Kamis, 14 Februari 2013

Takdir Allah
            Allah Ta’ala berfirman: {Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku}.[1]
            Ayat di atas adalah ayat 38 surat Al Ahzab, yaitu surat Madaniyyah dan jumlah ayat-ayatnya adalah 73 ayat setelah basmalah.
             Dinamai Al Ahzab karena di dalam surat tersebut terdapat isyarat kepada perang Al Ahzab (Golongan yang bersekutu). Golongan yang bersekutu itu terdiri dari kaum kafir Quraisy yang datang dari selatan negeri Hijaz dan dari orang-orang yang bergabung bersama mereka dari kabilah-kabilah seperti kabilah Ghatfan dan Asyja’ yang datang dari utara negeri Hijaz. Mereka bersekutu untuk memerangi kaum muslimin. Mereka mengepung Madinah Al Munawarah pada tahun keempat Hijriah. Maka Rasulullah s.a.w. memerintahkan kaum muslimin agar menggali lubang parit sekitar Madinah untuk mempertahannya dari pengepungan kaum kafir dan musyrikin yang telah berlangsung selama sekitar satu bulan, kemudian Allah Ta’ala mengirimkan angin puyuh dan tentara dari kaum malaikat terhadap golongan kafir yang bersekutu yang mengepung Madinah, maka mereka terpaksa membuka kepungan, lari menjauh dari Madinah sembari minta pertolongan, dan kembali ke kampung halaman mereka dengan perasaan putus asa.
            Pusaran utama Al Ahzab berkisar seputar penggambaran secara rinci tentang perang yang dinamai dengan nama surat itu yaitu Al Ahzab, berbicara tentang rasa takut, kekacauan, dan kemenangan yang pada akhirnya diraih oleh kaum muslimin sebagai bentuk pemenuhan janji Allah Ta’ala. Di samping itu surat tersebut juga menyampaikan beberapa ketetapan hukum, akidah, peribadatan, moral dan etika Islam, menerangkan tentang hari kiamat dan kedahsyatannya, menasihati perlunya takwa kepada Allah, dan menjelaskan tentang amanat yang dipikul oleh manusia, sedang langit, bumi dan gunung-gunung tidak sanggup memikulnya.
            Di antara mu’jizat tasyri’i dari ayat 38 surat Al Ahzab adalah ayat ini diturunkan dalam rangka memastikan bahwa tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah Ta’ala baginya, yakni tentang apa yang telah dihalalkan oleh Allah Ta’ala kepadanya dan perintah-Nya kepadanya untuk mengawini Zainab binti Jahsy r.a. setelah Zaid bin Haritsah menceraikannya, untuk memastikan pembolehan kawin dengan isteri-isteri anak-anak angkat, jika anak-anak angkat itu telah menceraikan mereka.
Dalam konteks ini Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. melamar Zainab binti Jahasy dari Zaid bin Haritsah lalu Zainab memperlihatkan keberatannya atas itu sembari berkata: Aku lebik baik darinya menurut garis keturunan, maka Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: {Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata}.[2]
Ayat di atas merupakan perintah umum tentang ketaatan kepada perintah-perintah Allah Ta’ala dan perintah-perintah Rasul-Nya. Dan jika Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, maka tidak ada pelanggaran, tidak ada pilihan, tidak ada pendapat, dan tidak ada pula perkataan bagi seorangpun manusia.
Ayat di atas dilanjutkan dengan dua ayat berikutnya: {Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku}.[3]
Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa Rasulullah s.a.w. telah mengawinkan Zaid bin Haritsah dengan puteri bibinya Zainab binti Jahsy Al Asadiyah dengan perintah dari Allah Ta’ala setelah Allah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam dan mengikuti Rasul-Nya, kemudian Rasulullahpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakannya dari hamba sahaja ketika Khadijah r.a. membelinya di pasar Makkah lalu memberinya kepada Rasulullah yang mengangkatnya menjadi anak.
Setelah usia perkawinan antara Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy memasuki usia satu tahun, terjadilah perselisihan antara keduanya, lalu Zaid datang untuk mengeluhkan isterinya kepada Rasulullah s.a.w., maka Rasulullah s.a.w. menasihatinya untuk menahan terus isterinya dan bertakwa kepada Allah Ta’ala, tetapi Allah Ta’ala telah memberitahu Nabi-Nya bahwa Zainab binti Jahsy akan menjadi satu dari isteri-isterinya sebelum dia mengawininya, padahal Allah Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya agar dia mengawinkan Zaid dengan Zainab lalu Zainab akan bercerai darinya kemudian Rasulullah s.a.w akan mengawininya, sehingga kaum bapak diperbolehkan untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka setelah anak-anak angkat mereka menceraikan isteri-isteri mereka.
Oleh karena itu tatkala Zaid datang untuk mengeluhkan isterinya kepada Rasulullah s.a.w. lalu Rasulullah s.a.w. menasihatinya untuk menahannya terus di rumahnya, maka sesungguhnya dia tahu bahwa hal itu tidak akan berlanjut lama. Dari sini Allah Ta’ala berfirman kepadanya: {Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti}.[4]
Semua itu dengan takdir (ketetapan) dari Allah Ta’ala sehingga setiap muslim dan muslimah beriman kepada qadha Allah dan qadr-Nya sebagai salah satu dari enam rukun iman yaitu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, dan kepada qadr yang baiknya maupun yang buruknya.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya}.[5]
Di antara makna-makna ayat di atas adalah: “Tidak ada suatu keberatanpun atas Rasulullah s.a.w. tetang apa yang telah dihalalkan oleh Allah Ta’ala baginya dan memerintahkannya untuk mengawini puteri bibinya Zainab bintu Jahsy setelah anak angkatnya Zaid bin Haritsah menceraikannya demi pembolehan kawin dengan
      Di antara makna-makna ayat di atas:
Pertama: Tidak ada suatu keberatanpun atas Rasulullah s.a.w. tetang apa yang telah dihalalkan oleh Allah Ta’ala baginya dan memerintahkannya untuk mengawini puteri bibinya Zainab binti Jahsy setelah anak angkatnya Zaid bin Haritsah menceraikannya.
Kedua: Penghalalan kaum bapak mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka setelah anak-anak angkat mereka menceraikan isteri-isteri mereka, sesuatu yang diharamkan dalam kasus isteri-isteri anak-anak kandung.
Firman Allah Ta’ala: {(Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu}[6]meneguhkan bahwa demikianlah ketetapan Allah Ta’ala pada seluruh nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan kepada mereka suatu perintah lalu mereka mendapatinya sebagai suatu keberatan dalam dada mereka untuk melaksanakan perintah Allah itu, karena perintah Allah Ta’ala adalah suatu ketetapan yang tidak ada daya dan tidak pula kuasa bagi suatu kekuatanpun di alam semesta untuk menolaknya. Itulah inti beriman kepada qadha Allah dan qadr-Nya.
Qadha dan qadr adalah dua perkara yang saling berkaitan satu dengan yang lain, tidak bertentangan, dan saling melengkapi, sehingga jika yang satu meluncur sendirian maka yang lain pasti menyertainya.
Boleh jadi qadha dan qadr adalah satu perkara yang melukiskan ketetapan Allah Ta’ala yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat dan tiada kuasa bagi seorangpun manusia untuk merintanginya. Oleh karena tunduk kepada qadha dan qadr merupakan suatu kemestian karena tidak ada seorangpun sanggup menolaknya, menggantinya, dan merubahnya.
Di antara sifat-sifat Allah adalah Yang Maha Esa, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia, Yang Mahakuasa atas segala sesuatu maka tidak ada sesuatupun yang sanggup merintangi kemahakuasaan-Nya, dan Yang Mahamengetahui segala sesuatu maka tidak ada sesuatupun yang keluar dari pengetahuan-Nya.

Qadha dan qadr merupakan sebagian dari tiang-tiang ketauhidan yang Allah Ta’ala telah ajarkan kepada hamba-Nya Adam a.s. sejak penciptaannya dan dengan itulah umat manusia hidup selama sepuluh abad. Tentang hal itu Rasulullah s.a.w. bersabda: (Antara Adam dan Nuh terbentang sepuluh abad mereka semuanya hidup di atas syariat Allah).[7]
Allah Ta’ala telah mengutus 124.000 nabi dan telah memilih di antara mereka sekitar 300 rasul yang semuanya mengajak kepada agama Islam yang berdiri pada keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, dan kepada qadr yang baiknya maupun yang buruknya, dan kepada ketauhidan kepada Allah Ta’ala tanpa ada yang mendampingi-Nya, menyerupai-Nya, dan menandingi-Nya. Beriman kepada qadha dan qadr adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan kepada Allah Ta’ala.
Di antara mu’jizat tasyri’i firman Allah Ta’ala: {Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku}[8] bahwa beriman kepada qadha dan qadr adalah penyerahan diri kepada ketetapan hukum Allah dan kehendak-Nya, hal itu berangkat dari keimanan yang kuat bahwa tiada kekuasaan dalam seluruh alam semesta selain Allah Ta’ala, maka tiap makhluk berjalan menurut ketetapan-Nya dan sesuai dengan kehendak-Nya, iradah-Nya, dan perintah-Nya. Dan tiada seorang makhlukpun sanggup menolak qadha-Nya, menentang ketetapan-Nya dan menandingi perintah-Nya.
Jika seorang hamba beriman kepada qadha dan qadr dengan sebaik-baiknya keimanan, maka dia akan hidup bahagia di atas muka bumi walau dia merupakan orang yang paling miskin, paling lemah, dan paling membutuhkan. Sementara jika dia tidak beriman pada qadha dan qadr, maka dia merupakan orang yang paling menderita walau dia merupakan orang yang paling kaya hartanya, paling banyak keturunannya, paling berkuasa, dan paling perkasa.
Beriman kepada qadha dan qadr sama sekali tidak bertentangan dengan hakikat bahwa manusia adalah makhluk terhormat yang Allah Ta’ala karuniai dengan akal yang dengannya dia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan dengan kebebasan mengambil keputusan yang dengannya dia dapat berbuat sesuai dengan keputusan yang dia pilih. Maka manusia dihisab atas perbuatannya sendiri yang dia pilih sesuai dengan kehendaknya.
Perlu diketahui bahwa kehendak manusia itu masuk dalam lingkaran ilmu Allah, qadha-Nya dan qadr-Nya. Ini tidak mengurangi balasan pahala orang-orang yang saleh dan tidak pula membenarkan kerusakan orang-orang yang rusak karena setiap makhluk memikul beban tanggungjawab untuk memilih kebaikan atau kerusakan sesuai dengan kehendaknya. Dari sini maka setiap manusia berhak dibalas pahala atau diganjar hukuman karena kehidupan dunia adalah negeri tanggungjawab, ujian, dan cobaan. Hal itu tidak dapat terjadi kecuali jika orang yang memikul beban tanggungjawab itu bebas dalam mengambil keputusan antara yang hak dan yang batil, antara berbuat kebaikan di muka bumi atau berbuat kerusakan di dalamnya.
Setiap manusia bergerak di dalam kehidupan dunianya dalam dua lingkaran yang berpusat pada dirinya. Pertama adalah lingkaran kebebasan mengambil keputusan yang dengannya dia bebas memilih antara jalan Allah atau keluar dari jalan itu. Oleh karena itu maka dia diberi balasan pahala atau diganjar hukuman atas dasar keputusan yang diambilnya sendiri. Kedua adalah lingkaran qadha dan qadr yang tiada kekuasaan apapun baginya terhadapnya dan tiada pendapat apapun baginya di dalamnya, maka dalam lingkaran qadha dan qadr dia tidak dihisab atas apa yang terjadi terhadapnya, tetapi jika dia beriman kepada Allah dengan setulus-tulusnya keimanan hendaknya dia redha kepada qadha Allah dan qadr-Nya dengan sebaik-baiknya keredhaan dan berserah diri bahwa di dalamnya terdapat sebaik-baiknya kebaikan walau kelihatannya tidak baik menurut barometer manusia yang terbatas karena di dalam yang demikian itu terdapat penyerahan kepada Allah Ta’ala,  dengan keilahian-Nya, kerabubiahan-Nya, dan ketauhidan-Nya.
Seorang manusia yang beriman kepada qadha dan qadr pastilah terbebas dari ubudiah kepada selain Allah Ta’ala karena dia beriman bahwa tiada kekuasaan di dalam wujud ini selain Allah sang pencipta semesta alam.
Keredhaan kepada qadha dan qadr menenteramkan hati setiap manusia dalam menegakkan kewajiban-kewajiban memakmurkan bumi.


[1] Surat Al Ahzab: 38
[2] Surat Al Ahzab: 36
[3] Surat Al Ahzab: 37-38
[4] Surat Al Ahzab: 37
[5] Surat Al Ahzab: 38
[6] Surat Al Ahzab: 37-38
[7] Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak.
[8] Surat Al Ahzab: 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar