberapa bulan. Pencapaian-pencapaiannya amat banyak. Dia meninggalkan warisan yang besar di bidang sastera, ilmu, fiqih, akhlak, dan keberanian. Dengan dibunuhnya Imam Ali maka berakhirlah era khulafa Rasyidin, dan mulailah tahap perseteruan di dalam masyarakat Arab Islam.
Pada bulan Ramadhan tahun 65 Hijriah (685 Masehi), Marwan bin Al Hukum wafat dan puteranya Abdulmalik bin Marwan naik tahta. Abdulmalik merupakan pendiri kedua negara Umawiah. Dia adalah seorang yang cerdas, fasih, berani, dan lihai dalam urusan politik dan ketatanegaraan. Dia mampu menumpas pemberontakan-pemberontakan yang banyak terjadi di eranya, menyebarkan perdamaian dan keamanan, mengembalikan persatuan ke negeri-negeri Arab Islam, dan mengikuti dengan seksama perjalanan penaklukan-penaklukan Arab Islam di belahan Timur dan Barat. Demikian pula reformasi-reformasi internalnya sangatlah penting. Dia melakukan arabisasi dewan-dewan di negeri Syam dan Irak. Dia juga mendirikan dewan-dewan baru. Dia melakukan arabisasi mata uang dan koin emas Dinar Islam. Dengan demikian dia mencapai kemerdekaan administrasi dan keuangan bagi kekhalifahan Arab Islam. Dia wafat di Damaskus dan dimakamkan di sana tahun 86 Hijriah (705 Masehi).
Pada bulan Ramadhan tahun 92 Hijriah (711 Masehi), Tariq bin Ziyad menang atas penguasa Andalusia Latherick. Tariq menyeberangi selat Andalusia dengan disertai oleh sekitar tujuh ribu tentara Muslim. Dia membawa pasukannya ke sebuah pegunungan dekat pulau Hijau, yang kemudian diberi nama dengan “Giblartar” yang artinya “Gunung Tariq”. Sebelum pasukannya berhadapan dengan pasukan Latherick, dia menyampaikan pidatonya yang kesohor: “Wahai manusia, Dimanakah jalan keluar? Laut di belakang kalian dan musuh di depan kalian....”. Pertempuran berlangsung di daerah Cethona. Tentara Muslim menang dalam pertempuran. Latherick gugur di medan pertempuran. Kemenangan tersebut membuka pintu Andalusia bagi para penakluk Arab Islam.
Pada bulan Ramadhan tahun 114 Hijriah (732 Masehi), berlangsung pertempuran istana Syuhada. Sebagaimana diketahui bahwa Abdurrahman Al Ghafiqi penguasa Andalusia beserta pasukannya menyeberangi pegunungan Prince, menyerang kawasan Ikitania, dan menguasai kota Bordou. Pangeran Ikitania bernama Odo meminta pertolongan kepada raja Prancis bernama Charles Martil, lalu Charles Martil memenuhi permintaan pertolongan itu, maka bertempurlah pasukan Arab Islam di bawah pimpinan Al Ghafiqi dengan pasukan Prancis di bawah pimpinan Charles Martil di kawasan antara Thour dan Puiteh. Pertempuran sengit berlangsung dan berakhir dengan kekalahan pasukan Arab Islam. Al Ghafiqi mati syahid dalam pertempuran yang dikenal dengan pertempuran istana Syuhada.
Pada bulan Ramadhan tahun 223 Hijriah (838 Masehi) berlangsung pertempuran Amuria antara bangsa Arab Islam dan bangsa Bizantium. Kaisar Bizantium Teoville menyerbu kota Zabtara, yaitu perbatasan Kekhalifahan Islam yang paling dekat dari Bizantium dan tempat kelahiran ibu Khalifah Al Mu’tashim. Di kota itu Kaisar Teoville menghancurkan, membakar, membunuh, dan menahan kaum Muslimin. Khalifah Al Mu’tashim pergi bersama pasukannya ke kota Amuria yang berada di bawah kekaisaran Bizantium yaitu tempat kelahiran bapak Kaisar Teiville sendiri untuk menaktukkan kota itu dan membalas dendam atas apa yang dilakukan oleh bangsa Bizantium di Zabtara, setelah itu dia kembali ke Samraa’. Abu Tamam memuji keberanian Al Mu’tashim dalam kasidahnya yang kesohor: “As Saifu Ashdaqu Anbaa’ Minal Kutubi Fi Hiddihi Bainal Jaddi Wal La’bi”, yang artinya: “Pedang itu adalah berita yang paling dipercaya daripada buku dalam ketajamannya menentukan yang sungguh-sungguh dan yang main-main”.
Pada bulan Ramadhan tahun 447 Hijriah (1055 Masehi), Sultan Saljik Togharlabek masuk ke Baghdad atas permintaan Khalifah Abbasiah Al Qaim Biamrillah (wafat 467 Hiriah/1075 Masehi). Sang khalifah menyambut baik kedatangannya dan menjulukinya dengan julukan “Raja Timur dan Barat”. Masuknya Togharlabek ke Baghdad merupakan pertanda bagi berakhirnya Negara Bani Buih dan datangnya bangsa Saljik untuk menggantikan Bani Buih atas kekhalifahan Abbasiah dan menguasai khulafa Abbasiah, yang beralih jadi sekedar simbol-simbol keagamaan yang hidup di bawah perlindungan para sultan Saljik. Togharlabek juga wafat pada bulan Ramadhan tahun 455 Hijiriah/1063 Masehi.
Pada bulan Ramadhan tahun 485 Hijriah (1092 Masehi) seorang menteri Saljik, Nizamulmalik, dibunuh. Dia lahir di kota Thous. Dia seorang yang unggul dalam ilmu dan cakap dalam ketatanegaraan. Dia mempunyai hubungan yang baik dengan sultan Saljik Alib Araslan lalu menjadi salah seorang menterinya. Dia ditugasi oleh sang sultan untuk mendidik puteranya Malik Syah. Ketika Malik Syah naik tahta maka Nizamulmalik menjadi salah seorang menterinya. Dia mengelola kesultanan dengan sebaik-baiknya sehingga urusan kesultanan semuanya berada di tangannya. Nizamulmalik mendirikan sekolah-sekolah negeri di sejumlah kota. Dia menulis buku dengan judul Siasat Namah-Kebijakan Perkembangan dan mempersembahkan kepada Malik Syah. Nizamulmalik dan anak-anaknya menjadi korban konspirasi dan persekongkolan dimana dia dibunuh pada bulan Ramadhan. Pendapat tentang kematiannya beragam.
Pada bulan Ramadhan 658 Hijriah (1260 Masehi) berlangsung pertempuran Ain Jalut antara tentara Mamalik di bawah pimpinan Sultan Qatiz dan bangsa Mongolia di bawah pimpinan Katabagha. Pertempuran sengit berlangsung di daerah Ain Jalut dekat Pisan di Palestina. Pertempuran tersebut berakhir dengan kemenangan tentara Mamalik. Bangsa Mongolia banyak yang terbunuh di antaranya Katabagha sendiri. Pertempuran itu membawa hasil yang penting yaitu melenyapkan khurafat bahwa bangsa Mongolia tidak dapat dikalahkan dan menyelamatkan Mesir dan Maroko dari bahaya Mongolia, dan mempersatukan kembali Masir dan Syam.
Pada bulan Ramadhan tahun 666 Hijriah (1268 Masehi), Sultan Mamalik Zahir Paparius menaklukkan monarki Antakia yang sebelumnya berada di bawah tentara Salib. Monarki Antakia didirikan oleh pangeran Norman Bouhimonde pada waktu ekspedisi Salib Pertama tahun 1098 Masehi. Penaklukan monarki Antakia oleh Paparius merupakan penaklukan paling besar yang diraih oleh bangsa Arab Islam sejak perang Tahin tahun 1187 Masehi, juga merupakan kekalahan besar bagi tentara Salib, dan pertanda kehancuran sisa-sisa kekuasaan Salib di Syam, apalagi tidak ada kota-kota besar yang dikuasai oleh tentara Salib pasca Antakia selain Tripoli dan Aka.
   Pada bulan Ramadhan tahun 922 Hijriah (1516 Masehi), Toman Bai naik tahta kesultanan Mamalik di Mesir. Toman Bai sebelumnya merupakan wakil Ghori di Mesir. Tatkala Ghori pergi untuk berperang melawan Sultan Slim Ottoman di daerah Maraj Dabiq tahun 922 Hijriah/1516 Masehi. Setelah kematian Ghori dalam pertempuran itu, Toman Bai naik tahta kesultanan Mamalik dengan dukungan dari rakyat di Mesir. Dia menentang orang-orang Ottoman dalam pertempuran Ridaniah tahun 923 Hijriah/1517 Masehi. Dia memperlihatkan kepahlawanan yang gigih, walau Toman Bai kalah dalam pertempuran itu, namun dia mengikuti pertempuran orang-orang Ottoman di jalan-jalan Kairo. Orang-orang Ottoman tidak dapat tenteram tinggal di Mesir kecuali setelah Toman Bai ditangkap dan digantung pada tahun yang sama di Kairo. Dengan kematian Toman Bai maka berakhirlah kesultanan Mamalik, dan mulailah era Ottoman dalam sejarah Arab Moderen.


[1] Surat Al ‘Alaq: 1-5
[2] Surat Al Israa’: 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar