Rabu, 13 Februari 2013

Khulafa Abbasiah melindungi ilmu dan ilmuwan
        Peran yang sekarang dimainkan oleh lembaga-lembaga resmi dan tidak resmi dalam perlindungan gerakan ilmu pengetahuan di dunia Arab Islam bukanlah fenomena baru dalam sejarah Arab Islam.
        Sesungguhnya kebangkitan ilmu yang telah disaksikan oleh kekhalifahan Abbasiah, yang merupakan lembaran era emas yang paling mengagumkan bagi peradaban Arab Islam merupakan hasil dari sejumlah faktor, terutama perlindungan yang dinikmati oleh kebangkitan ilmu pengetahuan itu secara materi dan non materi dari sejumlah khulafa, menteri, dan pemuka yang peduli dengan ilmu dan sastera.
        Perlu diketahui bahwa khulafa dan petinggi kekhalifahan Abbasiah semuanya cinta kepada ilmu dan ilmuwan. Mereka mendukung gerakan ilmu dan ilmuwan. Mereka menyediakan segala sarana yang membawa kepada keberhasilan dan kesejahteraan. Mereka sendiri merupakan pelaku-pelaku dalam gerakan ilmu itu dengan kemampuan ilmu dan sastera yang mereka miliki dan menjadikan sebagian dari mereka dikategorikan sebagai ilmuwan dan sasterawan.
Pelindung Pertama:
        Para sejarawan sepakat bahwa Khalifah Abbasiah II yaitu Abu Ja’far Al Manshur (wafat 775 Masehi) merupakan pelindung pertama ilmu dari khulafa Bani Abbasiah. Walau sibuk dengan peneguhan lembaga-lembaga negaranya tetapi Khalifah Abu Ja’far Al Manshur menaruh perhatian yang besar pada perlindungan gerakan ilmu. Sang khalifah sendiri sebagaimana dipastikan oleh sumber-sumber adalah “orang yang berperan baik dalam ilmu dan sastera”. Dia “cakap dalam fikih, maju dalam filsafat, dan ilmu falak”. Lebih dari itu dia merupakan “orang yang paling pandai berbicara dan bertutur kata”, dan dia “dikenal sebagai orang yang selalu menuntut ilmu”. 
Demikian pula Al Manshur adalah khalifah Abbasiah pertama yang menaruh perhatian pada gerakan penerjemahan. Banyak buku-buku yang diterjemahkan untuknya dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab. Dokter pribadinya Georges Bakhtisou yang beragama Kristen Nastarian misalnya menerjemahkan sejumlah buku dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab terutama buku-buku yang berkaitan dengan kedokteran. Patrick Patrick menerjemahkan untuknya banyak dari buku-buku Yunani kuno seperti buku-buku Hipocrates dan Jalinus. Demikian pula Muhammad Ibrahim Al Qazari menerjemahkan untuknya buku Sand Hindia dari bahasa India ke dalam bahasa Arab. Buku itu merupakan buku ilmu falak yang paling kesohor pada waktu itu dan kemudian menjadi contoh penulisan ilmiah di bidang ilmu falak.
Abu Ja’far Al Manshur adalah orang yang peduli kepada ilmuwan.  Sumber-sumber berbicara tentang betapa besar sikap rendah hati dan kasih sayang yang diperlihatkan olehnya kepada para ilmuwan dan saterawan. Dokter pribadinya Georges Bakhtisou misalnya mendapatkan penghormatan dan penghargaan selama bertahun-tahun tinggal di Baghdad. Tatkala dia menderita sakit maka sang khalifah tidak ragu-ragu untuk mengunjunginya dan melihat kondisinya setiap hari. Tatkala dia hendak pulang ke kampung halamannya di Jundisabor maka sang khalifah mengirim kepadanya beberapa dari pengawalnya untuk menemaninya dalam perjalanannya.
Khalifah Harun Al Rasyid (wafat tahun 809 Masehi) melanjutkan apa yang telah dimulai oleh kakeknya Al Manshur dalam perlindungan gerakan ilmu, bahkan dia mengungguli kakeknya dalam ragam dan aneka bentuk gerakan ilmu itu. Al Rasyid mendedikasikan dirinya untuk ilmu dan sastera. Dia sendiri “seorang penyair dan perawi”. Tidak ada dalam sejarah seorang khalifah yang merantau untuk menuntut ilmu kecuali Al Rasyid. Dia dan kedua puteranya, Al Amin dan Al Ma’mun, merantau untuk mendengarkan Al Mutha’ kepada Imam Syafi’i. Al Rasyid membawa banyak dari buku-buku warisan Yunani dan menaruhnya di perpustakaan khusus yang dikenal dengan Khazanatulhikmah dan menugaskan tim penerjemah untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Dia menunjuk Johanes Masweh sebagai sekretaris tim penerjemah dan memberikannya wewenang untuk merekrut sejumlah penerjemah yang cakap. Sejak saat itulah penerjemahan menjadi kebijakan umum kekhalifahan Abbasiah.
Demikian pula Al Rasyid menggelar pertemuan-pertemuan ilmu di istananya yang meliputi sejumlah ilmuwan besar di masanya seperti Al Ashma’i, Al Kasa’i, Sibaweh, Al Waqidi, Abu Ubaidah, Abu Al ‘Atahiah, Abu Yusuf Yaqub, Da’bal, Ibrahim Al Moshuli, puteranya Ishak, dan yang lainnya.
Dalam tiap pertemuan itu berlangsung perdebatan ilmiah dan sastera di bawah perlindungan sang khalifah dan dengan partisipasinya. Penemuan pabrik kertas pertama di Baghdad pada era Khalifah Al Rasyid memainkan peran penting dalam ilmu, ilmuwan, dan permulaan era baru dalam sejarah budaya Arab Islam.
Para ilmuwan dan sasterawan mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang tinggi dari Al Rasyid. Sumber-sumber menyebutkan bahwa Al Rasyid tidak pernah putus mengunjungi Al Kasa’i tatkala dia sakit. Para ilmuwan dan sasterawan mendapatkan harta kekayaan yang banyak dari Al Rasyid. Bahkan sebagian dari ilmuwan dan dokter memperoleh alokasi keuangan dari Baitulmal.
Al Ma’mun dan Baitulhikmah:
      Perlindungan khulafa Abbasiah kepada ilmu sampai puncaknya pada era Khalifah Al Ma’mun (wafat tahun 832 Masehi). Para sejarawan sepakat bahwa tidak ada seorang khalifah dari Bani Abbasiah yang lebih berilmu daripada Al Ma’mun. Dia adalah (seorang yang paling mulia di antara para khalifah, ilmuwan, dan pebijak). Bahkan sebagian dari sejarawan menganggapnya sebagai (seorang ilmuwan besar), karena dia (menguasai fikih, bahasa Arab, sejarah, dan filsafat).
        Sebagaimana diketahui bahwa tatkala Al Ma’mun memangku kekhalifahan dan menetap di Baghdad, dia membentuk sebuah dewan yang terdiri dari ilmuwan dan sasterawan untuk berdiskusi dan berdialog. Dewan ini mengadakan pertemuan tiap hari Selasa di bawah perlindungan sang kahlifah dan dengan partisipasinya. Dewan ini beranggotakan para ilmuwan dan sasterawan dari berbagai kota. Mereka berdiskusi tentang persoalan-persoalan intelektual dan ilmu. Mereka melontarkan pendapat-pendapat mereka dengan kebebasan yang mutlak tanpa rasa takut dan cemas. Bahkan para ilmuwan dari dunia Islam saling bersaing untuk membangun reputasi ilmiah dan memperoleh kemuliaan hadir dalam dewan itu. Pada era Al Ma’mun-lah Baitulhikmah berkembang pesat. Walau benih Baitulhikmah berasal dari Khazanatulhikmah yang didirikan oleh bapaknya namun pada eranya Baitulhikmah menjadi sebuah kompleks ilmu dan budaya, yang meliputi ruang-ruang khusus untuk terjemah, naskah, penelitian, pembacaan, perdebatan, dan sebuah perpustakaan yang terbuka untuk umum. Baitulhikmah mengoleksi kekayaan budaya Arab Islam dan budaya asing terutama Yunani, Persia, India, dan Serenia.
        Melalui surat-menyurat dengan para patrik Romawi, Al Ma’mun mampu memperoleh banyak dari naskah-naskah warisan Yunani. Dia utus banyak delegasi dari kaum ilmuwan ke Asia Kecil, Ciprus, dan negeri-negeri Romawi yang lain. Di antara yang diutus adalah Al Hujaj putera Mathar, Johanes Patrick, Johanes Masweh, dan yang lainnya. Mereka memilih naskah-naskah warisan Yunani itu dan membawanya ke Baitulhikmah di Baghdad setelah orang-orang Romawi menerima imbalan yang besar. Naskah-naskah itu berkaitan dengan kedokteran, falak, teknik, dan bidang-bidang ilmu yang lain. Al Ma’mun mengangkat para penerjemah yang cakap untuk menerjemahkan naskah-naskah itu ke dalam bahasa Arab. Di antara mereka Hunain bin Ishak, puteranya Ishak, Johanes bin Patrick, Al Hujaj bin Mathar, dan yang lainnya.
        Sang khalifah keluarkan biaya yang amat banyak dalam penerjemahan naskah-naskah itu. Di samping gaji bulanan yang diterima oleh penerjemah dari Baitulhikmah mereka juga menerima dana lain seperti Hunain bin Ishak yang menerima hadiah emas dari Al Ma’mun seberat buku yang diterjemahkannya. Baitulhikmah dan terjemahannya telah banyak memainkan peran penting dalam sejarah budaya Arab Islam.
        Al Ma’mun menaruh perhatian kepada para ilmuwan dan memasukkan mereka dalam perlindungannya. Al Ma’mun berusaha keras untuk meyakinkan Al Ashma’i agar mau pindah dari Bashra ke Baghdad tetapi Al Ashma’i tidak dapat memenuhi permintaan sang khalifah karena umurnya yang semakin tua dan kesehatannya kian lemah. Oleh karena itu sang khalifah mengumpulkan dan membawa persoalan-persoalan kepada Al Ashma’i di Bashra agar dapat dijawab.
        Berbagai narasumber menyebutkan bahwa Al Ma’mun mengalokasikan satu ruang di istananya untuk Abu Zakaria Al Faraa’ agar dia mendedikasikan diri untuk menyusun sebuah buku tentang ilmu Nahwu Arab dan menugaskan para pelayannya untuk melakukan apa yang dibutuhkan olehnya. Demikian pula Al Ma’mun mengirim banyak penulis untuk membantu Al Faraa’ dalam penulisan bukunya sehingga bukunya Al Hudud dapat diselesaikan dalam waktu dua tahun. Demikian pula Al Ma’mun melunasi hutang-hutang beberapa ilmuwan. Para sejarawan menceritakan bahwa kesulitan keuangan telah dialami oleh ilmuwan dan sejarawan kesohor yaitu Al Waqidi dan oleh karenanya dia terpaksa berhutang. Tatkala Al Ma’mun tahu tentang itu maka dia mengirim uang senilai dua kali lipat yang dibutuhkan oleh Al Waqidi.
        Perlindungan khalifah Al Ma’mun kepada ilmu dan ilmuwan tidak hanya sebatas mengadakan pertemuan-pertemuan ilmiah, memperoleh naskah-naskah dalam bahasa Yunani, menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, dan menghormati para ilmuwan saja, tetapi juga mendorong para ilmuwan untuk berusaha mengalihkan pemikiran-pemikiran ilmiah itu ke alam nyata yaitu pengalihan ilmu ke tehnologi. Sang khalifah meminta dari mereka misalnya untuk membuat alat peneropong sebagaimana digambarkan oleh seorang ahli geografi Yunani Batlimus dalam bukunya The Majesty. Mereka berhasil menciptakan alat itu dan mendirikan alat-alat peneropong di beberapa kota Arab seperti Baghdad dan Damaskus. Mereka juga melakukan pengukuran luas bumi. Demikian pula Al Ma’mun menyerukan rakyatnya untuk peduli dengan warisan Yunani dan mempelajarinya. Banyak dari para ilmuwan dan sasterawan yang merespon seruannya. Lebih dari itu banyak dari ilmuwan-ilmuwan besar yang tumbuh berkembang dari dalam Baitulhikmah seperti putera-putera Musa bin Syakir, Al Khawarizmi, Sahal bin Hrun, Hunain bin Ishak dan puteranya, Thabit bin Qarrah, dan yang lain. Kesimpulannya bahwa kerja keras Al Ma’mun dalam perlindungan ilmu dan ilmuwan merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan budaya Arab Islam.
Dewan menteri dan kebangkitan ilmu:
        Banyak dari para menteri di era Abbasiah yang meneladani khulafa mereka dalam perlindungan ilmu dan ilmuwan, terutama para menteri Khalifah Harun Al Rasyid. Terlepas dari kedekatan hubungan mereka dengan Al Rasyid, mereka juga memainkan peran besar dalam pendorongan ilmu dan ilmuwan dan pada gilirannya dalam perlindungan kebangkitan ilmu. Dewan menteri di era itu tidak hanya tokoh-tokoh politik dan penata pemerintahan saja tetapi juga kebanyakan dari mereka adalah para ilmuwan dan sasterawan. Yahya Al Baramiki (wafat tahun 805 Masehi) dan dua puteranya Al Fadhlu dan Ja’far adalah di antara orang-orang yang mencintai ilmu dan ilmuwan. Seorang sejarawan menggambarkan Yahya sebagai (seorang penulis sasterawan yang cakap dan pandai). Dia selalu berkata kepada putera-puteranya (Tulislah yang terbaik dari yang kalian dengar, simpanlah yang terbaik dari yang kalian tulis, dan berbicaralah dengan yang terbaik dari yang kalian simpan). Demikian pula narasumber menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun yang belih hebat dari Ja’far bin Yahya dalam retorika dan kefasihan bahasa.
        Bentuk perlindungan dewan menteri terhadap ilmu dan ilmuwan beragam. Yahya dan puteranya Ja’far mempunyai sebuah majelis ilmu yang dihadiri oleh para ilmuwan dan sasterawan untuk berdialog tentang berbagai bidang ilmu dan pengetahuan, terutama ilmu bahasa dan sastera. Majelis ini dihadiri oleh ilmuwan-ilmuwan terkenal seperti Al Kasa’i, Al Faraa’, Al Waqidi, Abu Ya’qub, dan yang lainnya. Dewan menteri Al Rasyid merupakan para pelindung gerakan terjemahan di era mereka. Banyak dari buku-buku warisan Yunani, Persia, dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di bawah perlindungan mereka. Mereka mengeluarkan banyak biaya untuk para penerjemah. Mereka memberikan uang kepada Aban bin Abdulhamid misalnya sebesar limabelas ribu Dinar untuk menerjemahkan Kalilah dan Domnah dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab dalam bentuk syair. Demikian pula dewan menteri Al Rasyid menaruh perhatian dalam penerjemahan warisan Yunani ke dalam bahasa Arab. Yahya Al Baramiki misalnya menaruh perhatian dalam penerjemahan buku The Majesty karangan Baltimus. Dia memberi tugas kepada beberapa ilmuwan dan penerjemah untuk mengkaji ulang buku itu agar keluar dengan hasil yang sempurna. Dewan menteri berperan dalam mendatangkan para ilmuwan dan dokter yang terkenal ke istana Abbasiah. Yahya Al Baramiki-lah yang mengusulkan kepada Khalifah Al Rasyid untuk memanggil dokter dari Kristen Nastarian asal Jundisabor Bakhtisou untuk mengobati penyakitnya. Anak-anak dan cucu-cucu sang dokter menetap di Baghdad untuk mengabdi kepada istana Abbasiah. Mereka memainkan peran penting dalam pengembangan kedokteran secara praktek dan teori selama dua setengah abad. Demikian pula Yahya Al Baramiki-lah yang mengusulkan kepada Al Rasyid untuk mendatangkan dokter asal India yaitu Monaka ke Baghdad. Monaka menerjemahkan beberapa buku dari bahasa India ke dalam bahasa Arab. Narasumber mengisyaratkan bahwa Al Fadhlu bin Yahya adalah orang pertama yang mengusulkan kepada Al Rasyid tentang pentingnya pembangunan pabrik kertas pertama di Baghdad karena Al Fadhlu telah mengenal kertas Samarkand ketika dia menjadi wakil Al Rasyid di Khurasan. Tentang sikap hormat dewan menteri Al Rasyid kepada ilmu dan ilmuwan, seorang sejarawan menggambarkan bahwa Yahya Al Baramiki adalah (seorang yang mencintai sastera dan menghormati para sasterawan dan penyair). Bahkan sebagian dari para ilmuwan dan sasterawan itu memperoleh gaji tetap dari dewan menteri seperti dokter Kristen Nastarian Bakhtisuo yang menerima gaji tahunan sebesar dua juta empatratus ribu Dirham selama tigabelas tahun.
Menteri dan ilmuwan:
        Menteri Muhammad bin Abdulmalik Al Zayyat (wafat tahun 847 Masehi) adalah salah seorang tokoh resmi yang melindungi ilmu dan ilmuwan. Dia diangkat sebagai menteri di era Khalifah Al Mu’tashim (wafat tahun 842 Masehi), Khalifah Al Wathiq (wafat 847 Masehi), dan beberapa hari di era Khalifah Al Mutawakil (wafat tahun 861 Masehi). Al Zayyat di eranya dikenal sebagai salah seorang ilmuwan bahasa dan sastera Arab. Lebih dari itu dia juga dikenal sebagai seorang penyair dan pengeritik. Dia mempunyai sebuah perpustakaan yang berisi buku-buku penting. Diriwayatkan bahwa Al Jahidh pada suatu hari ingin mengunjungi Al Zayyat yang ketika itu menjabat sebagai seorang menteri Al Mu’tashim lalu dia tidak mendapati suatu hadiah untuknya yang lebih baik dari sebuah buku karangan Sibaweh, maka Al Zayyat bertanya kepadanya: “Apakah engkau mengira bahwa perpustakaan kami hampa dari buku ini”. Maka Al Jahidh menjawab: “Aku tidak mengira demikian, tetapi buku itu ditulis oleh Al Faraa’, dimukadimahi oleh Al Kasa’i, dan dikaji ulang oleh Amru bin Bahar Al Jahidh”. Yaitu dirinya sendiri.
        Al Zayyat mengikuti jejak perjalanan khulafa Abbasiah dalam perlindungan ilmu dan ilmuwan. Dia mempunyai sebuah majelis ilmu yang sejalan dengan majelis ilmu yang dimiliki oleh Al Rasyid dan Al Ma’mun. Di dalamnya berkumpul para ilmuwan dan sasterawan untuk berdiskusi di bawah pengawasannya dan partisipasinya. Majelis itu senantiasa dihadiri oleh Abu Ustman Al Mazini, Ibnu Al Sakit, dan yang lainnya. Al Zayyat pada waktu itu melindungi gerakan penerjemahan, terutama terjemahan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Banyak penerjemah ulung yang menerjemahkan buku-buku untuknya seperti Johanes bin Masweh, Gibrail bin Bakhtisou, Hunain bin Ishak, dan yang lainnya. Para sejarawan memastikan bahwa Al Zayyat menggaji para penulis naskah sebesar seribu Dinar setiap bulan. Belum lagi hadiah-hadiah yang diberikannya kepada para ilmuwan dan sasterawan yang menghadiahkan kepadanya buku-buku karangan mereka seperti kepada Al Jahidh sebesar lima ribu Dinar sebagai hadiah atas bukunya Al Haiwan yang diberikan kepadanya.
Keluarga elit ilmu:
        Beberapa keluarga elit masuk bersaing dengan para khaifah dan menteri dalam perlindungan ilmu dan ilmuwan. Keluarga Bani Musa bin Syakir merupakan keluarga elit yang paling kesohor di masa itu. Peran mereka tidak hanya sebatas pada perlindungan ilmu dan ilmuwan saja, namun putera-putera keluarga tersebut juga memainkan peran besar dalam pengembangan pencapaian-pencapaian ilmiah. Ragam narasumber mengisyaratkan bahwa Musa bin Syakir merupakan salah seorang sahabat Khalifah Al Ma’mun. Tatkala Musa bin Syakir wafat Al Ma’mun menyampaikan wasiatnya kepada putera-puteranya: Muhammad, Ahmad, dan Al Hasan. Mereka tumbuh berkembang dan menimba ilmu di Baitulhikmah di bawah perlindungan direktur Baitulhikmah yaitu ahli falah kesohor Yahya bin Abu Manshur. Putera-putera Musa bin Syakir mendedikasikan hidupnya dalam ragam ilmu seperti ilmu falak dan mekanik. Mereka mempunyai berbagai tulisan. Barangkali buku mereka yang kesohor adalah buku yang dikenal dengan Jabal Bani Musa, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad keduabelas Masehi dengan judul Buku Tiga Bersaudara. Bani Musa selalu mengirim delegasi-delegasi ilmiah ke negeri Romawi. Mereka membawa berbagai tulisan-tulisan yang berkaitan dengan filsafat, matematika, kedokteran, ilmu falak, dan musik dengan imbalan yang sangat mahal. Di antara delegasi-delegasi ilmiah itu adalah Hunain bun Ishak. Putera-putera Bani Musa menugasi para penerjemah yang ulung untuk menerjemahkannya dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Mereka membayar uang sebesar lima ratus Dinar tiap bulan kepada setiap penerjemah. Di antara mereka adalah Hunain bin Ishak dan putera saudara perempuannya Hubais bin Al A’sam, Tsabit bin Qurrah, dan yang lainnya. Pada hakikatnya kebaikan keluarga Bani Musa pada kebangkitan ilmu bukan hanya berpulang pada tulisan-tulisan mereka saja melainkan juga pada para ilmuwan yang lahir dari rumah mereka seperti Tsabit bin Qurrah, yang merupakan salah seorang astrolog kesohor di abad pertengahan.
        Sejatinya era itu adalah era pengecualian dalam peradaban Arab Islam dan benarlah kata mutiara: “Jika seorang raja adalah seorang ilmuwan maka sejatinya seorang ilmuwan adalah seorang raja”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar