Kamis, 14 Februari 2013

Kronologi Sejarah Palestina Untuk Melawan Zionisme

            Damai tampaknya masih jauh dari Timur Tengah. Upaya Palestina memperoleh pengakuan sebagai anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa membentur kendala. Amerika Serikat kongsi kuat Israel, yang sebetulnya juga anggota kuartet untuk mendorong perdamaian di Timur Tengah, justeru memperlihatkan pilih kasih. Dengan terang-terangan Presiden Barack Obama mengancam akam menveto lamaran Palestina itu di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sudah hampir seratus tahun Palestina mengalami tindakan-tindakan agresi akibat dukungan emosional dari Eropa dan Amerika Serikat kepada gerakan Zionisme di Palestina. Dukungan emosional ini lahir dari trauma peradaban dan budaya yang dahsyat disebabkan oleh sejarah dua benua tersebut yang penuh dengan kekerasan secara terus-menerus.
            Trauma yang pertama disebabkan invasi ke benua Amerika Utara oleh orang-orang Protestan Inggris beraliran keras yang memandang bahwa Amerika Utara adalah “tanah baru yang dijanjikan” oleh Allah. Oleh karena itu mereka menghalalkan pemusnahan penduduk asli tanpa sanksi psikologi atau moral, bahkan pembantaian massal ini justeru mengakibatkan munculnya budaya baru terutama di bidang perfilman yang mengagung-agungkan kekerasan lawan penduduk asli. Peristiwa gelap dalam sejarah benua Amerika ini tercermin dari penyangkalan yang tak henti-hentinya terhadap hakikat pembantaian massal yang dilakukan dengan amat kejam atas penduduk asli Amerika.
            Demikian pula hendaknya kita tidak perlu merasa kaget bahwa rekaman sejarah yang penuh dengan pertumpahan darah tapi diagung-agungkan ini akan mendorong warga Amerika untuk menerima atau bahkan mendukung berbagai macam kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi Eropa di Palestina di bawah slogan “Kembali ke tanah lama yang dijanjikan”.
Sedangkan trauma yang kedua adalah akibat dari kekerasan tak henti-hentinya yang dilakukan oleh bangsa Eropa dari berbagai budaya terhadap warganya yang beragama Yahudi. Anti-Yahudi dengan karakter teologis ini berlangsung cukup lama di benua Eropa yang menganut agama Kristen, tetapi beralih pada abad sembilanbelas menjadi anti-semit dan mengambil karakter rasisme yang cukup mendalam. Asal usul peralihan ini kembali kepada penggunaan yang salah dari perkembangan ilmu tentang bahasa-bahasa (Lexicology) yang membagi dunia ke bahasa-bahasa Aria yang dianggap unggul dan superior dan bahasa-bahasa Semit yang masuk di dalamnya bahasa Ibrani kuno dan dianggap sebagai bahasa-bahasa yang kurang kaya dan kurang mampu dalam berpikir dan berinovasi.

Agama Yahudi adalah kambing hitam:
            Dalam konteks yang baru ini, keberadaan agama Yahudi di Eropa menjadi kambing hitam bagi segala kekacauan budaya, sosial dan ekonomi yang muncul dari gerakan industrialisasi di benua Eropa selama pertengahan kedua dari abad sembilanbelas dan pertengahan pertama dari abad duapuluh. Sesungguhnya pembantaian massal orang-orang Yahudi Eropa di masa Nazi tidak pernah terjadi jika sekiranya tidak ada hipomania anti-semit dalam masyarakat Eropa.
            Berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat dalam pembantaian massal orang-orang India Merah, masyarakat Eropa telah mengakui sejak dekade delapanpuluhan dari abad duapuluh tentang kedahsyatan pembantaian massal yang mereka lakukan terhadap sekte-sekte Yahudi Eropa. Paradoksnya bahwa Pemerintah Amerika Serikatlah yang mendorong masyarakat Eropa untuk mengambil langkah tersebut dengan mengeluarkan keputusan tahun 1979 tentang pembangunan patung di Washington untuk mengenang pembantaian massal yang di kala itu dikenal dengan nama “Holocaust” yang diambil dari istilah-istilah kuno dalam Taurat.
            Oleh karena itu pemberantasan anti-semit menjadi tema penting dalam kebijakan Eropa, menjadi simbol utama bagi perkembangan kesadaran Eropa pasca dua pembantaian massal tersebut, dan menjadi unsur sentral dalam kebijakan luar negeri dan dalam negeri bagi kebanyakan negara-negara Eropa. Pada gilirannya berdirinya negara Israel dianggap sebagai kelengkapan sejarah secara adil.
            Demikian pula kita menyaksikan penyebaran dari pemahaman yang kian meluas tentang pemberantasan anti-semit yang mengabaikan kritik-kritik atas tindakan-tindakan Israel terhadap bangsa Palestina dan mempersamakan anti-Zionis dengan anti-semit. Pada gilirannya berdirilah tembok perlindungan moral untuk kepentingan negara Israel dan tindakan-tindakan kriminalnya di seluruh negara-negara Eropa, yang pada gilirannya membantu lenyapnya hak-hak bangsa Palestina.

Palestina adalah korban dari rasisme Eropa:
            Negara-negara Eropa telah memberi kompensasi atas ketidakmampuan mereka dalam pemberantasan anti-semit selama abad sembilanbelas dan pertengahan pertama dari abad duapuluh dengan menghindari pembantaian massal antara tahun 1939-1945, bukan hanya di dalam negara-negara Eropa saja, namun juga di seluruh dunia. Untuk itu negara-negara Eropa dan Amerika Serikat telah memprakarsai berdirinya hari internasional khusus untuk mengenang para korban holocaust, suatu prakarsa yang diadopsi tahun 2005 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan demikian maka hati nurani masyarakat Eropa telah memperingan tanggungjawab mereka dalam kaitannya dengan pembantaian massal terhadap orang-orang Eropa yang beragama Yahudi selama masa Nazi. Hal itu dengan memaksakan solidaritas mereka bersama hati nurani masyarakat-masyarakat lain di dunia. Padahal hanya bangsa-bangsa Eropa sajalah yang bertanggungjawab atas pembantaian massal tersebut. Yang lebih menyakitkan dan memalukan bahwa bangsa Palestina, selaku korban sejarah agama dan rasisme Eropa yang melahirkan entitas Zionisme, memandang bahwa mereka dipaksa oleh apa yang dinamai dengan “Masyarakat Internasional” untuk tunduk kepada apa yang didiktekan kepada mereka oleh para perampas negeri mereka dan untuk melindungi para imigran Yahudi yang mukim di Palestina, di bawah tuduhan kepada mereka bahwa mereka juga anti-semit dan teroris jika mereka melawan dengan senjata pendudukan tanah air mereka oleh orang-orang Zionis.
            Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan di Eropa dan Amerika Serikat kini bersatu padu dalam logika yang jumud dan dukungan yang buta kepada Israel. Oleh karena itu pemberantasan pembantaian massal terhadap orang-orang Yahudi Eropa masih dapat dicapai melalui dukungan mutlak kepada entitas Zionisme dan tindakan-tindakan kekerasannya terhadap bangsa Palestina dan terhadap bangsa yang membantunya. Atas nama pemberantasan inilah maka kaidah-kaidah hukum internasional dan prinsip-prinsip hukum kemanusiaan yang tidak pernah diterapkan terhadap Israel telah diabaikan. Demikian pula pemberantasan tersebut memaksa bangsa Palestina yang tanah air mereka telah dijajah selama lebih dari seratus tahun, untuk melindungi keamanan orang-orang yang menjajah mereka, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia.
Banyak dari orang Eropa, Amerika dan Arab yang biasa melontarkan kecaman kepada kelompok-kelompok penekan Yahudi di Eropa dan Amerika Serikat. John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam buku The Israel Lobby and USA Foreign Policy bercerita tentang pengaruh kelompok-kelompok penekan Yahudi di Amerika Serikat terutama dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan luar negerinya. Pada gilirannya mereka membebankan kepada kelompok-kelompok penekan itu tanggungjawab atas penyimpangan-penyimpangan terhadap bangsa Palestina. Nampak jelas dalam analisa mereka berdua bahwa pemerintahan di Eropa dan Amerika Serikat tidak mampu berbuat apapun di hadapan kelompok-kelompok penekan Yahudi yang dikenal dengan “lobi Israel”, karena kelompok-kelompok yang mendapatkan kekuatan tiada tara itu telah merampas kehendaknya.
Legenda kelompok-kelompok penekan Yahudi:
Oleh karena itu harus diperangi ketidakjelasan klaim seperti ini yang membebaskan pemerintah-pemerintah di Eropa dan Amerika Serikat dari tanggungjawab apapun dalam kaitannya dengan perampasan dan pendudukan Palestina serta pendirian entitas Zionisme dengan alasan bahwa kehendaknya menjadi lumpuh oleh kekuatan yang sangat besar dari kelompok-kelompok penekan Yahudi.  
Pada hakikatnya kelompok-kelompok penekan Yahudi itu tidak dapat muncul dengan kekuatannya yang superior seperti ini kecuali karena mereka mengungkapkan ketajaman perasaan emosional Eropa dan Amerika Serikat yang amat mengakar dalam sejarah dua benua ini yang penuh dengan kekerasan sebagaimana disimpulkan di atas secara singkat. Sesungguhnya efektifitas kelompok-kelompok penekan Yahudi ini tidak lain hanyalah terletak pada ungkapan mereka tentang kekuatan penyangkalan fakta-fakta sejarah yang dilakukan oleh masyarakat Eropa dan Amerika Serikat.
Ketidakpedulian pada fakta-fakta tersebut berarti bahwa seluruh bangsa yang membantu Palestina menerima rancangan baru dari “Konspirasi Yahudi” yang menyerupai teks anti-semitThe Protocols of the Elders of Zion yang terbit tahun 1903 di Rusia, yang secara khusus berarti bahwa kita memberikan kepada pemerintahan di Eropa dan Amerika Serikat sarana yang membenarkan secara mudah penolakan mereka untuk menghukum seluruh tindakan kekerasan sehari-hari yang dilakukan oleh para pemukim Yahudi Eropa yang hijrah ke Palestina terhadap anak-anak negeri ini yang tak berdosa.
Dalam kerangka definisi identitas “Barat” yang mengklaim bahwa dia membawa nilai-nilai Yahudi-Kristen, walau sesungguhnya nilai-nilai Kristen telah muncul dan berkembang tidak sejalan dengan nilai-nilai Yahudi, maka dapatlah kita sadari bahwa pertualangan Zionisme itu tidak lain hanyalah suatu dukungan emosional kepada penjajahan model baru yang lahir dari keinginan yang terus-menerus dari kekuatan dan pengaruh yang terbarukan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Keinginan tersebut sangat kuat untuk menjaga Palestina sebagai tanah jajahan dan sebagai pusat bagi dominasi Eropa dan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah dan Asia. Lihatlah betapa besar pembungkaman terhadap suara-suara warganegara Eropa, Amerika Serikat bahkan Israel yang beragama Yahudi yang menolak pendirian negara agama Yahudi di Palestina. Demikian pula lihatlah betapa besar pembungkaman terhadap suara-suara warganeraga Eropa dan Amerika Serikat yang menolak konsep pendirian negara Zionisme yang merampas hak-hak pihak yang lain.
Teror ideologi dan perang peradaban:
            Tidak ada suatu apapun yang dapat lebih banyak memfasilitasi teror ideologi ini ketimbang suasana “perang peradaban” yang dihembuskan oleh Samuel Huntington. Pemikiran-pemikirannya telah mendapatkan dukungan yang luas karena meneguhkan kembali tradisi yang dibangun di zaman moderen oleh Ernst Renan yang memandang bahwa Islam adalah pihak yang sangat membahayakan peradaban Eropa Aria lalu disempurnakan oleh karya-karya orientalis Bernard Louis. Bahkan pemikiran-pemikiran tersebut diterapkan secara militer di dunia nyata oleh Amerika Serikat selama delapan tahun pemerintahan George Bush II dengan mendeklarasikan perang preventif berdarah di bawah simbol “perjuangan melawan kelompok-kelompok yang dipersangkakan sebagai “Islam ekstrem”.
            Lebih dari itu sebagai tantangan terhadap nilai-nilai Yahudi-Kristen yang telah menempati nilai-nilai Yunani-Romawi dalam masyarakat Eropa, maka nilai-nilai Arab Islam terpanggil untuk menempati nasionalisme Palestina dan Arab sekuler yang telah gagal dalam memperdengarkan suara mereka di Eropa dan Amerika Serikat. Pada gilirannya ungkapan tentang penolakan eksistensi Zionisme dan perlawanan kekerasan yang dilakukan terhadap bangsa Palestina itu telah mengambil jalan “agama” sebagaimana terlihat dengan jelas pada perkembangan perlawanan bersenjata oleh Hamas dan Hizbullah.
            Maka hendaknya bangsa Arab Islam menyadari kebutuhan yang mendesak supaya tidak jatuh ke dalam segala macam khayalan dan mengembalikan kesadaran “duniawi” mereka agar mereka dapat mengembalikan Palestina kepada penduduk aslinya. Lebih dari itu hendaknya bangsa Arab Islam berjuang untuk mencegah peralihan tanah suci tiga agama samawi ini menjadi “sertifikat hak milik” agama Yahudi dengan alasan sesuai naskah Taurat dari satu sisi, dan pembantaian massal yang dialami oleh orang-orang Yahudi di Eropa, bukan di Timur Tengah atau di Palestina atau di negara-negara yang bertentangga dengannya dari sisi yang lain.
Sesungguhnya mengakhiri regime Zionis yang apartheid dan diskriminasi sudah cukup untuk melenyapkan segala bentuk teror psikologi, ideologi dan senjata. Ada baiknya kita mengingat kembali disini bahwa regime apartheid dan diskriminasi di masa yang lalu telah diterapkan di Eropa untuk alasan-alasan agama, kemudian di Afrika Selatan untuk alasan-alasan penjajahan dan agama. Demikian pula di Amerika Serikat terhadap penduduk asli dan penduduk asal Afrika, dan kini masih diterapkan di Palestina.
Palestina menentukan perdamaian dunia.
            Palestina-lah yang menentukan nasib perdamaian dunia yang terancam secara tak henti-hentinya dari kekuatan-kekuatan Barat yang selalu membantu entitas Zionisme yang diskriminasi.
Hendaknya pertempuran melawan regime Zionis yang diskriminasi ini menjadi pertempuran bagi setiap pencari keadilan dari pemuka-pemuka agama dan tokoh-tokoh sekuler. Ada sekolah-sekolah teologi Yahudi di Palestina atau Eropa atau Amerika Serikat yang tak henti-hentinya dan dengan berani memperlihatkan bahwa berdirinya negara Israel dari sudut agama adalah kafir dengan sendirinya. Sekolah-sekolah itu layak diapresiasi.
            Demikian pula hendaknya setiap pencari keadilan dari pemuka-pemuka agama dan tokoh-tokoh sekuler bekerja lebih efektif untuk menghentikan doktrin Amerika Serikat-Eropa yang bersandar pada dukungan yang buta kepada tindakan-tindakan negara Israel dan mengembalikan sejarah “duniawi” Palestina serta menggantikan sejarah “suci” yang berdasarkan pada agama, karena tanah Palestina bukan hanya tanah Yahudi belaka, tetapi tanah bersama milik tiga agama samawi dari sisi spiritual, padahal Yahudi adalah agama yang paling sedikit penganutnya dan pengaruhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar