Rabu, 13 Februari 2013

Lebih Dari Lima Abad Kaum Muslimin Keluar dari Andalusia
            Sebuah kaidah yang dipegang erat oleh para ahli sejarah bahwa Islam jika sampai ke suatu negeri niscaya dia akan menetap di dalamnya sepanjang masa. Spanyol dan Sisilia merupakan pengecualian dalam kaidah tersebut. Bagaimanakah kaum muslimin menaklukkan Andalusia dan bagaimanakah pula mereka keluar dari sana?
Pada hakikatnya keluarnya Islam dari Spanyol setelah menetap di dalamnya dalam kurun waktu yang lama dan setelah membangun peradaban yang mapan merupakan suatu fenomena yang layak dikaji secara mendalam untuk mencaritahu sebab-sebabnya-baik yang terselubung maupun yang nampak-karena sebab-sebab yang nyaris serupa, walau kejadiannya berulang-ulang, pastilah akan melahirkan akibat-akibat yang nyaris serupa pula. Bisa jadi dunia Islam terancam akan menghadapi banyak Andalusia yang lain jika mereka tidak berhati-hati dari apa yang ada di sekitar mereka dan dari siapa yang sedang merancang persekongkolan terhadap mereka.
Sebelum penulis paparkan beberapa sebab di belakang keluarnya Islam dari Spanyol, ada baiknya penulis klarifikasikan suatu pandangan salah yang kebanyakan ahli sejarah terjerumus di dalamnya, yaitu “Sesungguhnya dahulu Spanyol merupakan suatu negeri yang merdeka, lalu datang bangsa Arab dan mendudukinya beberapa kurun waktu, kemudian bangsa Spanyol bersatupadu dan membebaskannya dari bangsa Arab”. Pandangan ini adalah pandangan yang tidak benar sama sekali.
Gerakan penaklukan pertama tidaklah datang dengan serta merta, tidaklah pula sekedar suatu pertualangan, tetapi datang akibat perencanaan yang pasti, kajian yang mendalam dan pemahaman yang baik atas apa yang sedang terjadi di negeri Spanyol di kala itu. Penyeberangan Tariq bin Ziyad dilakukan setelah didahului oleh dua penyeberangan dan misi penelaahan. Berbagai keterangan memastikan bahwa negara Spanyol sedang retak. Perseteruan antara para pangeran sedang berada pada puncaknya. Mereka tidak lebih dekat kepada penduduk dibandingkan bangsa Barbar daripada kaum muslimin. Mereka datang ke negeri Spanyol dari utara dalam kelompok-kelompok penyembah berhala yang keji, kemudian mereka menetap di sana sebagai penguasa negeri. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat Spanyol mendukung proses penyeberangan Tariq bin Ziyad tersebut. Sebagian yang lain sama sekali tidak peduli dengan semua itu. Sedang sedikit dari mereka merasa takut dan panik yaitu para tuan tanah dan pemilik budak. Masyarakat Spanyol bersama kaum tani merupakan mayoritas penduduk negeri dan mereka mengharapkan pembebasan dari seorang manusia siapapun dia.
Disana terjadi perseteruan kuat antar suku bangsa, golongan, dan agama. Spanyol di kala itu bukanlah negeri Kristen secara keseluruhan, tetapi di samping penganut Katolik terdapat pula di dalamnya golongan-golongan yang lain dari penganut berhala, Arios dan Yahudi. Spanyol ketika itu berada dalam suatu periode yang sangat jauh dari toleransi agama atau hidup berdampingan antar golongan.
Negara tidak berjalan bersama dengan masyarakat dan sedang kehilangan tiang sosialnya yang sepatutnya di atasnya ia bersandar. Bahkan para pemuka agama Katolik ketika itu sedang berambisi untuk mengganti regime pemerintahan yang berkuasa dan tidak ada suatu apapun yang membuat mereka khawatir untuk hidup dalam naungan Islam.
Jadi harus ada penyelamat dari dalam atau dari luar, berupa bangsa baru atau gelombang baru dari utara atau selatan, yang dapat melengserkan regime berkuasa di Toledo dari bangsa Spanyol. Adalah sesuatu yang mustahil jika penyelamat itu datang dari dalam karena masyarakat tidak mampu menciptakan sesuatu, kekurangan vitalitas dan semangat, dan sedang menderita suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Penyelamat itu tidak mungkin pula datang dari utara karena Prancis sedang mengalami persoalan-persoalan yang nyaris serupa, maka Islamlah satu-satunya sang penyelamat itu.
Maka dapat dikatakan, sebagaimana dikatakan oleh seorang ahli sejarah berkebangsaan Spanyol, bahwa kaum muslimin menyeberang selat dalam tugas hidup dan mati untuk melengserkan regime yang berkuasa yang tiada kekuatan apapun selain darinya yang sanggup mendatangkan pukulan mematikan dan menempati tempatnya.
Dapat dipastikan bahwa suatu persekongkolan tingkat tinggi telah terjadi di kota Sebtia antara putera-putera raja yang dilengserkan dari tahta dan wali kota Sebtia yang merupakan sahabat mereka dengan Panglima Besar Musa bin Nasher dan Panglima Misi Tariq bin Ziyad. Persekongkolan tersebut berhasil menetralisasi sebagian besar dari para pemuka dan pemimpin masyarakat supaya mereka tidak mengadakan perlawanan dan sebagian yang lain secara terang-terangan berpihak kepada kaum muslimin.
Setelah duabelas abad dari penaklukan Islam, Jenderal Franko yang ketika itu berada di Maroko dan sedang dalam perjalanan ke Spanyol- tatkala melancarkan pemberontakan melawan regime republik tahun 1936- melalui rute yang sama dengan rute yang dilalui oleh Musa bin Nasher yaitu pulau Hijau, Sepilia, Mareda lalu Toledo.
Setelah kurang dari setengah abad lamanya, bersamaan dengan kedatangan dan kenaikan Abdurrahman bin Mu’awiah ke puncak kekhalifahan, Andaluisa kemudian merdeka dan menjadi sebuah negeri yang tiada kekuasaan bagi seorang asing terhadapnya kecuali dari anak negeri itu sendiri.
Bangsa Barbar adalah bangsa pertama yang masuk ke Andalusia. Tentara Tariq bin Ziyad semuanya adalah orang-orang Barbar. Perantauan mereka ke Andalusia berkaitan dengan jarak negeri mereka yang dekat dari Andalusia, cuaca negeri mereka yang serupa dengan Andalusia, dan huru hara yang sering terjadi di negeri mereka. Setelah kedatangan mereka barulah datang bangsa Arab dari orang-orang Yaman atau orang-orang Madhar, yang pada mulanya mereka datang bersama dengan Musa bin Nasher, kemudian setelah itu bersama Balaj bin Basyar Al Qisi, dan dalam rombongan-rombongan kecil bersama Abdurrahman Al Dakhil.
Mayoritas penduduk asli Andalusia adalah penduduk dari orang-orang Ebiria atau Seletian atau Couthian atau Afrika atau Vinician, di samping sebagian kecil dari orang-orang Yahudi yang datang ke Spanyol jauh sebelum kedatangan kaum muslimin. Mayoritas penduduk negeri memeluk agama Islam. Walau sebagian kecil tetap menganut agama Katolik, namun bahasa, adat istiadat, kehidupan, dan perilaku mereka telah di-arabisasi, maka mereka dikenal dengan sebutan Arabist. Kaum muslimin yang berasal dari Spanyol merupakan orang-orang yang paling bersemangat menyebarkan agama baru: Islam.
Dalam keadaan aman, tenteram, sejahtera dan hidup saling berdampingan, peradaban Islam menjadi mapan, makmur dan memberi hasil yang terbaik. Cordova menjadi ibukota di antara kota-kota besar di dunia yang tercermin dalam kemapanan ilmu, kesejahteraan dan kemajuan.
Pada awal abad kedelapan Masehi bangsa Arab datang ke Andalusia dan pada akhir abad kesepuluh Masehi Andalusia menjadi sebuah negeri yang mapan bagi mereka, dengan kekuasaan terpusat, yang didominasi oleh rasa aman dan dibanjiri oleh kebaikan: Pertanian menghijau, perumahan berdiri dengan megah dan indah, irigasi berjalan dengan baik, pangan berlimpah dengan harga murah, penduduk bergerak dengan badan yang sehat dan pakaian yang bersih, dan kemiskinan menghilang.
            Keagungan negeri Andalusia dibangun oleh dua orang Arab yang hebat, yang pertama adalah seorang khalifah yaitu Abdurrahman Al Nasher, yang kedua adalah seorang perdana menteri yaitu Al Manshur bin Abu Amir.
Kesalahan yang mereka berdua terperangkap di dalamnya-walau tingkat kesalahan yang pertama lebih besar karena dia yang memulai sedang yang kedua hanya berjalan pada jalan yang ditempuh oleh yang pertama-adalah terletak pada kebijakan pemerintahan yang mereka berdua jalankan, yaitu dalam rangka pengelolaan pemerintahan dan kekuasaan, mereka berdua mengandalkan dominasi Arab, tidak melibatkan anak negeri, menyepelekan kemampuan tokoh-tokoh dari penduduk asli, menggantikan mereka dengan budak belia dari orang-orang Shaqlaba dan orang-orang Afrika yang terusir dari kampung halaman mereka sedang kesetiaan mereka tidak dapat diandalkan serta rasa nasionalisme mereka sangat lemah, apalagi akar rumput tidak mempunyai peran pelopor sedikitpun dalam pemerintahan, malah mereka laksana bahan baku bagi pemberontakan yang siap letus tatkala situasi buruk telah sampai pada puncaknya.
Seiring dengan kematian Al Manshur bin Abu Amir, puteranya menggantikannya, namun kemampuannya dan talentanya berada jauh di bawah bapaknya, lalu diapun menyusul bapaknya beberapa tahun kemudian.
Periode yang singkat itu sudah cukup bagi tiap orang yang ingin menentang dan mengambilalih kekuasaan atau orang-orang yang mereka dukung untuk menghimpun kekuatan. Situasi tertib berubah jadi kacau. Tiap orang di Andalusia mulai berperang tanpa satu sebab atau karena sebab egoisme yang berlebihan. Mereka maju untuk menyerang lalu mundur untuk menghindar. Pada waktu maju dan mundur itulah mereka merusak dan menjarah, sehingga segala sesuatu jadi hitam kelam di mata dan dalam asa, jadi rusak dan porakporanda pada kenyataan dan dalam kehidupan. Hati nurani telah mati. Kesetiaan kepada masyarakat telah luntur. Segala yang haram menjadi halal. Setiap pengkhianat menyerang satu sisi dari negara lalu memproklamirkan diri sebagai seorang pemimpin. Di tengah ragam malapetaka tersebut muncullah ragam golongan di Andalusia yang dapat dibagi ke dalam dua golongan besar. Yang pertama adalah golongan dari para ahli fikih. Mereka menyampaikan fatwa bagi tiap kejadian. Mereka memberikan alasan bagi tiap kejahatan. Dan mereka selalu mengabdi kepada pihak yang paling kuat. Yang kedua adalah golongan dari para penyair. Mereka mengalunkan syair-syair mereka kepada siapa yang membayar lebih banyak dan kepada siapa yang memberikan kesejahteraan yang lebih baik kepada mereka. Seni yang indah dan mulia berubah di tangan mereka menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Mereka tenggelam dalam egoism lalu mereka mulai mengitari diri mereka dengan percintaan, minuman keras dan pujian. Dalam suasana seperti ini orang-orang yang baik dan bijak menahan diri. Mereka bersembunyi karena rasa malu atau merantau ke negeri yang jauh atau membayar mahal dengan penderitaan atau dipenjara atau dibunuh.
Kekuasaan pusat goyang. Kekhalifahan runtuh di tangan sekelompok orang yang terdiri dari orang-orang yang bodoh. Sekitar 30 pangeran menyerang Andalusia. Mereka saling berperang demi ambisi individu, saling mempertahankan beberapa jengkal tanah dan saling memaklumatkan situasi perang hanya demi beberapa meter tanah. Para pangeran itu semuanya membayar pajak kepada kaum musuh dari orang-orang Kristen yang berkonsentrasi di perbatasan di utara padahal jumlah mereka sedikit dan tidak lebih kuat dari kaum muslimin jika mereka bersatu.
Mereka menghambur-hamburkan warisan leluhur mereka kemanapun mereka pergi namun mereka tidak memberikan sesuatu yang baru, laksana seorang dungu tatkala menemukan harta benda tanpa bekerja keras dan tanpa berjerih payah, maka Andalusia beralih menjadi sebuah masyarakat konsumerisme yang mengeluarkan pengeluaran yang sangat besar tanpa pemasukan apapun atau sedikit sekali.
Selama hari-hari “perfitnahan” dan sepanjang masa “ragam golongan” ini maka permintaan bantuan kepada pihak musuh dari orang-orang Kristen di utara Andalusia merupakan sesuatu yang wajar. Mereka berperang di pihak masing-masing dari kaum muslimin yang berseteru dan menanamkan spirit permusuhan dan kebencian di antara masing-masing dari kaum muslimin. Di pihak manapun mereka berperang sesungguhnya mereka dalam waktu yang panjang sedang membunuh musuh mereka. Sebagai ganjaran mereka mendapatkan harta secara tunai berupa emas dan perak dan secara non tunai dalam bentuk senjata, pakaian, ternak, pangan. Sebelum itu mereka mendapatkan benteng-benteng yang dilepas oleh para pangeran dari kaum muslimin demi mendapatkan dukungan dari mereka, setelah itu mereka menduduki benteng-benteng itu tanpa perang dan mengambilalih tanah-tanah yang ada di sekitarnya tanpa mengirim satu anak panahpun atau tanpa kehilangan satu tentarapun.
Pada permulaan masa “perfitnahan” ini di ibukota Cordova terdapat lebih dari satu orang yang berseteru demi kekhalifahan. Di belakang masing-masing dari orang-orang yang berseteru itu terdapat sekelompok orang-orang yang lapar kekuasaan, orang-orang asing yang korup. Mereka mengelilingi tiap orang yang berseteru sambing mendorong ambisinya.
Di satu pihak Wadhih Al Shaqalabi menjabat perdana menteri yang berada dalam kepungan dan lemah namun tetap bertekad untuk menjadi perdana menteri seperti Al Manshur bin Abu Amir, namun di pihak yang lain Sulaiman Al Musta’in menuntut kekhalifahan dengan meminta bantuan dari raja Castello dan menjanjikannya bahwa dia akan melepaskan untuknya beberapa benteng yang terletak di perbatasan antara dua negara yaitu benteng-benteng yang sebelumnya diambilalih oleh Al Manshur sebagai pengaman bagi perbatasan negara. Dengan demikian Raja Kant Castello mendapatkan kesempatan untuk memperluas tanah kerajaannya tanpa perlu berperang melawan Andalusia. Dia mengutus kepada Wadhih dan memberitahukannya tentang tawaran Sulaiman Al Musta’in itu dan meminta darinya agar dia melepas benteng-benteng tersebut karena semuanya telah berada dalam genggamannya atau dia akan membantu Al Musta’in dan pengikut-pengikutnya dari kaum Barbar.
Wadhih tidak punya keberanian untuk mengambil keputusan sendirian, lalu dia mengundang para ahli hukum, membacakan kepada mereka isi surat Changet Kant Castello dan meminta pendapat dari mereka, namun rasa takut dari kaum Barbar dan orang-orang Castello telah melunturkan rasa nasionalisme dalam diri para pemuka kaum muslimin, merekapun menyampaikan pendapat agar sang perdana menteri memenuhi tuntutan kaum Kristen itu. Pada bulan September 1010, Wadhih menandatangani perjanjian dengan Changet Kant Castello, yang di dalamnya dia menyatakan pelepasan lebih dari 200 benteng kepada Changet Kant.
Musuh-musuh mereka dari orang-orang Kristen di utara Andalusia mulai mengambil manfaat dari kejadian itu. Dengan sedikit ancaman dan kegaduhan saja mereka dapat mengambil benteng-benteng yang mereka inginkan dan tidak ada seorangpun yang berani menolak permintaan mereka.
Kaum muslimin Cordova yang telah terjerumus ke dalam genggaman para penguasa muslim yang lemah itu menundukkan kepala mereka kepada musuh-musuh agama mereka, merasakan derita lantaran perilaku jahat para pemimpin mereka, memikul segala akibat yang dialami oleh seluruh bangsa tatkala mereka pergi ke medan pemberontakan, dan menjerumuskan diri mereka ke dalam perfitnahan, tanpa seorang tokoh yang kuat, tanpa suatu tujuan yang jelas, dan tanpa pemikiran yang agung dan luhur.
            Di atas reruntuhan kekhalifahan Andalusia berdiri “ragam golongan”. Suri teladan bangsa Andalusia lenyap. Kaum Yahudi muncul di pentas politik. Peta pemerintahan di sekitar Andalusia berubah. Spanyol Kristen bangkit dan menanamkan cengkeramannya ke Eropa. Penduduk Maroko menata urusan mereka dan mendirikan negara Al Murabithin yang kuat. Di antara kaum Kristen di utara dan orang-orang Maroko di selatan berdirilah raja-raja “ragam golongan”. Spirit bermegah-megah telah membuat mereka lemah. Nyaris tidak ada seorang raja yang tidak melanggar batas kotanya. Era “ragam golongan” ini telah didominasi oleh spirit bermegah-megah yang berlebihan dan ambisi demi pengambilalihan kekuasaan.
            Takdir membawa kota Toledo jadi kota besar pertama yang lepas, bukan karena jatuh dalam perang, bukan karena kaum muslimin kehilangannya dalam pertempuran, tetapi kota itu lepas karena tipu daya Alfonso VI dan penyerahan dari pangeran kota Toledo Al Qader Yahya bin Dzu Nuun. Lepasnya Toledo merupakan pukulan mematikan yang melemahkan kaum muslimin dan memberi keuntungan kepada kaum Kristen. Lepasnya Toledo merupakan malapetaka hakiki karena kota itu merupakan cermin dari kehidupan Andalusia di bidang politik, militer dan sosial. Toledo adalah ibukota Spanyol di masa pemerintahan bangsa Couthi. Penaklukannya oleh Tareq bin Ziyad dikitari oleh ragam legenda yang indah tentang harta karun dan senjata. Kedudukannya tidak hilang bahkan setelah Cordova menjadi ibukota.        
            Pada mulanya Alfonso berjanji untuk menjaga keselamatan hidup kaum muslimin Toledo dan tidak merampas harta benda mereka. Dia berjanji untuk membiarkan kepada siapa saja yang ingin keluar dari Toledo maka dia dapat keluar, siapa saja yang ingin tetap tinggal maka dia dapat tetap tinggal dan tidak dimintakan darinya suatu apapun kecuali membayar pajak kepala, dan siapa saja yang merantau maka dia dapat pulang dengan segera dan harta miliknya dikembalikan kepadanya sebesar apapun nilainya. Kaum muslimin Toledo merespon baik segala jaminan yang mereka minta terkait kebebasan melakukan ritual agama dan menjaga baik tempat-tempat ibadah mereka. Tetapi kaum Katolik melanggar perjanjian mereka hanya beberapa pekan dari masuknya mereka ke kota Toledo (6 Mei 1085 Masehi). Mereka lalu mengalihfungsikan masjid menjadi gereja di bulan Juli pada tahun yang sama, melarang orang-orang yang merantau untuk pulang ke rumah-rumah mereka. Kaum muslimin mula-mula dipersempit untuk menunaikan ritual agama mereka, kemudian mereka dipaksa untuk memeluk Katolik tatkala sinar matahari Islam Andalusia mulai terbenam.
Tatkala Al Mu’tamid bin Ibad melihat bahaya kaum asing kian nyata, maka dia tidak menemukan suatu pegangan apapun kecuali meminta pertolongan kepada negara Al Murabithin di Maroko. Tatkala puteranya Al Rasyid memperingatkannya bahwa jika Al Murabithin datang memberi bantuan maka bisa jadi mereka tidak akan pernah meninggalkan Andalusia, dia menjawabnya dengan jawaban yang tidak akan pernah dilupakan oleh sejarah hingga kini: “Sesungguhnya bagiku memelihara unta di tengah sahara lebih baik daripada memelihara babi di Castello”.
Al Murabithin memenuhi permintaannya. Kaum muslimin meraih kemenangan yang gemilang dalam pertempuaran Zalaqah yang berlangsung satu tahun setelah kejatuhan Taledo. Al Mu’tamid berperang dengan gagah berani dan bersikap sangat sabar dalam peperangan. Tentara Alfonso dan para pendukungnya mengalami kekalahan yang besar. Jasad-jasad tentaranya menutupi medan pertempuran. Tidak ada seorangpun yang dapat bergerak di medan pertempuran itu tanpa melewati mayat-mayat tentara Alfonso yang penuh dengan lumuran darah.
Walau demikian kaum muslimin melakukan satu kesalahan fatal. Mereka berpuas diri dengan kemenangan yang mereka raih dalam pertempuran, tidak terus mengejar musuh tatkala mereka mundur, bahkan tidak sampai membebaskan Toledo yang deminya tentara Al Murabithin menyeberangi lautan dari Maroko ke Andalusia. Ini pada gilirannya memberi kesempatan kepada Alfonso untuk mengobati lukanya, menghimpun kekuatannya, dan tetap menjadikan negaranya sebagai duri dalam tubuh kaum muslimin sepanjang hidupnya dan sepanjang hidup orang-orang yang menggantikannya sepeninggalnya.
Tetapi panglima Al Murabithin, Yusuf bin Tasyfin, karena sebab-sebab politik, memutuskan untuk melengserkan seluruh pangeran “ragam golongan” dari tahta mereka. Dengan demikian maka beralihlah Andalusia menjadi salah satu provinsi kekaisaran Al Murabithin, kemudian setelah itu kekaisaran Al Muwahiddin, sejak akhir abad kesebelas Masehi hingga seperempat abad pertama dari abad ketigabelas.
Walau perasaan kuat warga Andalusia bahwa para penguasa mereka adalah orang-orang asing yang berada jauh di bawah mereka secara peradaban, kemapanan dan kebudayaan, namun kebanggaan satu-satunya mereka adalah perkataan Al Mu’tamid yang intinya: “Tunduk kepada saudara mereka seagama lebih baik daripada terperangkap ke dalam taring kekuasaan kaum kafir yang asing dan sesat”.
Kerelaan mereka kepada kekuasaan Al Muwahiddin berlanjut dan tercermin dalam sikap kukuh mereka untuk berperang menghalau musuh mereka dari orang-orang Kristen di utara Andalusia, sehingga terdapat dua kekuatan besar yang saling tempur yaitu kekuatan tentara Al Muwahiddin dan warga Andalusia di satu sisi, dan kekuatan tentara Katolik secara bersama-sama di sisi lain, yang meliputi tentara raja-raja Castello, Lyon, Nebra, Argon dan dibantu oleh kekuatan-kekuatan asing yang didukung oleh Paus yang merancang dan memberi berkat kepada para tentara yang pergi ke medan perang dan menjanjikan kepastian masuk surga kepada para korban perang.
Suatu pertempuran yang di dalamnya kaum muslimin mengalami kekalahan dan orang-orang yang tidak berdosa menemui kematian dalam jumlah yang sangat besar yang belum pernah terjadi dalam suatu pertempuran yang lain dalam sejarah Islam, sehingga seorang pejalan kaki di suatu dusun di negara Maroko-sebagaimana dikatakan oleh ahli sejarah Ibnu Abi Zara’-menempuh perjalanan yang panjang tanpa melihat seorangpun laki-laki karena kaum laki-laki dusun itu telah menemui ajal mereka pada yang hari yang naas itu.
Tatkala sebuah regime tidak sanggup melindungi perbatasannya maka itu merupakan awal dari kehancuran. Kekalahan tersebut melahirkan perasaan yang dalam pada warga Andalusia bahwa tentara Al Muwahiddin sudah tidak sanggup melindungi perbatasan Andalusia dalam konfrontasi mereka sehari-hari dengan kaum Kristen di utara Andalusia. Khalifah Al Muwahiddin wafat secara misterius tidak lama setelah pertempuran itu. Periode kekacauan dimulai. Kelompok-kelompok yang menentang dan berontak terhadap kekuasaan Al Muwahiddin bermunculan. Mereka juga saling bertempur antara sesama mereka. Kelompok-kelompok yang saling bersaing itu mulai minta bantuan kepada raja-raja di utara Andalusia dari kaum Kristen, sebagaimana dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka raja-raja kelompok-kelompok sebelumnya, namun bedanya adalah bahwa raja-raja di utara Andalusia di abad ketigabelas lebih hebat pemerintahannya, lebih kuat tentaranya dan lebih luas tanah kekuasaannya. Mereka mulai merampas satu demi satu kota-kota Andalusia. Bagian timur runtuh. Palencia, Marcia, Jayyan dan Syathiba jatuh. Bagian tengah juga runtuh. Cordova yang sebelumnya adalah ibukota kekhalifahan Andalusia jatuh dan setelah itu Aspilia. Pada pertengahan abad ketigabelas Masehi kebanyakan kota-kota penting Andalusia telah jatuh ke dalam genggaman negara Katolik melalui ragam malapetaka, perbedaan pendapat, kekacauan dan penderitaan, lalu tanah kekuasaan Islam di Andalusia pun susut.
Perasaan frustrasi yang dialami oleh kaum muslimin dalam periode tersebut sungguh pahit. Mereka melihat banyak benteng Islam beralih menjadi Kastel Kristen. Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana tentara Katolik merusak tanah, ladang dan kebun mereka. Mereka sadar bahwa jika mereka ingin bertahan hidup, maka mereka harus membela tanah air, kampung halaman dan keluarga mereka dengan diri mereka sendiri. Dari sinilah pecah berbagai pemberontakan di mana-mana, kemudian berbagai pemberontakan itu mengerucut kepada dua tokoh yaitu Ibnu Huud dan Ibnu Al Ahmar.
Pada mulanya kejadian-kejadian lebih cenderung dekat kepada Ibnu Huud. Maka bergabunglah kepadanya kebanyakan kota-kota Andalusia yang masih berada dalam genggaman kaum muslimin, lalu ia pun berambisi untuk memerdekakan Andalusia di bawah naungan Khalifah Abbasiah dan menjuluki dirinya dengan sebutan “Al Mutawakil”. Warga Andalusia sesungguhnya menerima keberadaannya lantaran kebencian mereka kepada tentara Al Muwahiddin bukan lantaran kecintaan mereka kepadanya karena ia bukanlah orang yang mereka cari. Ibnu Huud telah bekerjasama sejak semula dengan musuh-musuh kaum muslimin. Tidak lama kemudian Ibnu Huud mati dibunuh di kota Almeria karena perkara wanita. Suasana memberikan kesempatan kepada Ibnu Al Ahmar untuk berkuasa, maka bersegeralah masyarakat bergabung kepadanya untuk mencapai persatuan dan mencari aman. Tak lama kemudian dia mengadakan gencatan senjata dengan raja Castello kemudian menandatangani perjanjian yang dengan perjanjian itu maka Ibnu Al Ahmar berada di bawah perlindungan raja Castello, membayar upeti dan melepaskan benteng Jayyan kepadanya.
Pengaruh Castello mulai merambah masyarakat Islam dalam bentuk pakaian, tentara, senjata, perilaku dan kehidupan, yang pada gilirannya mengganggu rasa tenteram mereka, memicu rasa marah terselubung dalam hati nurani mereka, dan menebar rasa cemas. Ragam pengkhianatan mulai bekerja aktif. Kaum Kristen mulai mengasup segala sebab perpecahan dan kerusakan. Tetapi kekuatan pendapat umum yang terhimpun dapat merubah kebijakan tersebut, membebani para penguasa untuk lepas dari Castello Kristen, pergi ke Maroko, dan kawasan Timur dan minta pertolongan pada mereka.
Akan tetapi Andalusia telah sampai kepada tahap yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun sebagai masyarakat yang berada dalam keadaan susah payah atau runtuhnya kesetiaan kepada kelompok, sebagai masyarakat yang telah sampai kepada suatu masa yang memperlihatkan ragam perpecahan dan pengkhianatan yang tidak pernah dikenal oleh dunia Islam sebelumnya.  Dimana telah menjadi sesuatu yang biasa jika seorang saudara berkonspirasi terhadap saudaranya atau seorang anak membunuh bapaknya agar dapat menggantikan kekuasaannya. Mereka semuanya meminta pertolongan kepada musuh mereka dari kaum Kristen, mencari perlindungan tatkala mereka mengalami kekalahan, dan meminta bantuan berupa tentara, senjata dan harta. Kaum Kristen menyambut baik permintaan kaum muslimin Andalusia dan memberikan pertolongan kepada mereka jika hal itu memberi kemaslahatan kepada kaum Kristen, tetapi menyerahkan mereka kepada musuh-musuh kaum muslimin jika musuh-musuh itu membayar harga yang mahal kepada mereka.
Dengan munculnya pengkhianatan maka muncul pulalah tindakan korupsi di mana-mana. Andalusia pun mulai berjalan menuju akhir perjalanannya. Dia melirik ke sekitarnya namun dia tidak mendapatkan seorangpun yang mengulurkan bantuan dan tidak pula memberikan nasehat. Maroko sibuk dengan kekacauan-kekacauannya. Mesir runtuh secara ekonomi dan tidak mampu mengulurkan pertolongan. Turki kuat secara militer namun lemah secara politik dan sibuk dengan peperangan mereka melawan Balkan maka mereka tidak melirik ke Andalusia.
Pada 2 Januari 1492 para menteri pengkhianat dan penasehat korup yang dibayar oleh pihak musuh dapat meyakinkan Abu Abdullah Al Shagir raja Granada agar ia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh pihak musuh, maka pada pagi hari yang mendung sang raja datang menyerahkan kunci-kunci kota Granada kepada dua orang suami-isteri yaitu Fernado raja Argon dan Esabela ratu Castello, setelah itu ia, permaisuri dan pengikut setianya langsung pergi meninggalkan Granada. Tatkala ia melewati istana-istana dan taman-taman dan sesampainya di atas puncak gunung, ia mencuri pandang untuk terakhir kalinya ke Granada ibukota kerajaannya sambil menangis. Lalu ibunya A’isyah Al Hurrah membalas tangisan puterannya seraya berkata: “Menangislah seperti kaum perempuan hai raja yang sia-sia yang tidak dapat menjaga kerajaannya seperti kaum laki-laki”.
Setelah itu kejadian-kejadian di Andalusia sungguh mencekam. Kaum muslimin dipaksa untuk memeluk agama Katolik. Hukuman mati dan pembakaran menunggu siapa saja yang menolak. Satu seperempat abad setelah kejadian itu keluarlah ikrar pengusiran seluruh kaum muslimin dari Spanyol. Mereka secara hukum adalah penganut Katolik. Mereka diusir bukan karena mereka berasal dari bangsa Arab dan bukan pula sebagai kaum penyerbu, tetapi mereka diusir karena mereka berbicara bahasa Arab dan memeluk agama Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar