Kamis, 14 Februari 2013

Mazhabisme, Fanatisme, dan Keterpurukan
            Mazhabisme tidak perlu dikhawatirkan oleh Umat Islam, yang perlu dikhawatirkan adalah fanatisme, karena fanatisme bukan hanya merupakan jalan menuju perpecahan dan perfitnahan saja, namun pada waktu yang sama juga merupakan suatu tanda keterpurukan. Seorang pemerhati sejarah Islam dapat dengan mudah mengamati persandingan antara fanatisme dan keterpurukan sehingga keduanya menjadi dua wajah untuk satu hakikat.
            Mereka yang mengira bahwa penyelesaian tentang mazhabisme itu terletak pada seruan kepada “Islam tanpa mazhab”, sesungguhnya sedang melakukan kesalahan diagnosa dan penyembuhan. Mereka melakukan kerusakan ketimbang kebaikan, karena dengan seruan itu mereka tidak banyak berbeda dengan orang-orang yang menyerukan penutupan penelitian genealogi, karena risiko yang dapat muncul dari perkembangan percobaan-percobaan pengontrolan genetik, yang dapat mengakibatkan pada permainan terhadap sifat-sifat umat manusia.
            Kesalahan penggunaan ilmu tidak perlu diselesaikan dengan penutupan laboratorium. Demikian pula kesalahan penggunaan hak tidak perlu diselesaikan dengan pembinasaan hak itu dan menyerukan kepada pembentukan “masyarakat tanpa hak”.
Demikian pula halnya dengan mazhab-mazhab yang dahulu merupakan suatu bidang ilmu yang subur bagi pembaharuan dan ijtihad, sebagai suatu ungkapan kebebasan berpikir, pengasahan akal manusia, dan pengayaan realita Islam demi penuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mazhab-mazhab jika disalahgunakan dalam satu dan lain bentuk seperti beralih jadi agama-agama atau mengakibatkan perseteruan dan pertumpahan darah, maka semua itu tidak sepatutnya diperbaiki dengan melarang umat manusia dari segala sesuatu yang berkaitan dengan kebebasan, pengasahan, dan pengayaan berpikir.        
Jika sudah jelas bahwa hubungan antara fanatisme dan keterpurukan adalah ekspresi tentang persandingan antara keluhan dan penyakit, maka menjadi tidak bijak bahkan sia-sia jika kita hanya mengobati keluhan (fanatisme) saja dan membiarkan penyakit (keterpurukan) menjalar ke seluruh tubuh umat lalu merusak sel-selnya dan mengancam keberadaannya.
Marilah kita menelusuri asal usul penyakit umat dan sumber kejahatan yakni keterpurukan, dan di waktu yang sama marilah kita berusaha untuk meletakkan mazhabisme pada kerangka aslinya yaitu suatu pemikiran Islami yang bermanfaat dan bermartabat tanpa merupakan suatu keharusan dan tidak pula merupakan suatu penyembahan. Marilah juga kita berusaha untuk mendekatkan jarak, membangun jembatan antara para pengikut mazhab-mazhab Islam, dan melenyapkan segala rintangan yang ada antara umat Islam, yang membuat luka pada tubuh umat Islam di masa lalu dan kini menjadi kian parah, dan yang mengalihkannya dari jalan Islam yang sebenarnya.
Pada kenyataannya “Islam tanpa mazhab” mustahil dicapai, karena “Islam tanpa mazhab” tidak lebih dari sekedar sebuah seruan yang selalu dikumandangkan oleh orang-orang yang bermimpi, yang tidak tahu bahwa pelenyapan pemikiran yang telah bersemayam lebih dari seribu tahun dalam akal dan hati nurani umat, tidaklah mungkin dilakukan lewat khutbah dari atas mimbar, atau lewat penulisan buku yang dibaca ratusan kali dalam waktu singkat, lalu mereka melupakannya dan kembali ke sedia kala.
Perselisihan politik adalah suatu hakikat yang nyata. Dunia Islam yang di masa lalu pernah menjadi dunia yang mapan dan makmur kini menjadi negara-negara yang terpecahbelah, terpuruk, dan terbelakang.
Dari pandangan inilah kita berurusan dengan persoalan mazhabisme sambil menyerukan kepada perdamaian bukan permusuhan, kepada pemahaman dan kesepahaman bukan pertikaian dan perseteruan, dan kepada pertemuan dan persatuan bukan perpisahan dan perpecahan.
Titik fundamental yang berhubungan dengan metode berurusan dengan persoalan mazhabisme bahwa di antara mazhab-mazhab Islam itu terdapat beberapa titik kesepakatan dan titik perselisihan. Bahkan banyak anggapan yang mengatakan bahwa barangsiapa ingin berurusan dengan tema ini maka hendaknya dia pertama-tama menentukan tujuannya. Apakah dia ingin memenangkan satu mazhab atas mazhab yang lain? Ataukah dia ingin membuat perhitungan dengan satu mazhab? Ataukah dia ingin melakukan pendekatan dan kesepahaman? Apakah bertujuan untuk mempersatukan umat Islam? Ataukah dia lebih cenderung kepada ahlussunah, misalnya, daripada mazhab-mazhab yang lain? Ataukah bertujuan untuk menerangkan kesalahan-kesalahan dalam ajaran-ajaran dan keyakinan-keyakinan mereka?
Sesungguhnya barangsiapa yang ingin sampai kepada kesepakatan, kesepahaman dan kedekatan, maka dia akan menemukan seribu jalan menuju ke tempat yang dituju.
Demikian pula barangsiapa yang ingin membuktikan perselisihan atau membuat perhitungan atau membantah pendapat yang lain, maka dia juga akan menemukan seribu jalan yang mengantarkannya kepada apa yang dia inginkan.
Sesungguhnya kita hidup pada era yang di dalamnya dialog menjadi bahasa yang wajib bagi kelangsungan hidup berdampingan secara damai. Kini dialog yang tak henti-hentinya sedang berlangsung antara negera-negara adikuasa, antara negara-negara Uni Eropa, dan Islam dan Kristen. Tetapi yang masih belum jelas adalah dialog antara Islam dan Islam.
Yang benar-benar membuat kita semakin kaget bahkan sedih dan berkabung bahwa umat Islam sesungguhnya telah mendahului mereka semua dalam upaya menggelar dialog, malah pada kenyataannya umat Islam telah menggelarnya pada tahun empatpuluhan, tetapi upaya itu tidak berlangsung lama dan mati pada tahun enampuluhan. 
Pada tahun 1948 di Mesir telah dibentuk “Komite Pendekatan Antar Mazhab-Mazhab Islam”. Di dalamnya bergabung sejumlah ulama dari berbagai negara dan beragam mazhab. Sheikh Mahmud Syaltut, yang dikemudian hari  menjadi sheikh Al Azhar, adalah salah seorang ulama yang aktif dalam Komite Pendekatan. Dia menggambarkan pertemuan-pertemuan Komite Pendekatan dengan mengatakan: “Seorang warganegara Mesir duduk di samping seorang warganegara Iran atau Lebanon atau Irak atau Pakistan atau warganegara yang lain, dan seorang bermazhab Hanafi dan Maliki dan Syafi’i dan Hambali duduk di samping seorang bermazhab Imamiah dan Zaidi. Mereka mengitari satu meja. Mereka berbicara dengan suara yang di dalamnya ada ilmu, etika, tasawwuf, fiqih, dan lebih dari itu ada semangat persaudaraan, kasih sayang, dan ilmu pengetahuan”.
Salah satu tujuan pembentukan Komite Pendekatan adalah bekerja keras untuk menyatukan para pengikut mazhab-mazhab Islam, yang telah dijauhkan oleh pendapat-pendapat yang sama sekali tidak menyentuh akidah yang wajib diimani, dan berusaha untuk melenyapkan perseteruan yang sedang berlangsung antara dua bangsa atau dua golongan dari umat Islam serta mendamaikan keduanya.   
Para ulama terus melanjutkan kerja keras mereka melalui Komite Pendekatan dan menyampaikan pendapat-pendapat mereka kepada seluruh umat Islam lewat majalah Risalah Al Islam yang diterbitkan oleh Komite Pendekatan selama 16 tahun sampai berhentinya kerja keras itu karena sebab-sebab politis pada tahun 1964.
Sesungguhnya perselisihan pendapat merupakan suatu perkara wajar yang pasti terjadi karena berbagai sebab, yang berkisar antara perselisihan ilmu, pengetahuan, dan kepentingan.
Jika perselisihan politik sekitar persoalan imamah atau kepemimpinan adalah faktor yang membuka pintu bagi permunculan berbagai golongan dalam sejarah Islam, yang pada gilirannya memunculkan Syiah, Khawarij, dan di antara keduanya muncul golongan tengah moderat yang kemudian dikenal dengan nama “Ahlussunah”, namun porsi terbesar dari keragaman mazhab Islam justeru ditimbulkan oleh perselisihan akidah dan fiqih. Demikianlah konteks penyelesaian persoalan “pihak yang lain” dalam pemikiran Islam.
Peristiwa itu berlangsung pasca perselisihan politik akibat petaka pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan dan pasca alih kekhalifahan ke Kuffah kemudian ke Syam dan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada periode peralihan itu. Peristiwa-peristiwa itu telah memasukkan berbagai persoalan ke dalam lingkar perselisihan yang barangkali faktor politik memainkan peran di kala itu.
            Irak merupakan lingkungan subur bagi interaksi pemikiran dan pendapat, khususnya di Kuffah dan Basra. Di sanalah muncul Syiah, Jahamiah atau Jabariah, Mu’tazilah, Khawarij, dan sejumlah pengikut hawa nafsu dan bid’ah. Selain itu Irak juga terkenal sebagai negeri Ahli Ar Rai’ (rasional). Sedang penduduk Hijaz merasa yakin bahwa mereka telah menyusun baik As Sunnah. Di Madinah ada puluhan ribu sahabat. Oleh karena itu Hijaz dianggap sebagai negeri Ahli Al Hadis. Tatkala salah seorang dari penduduk Madinah yaitu Rabiah bin Abu Abdurrahman yang merupakan guru Imam Malik mengikuti Ahli Ar Rai’ (rasional) maka sikapnya itu menjadi sorotan penduduk Madinah sehingga dia dijuluki dengan julukan “Rabi’ah Ar Rai’.
            Aliran-aliran pemikiran itu muncul sejak awal abad kedua Hijriah setelah berakhirnya era Sahabat dan Tabi’in yaitu tahap yang secara khusus mencakup era Abbasiah I. Pada era itu jumlah mazhab Ahlussunah mencapai 13 mazhab. Di antara mazhab-mazhab Ahlussunah yang masih tetap ada adalah empat mazhab Ahlussunah, namun mazhab-mazhab yang lain mulai meredup seperti mazhab-mazhab Imam Al Hassan Al Bashri (wafat 110 Hijriah), Imam Al Auza’i (wafat 157 Hijriah), Imam Sufyan Ats Tsuri (160 Hijjriah), Imam Al Laits bin Saad (wafat 175 Hijriah), dan Imam Sufyan bin Uyyanah (wafat 198 Hijriah), dan yang lainnya.
            Terdapat perselisihan antara pengikut mazhab-mazhab itu, dalam kaitan dengan kesimpulan tentang beberapa Hadis Nabi atau dalam kesimpulan tentang karya Ahli Al Hadis (penduduk Madinah) yang disukai oleh Imam Malik atau dalam kesimpulan tentang qias, ra’i dan istihsan, atau argumentasi dan konsensus.
            Perselisihan para ahli fiqih itu berkisar pada cara perancangan ketetapan hukum dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, namun perselisihan itu merupakan perselisihan antar ilmuwan dan cendekiawan, yang berpijak pada argumentasi, hormat pada pendapat pihak lain, dan santun. Surat berharga yang dikirim oleh Al Laits bin Saad kepada Imam Malik tentang ketidaksepakatannya atas karya penduduk Madinah dan sikap saling hormat menghormati antara Imam Hanifah dan Imam Malik merupakan sebagian contoh perselisihan antar ilmuwan. Sementara Imam Syafi’i menuturkan: “Jika tidak ada Malik dan Ibnu Uyyanah niscaya lenyaplah ilmu penduduk Hijaz”. Dia juga mengatakan: “Malik bin Anas adalah guruku. Darinya aku menimba ilmu. Jika para ulama disebutkan maka Malik adalah bintangnya”.
Tatkala Ibnu Hambal ditanya tentang Sufyan dan Malik jika mereka berdua berselisih dalam riwayat, maka dia berkata: “Malik lebih besar di dalam hatiku”. Dan tatkala dia ditanya tentang perselisihan Malik dan Al Auza’i, dia bekata: “Malik lebih aku sukai walau Al Auza’i termasuk di antara para imam”.
Suasana sehat tersebut tidak berlangsung lama dan mulai redup secara perlahan-lahan seiring dengan runtuhnya kekhalifahan Abbasiah pasca abad keempat Hijriah ketika pembiasan sampai puncaknya dengan jatuhnya kekhalifahan Abbasiah di tangan bangsa Tartar di abad ketujuh Hijriah.
Pembiasan itu berdampak negatif pada pentas ilmu. Kemiskinan merajalela. Semangat taqlid meluas. Fanatisme merebak. Dialog lenyap. Perdebatan diganti dengan sesuatu yang bertujuan bukan untuk membawa orang-orang yang berdebat itu kepada kebenaran, tetapi untuk keberhasilan masing-masing orang yang berdialog itu dalam menyalahkan pihak yang lain. Imam Ghazali penulis Ihya Ulumuddin (wafat 505 Hijriah) menggambarkan perfitnahan yang marak pada periode itu dengan menuturkan: “Situasi ini melahirkan fanatisme yang jahat dan perseteruan yang kejam yang mengantarkan kepada pertumpahan darah dan pengrusakan negeri”.
Semua orang berdiam diri, meninggalkan seni ilmu, dan tidak hormat kepada persoalan-persoalan khilafiah yang berlangsung terutama antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.  
Diriwayatkan bahwa Al Qader Billah salah seorang khulafa Abbasiah mengalihkan urusan yudikatif dari mazhab Hanafi ke mazhab Syafi’i. Akibatnya perfitnahan terjadi di Baghdad. Masyarakat berontak. Kekacauan terus berlanjut kecuali setelah sang khalifah mencabut keputusannya lalu melengserkan hakim bermazhab Syafi’i dan menggantikannya dengan hakim bermazhab Hanafi.
Itu semua terjadi pada Ahlussunah. Maka bagaimanakah kiranya jika kita berbicara tentang hubungan antara Ahlussunah dengan mazhab-mazhab yang lain seperti mazhab-mazhab Syiah. Pastilah ceritanya lebih rumit.
Lebih dari itu muncul pendapat bahwa seorang Muslim dilarang dalam shalatnya berma’mum kepada imam yang berlainan mazhab. Hal itu berdasarkan pada suatu kaidah yang mengatakan bahwa panutan dalam shalat adalah mengikuti mazhab ma’mum bukan mazhab imam. Maka muncul pendapat di berbagai negeri Islam yang berusaha yang memisahkan pengikut mazhab-mazhab dalam shalat mereka karena keraguan yang selalu mengganggu masing-masing dari mereka tentang sahnya shalat “pihak yang lain”.  
Perseteruan mazhabisme belum berakhir hingga kini. Pertikaian antara salafi dan sufi terus berlanjut, bahkan sampai pada batas bentrokan fisik yang menyebabkan pertumpahan darah.
Sudah saatnya kita mengkaji ulang perselisihan dan perbedaan yang tidak logis itu. Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku}.[1]


[1][1] Surat Al Anbiyaa’: 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar