Kamis, 14 Februari 2013

Rintangan-rintangan Pendekatan antara Sunnah dan Syiah
            Walau ide pendekatan antara Sunnah dan Syiah secara teroristis muncul dari pihak Syiah lewat perkataan Marja’ Syiah Iran Taqqiuddin Al Qommi, namun demikian secara praktis telah dibentuk lebih dari 50 tahun yang lalu dengan berdirinya suatu lembaga pendekatan yang disebut dengan “Darut-Taqrib” di Kairo, Mesir yang mayoritas penduduknya adalah penganut mazhab Sunnah.
            Kedua belah pihak telah banyak menulis literatur-literatur yang mengukuhkan, memperdalam, dan berupaya untuk menerapkan ide pendekatan tersebut namun menemukan kegagalan.
            Nampaknya kegagalan pendekatan tersebut kembali kepada adanya rintangan-rintangan yang belum dibuka seluas-luasnya untuk dibicarakan kecuali pada tahun-tahun belakangan, bahkan segala yang diutarakan dalam pembicaraan-pembicaraan antara dua mazhab itu hanya berputar sekitar prinsip-prinsip persatuan, etika perdebatan, tata kelola perbedaan pendapat, dan lain-lain.
Tatkala diusulkan untuk dibicarakan maka rintangan-rintangan itu memicu kemarahan pihak Syiah yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya krisis putus hubungan antara Sunnah dan Syiah. Ini membuktikan bahwa sesungguhnya kebenaran itu pahit dan bahwa sesungguhnya kata-kata manis dan basa-basi tidak pernah lepas dari pembicaraan tentang pendekatan antara kedua belah pihak.
Rintangan-rintangan itu dapat dibagi ke dalam dua bagian:
Pertama: Rintangan-rintangan Usuliah.
            Sebagian dari mereka yang berperan aktif dalam pendekatan antara Sunnah dan Syiah menganggap bahwa sesungguhnya tidak ada di antara mereka perbedaan pada asal-usul atau pokok, dan yang ada hanya perbedaan pada furu’ atau cabang saja.
            Jika perkataan tersebut benar adanya, maka mengapa ada pengafiran terhadap seluruh sahabat kecuali Salman, Ali, Hassan, Ja’far, dan Hamzah? Caci-maki terhadap ‘Aisyah Ummulmu’minin radhiaullahu ‘anha? Kutukan terhadap Abu Bakar dan Umar radhiaullahu ‘anhuma? Klaim pemalsuan Al Qur’an Al Karim? Klaim martabat keimaman bagi imam-imam mereka yang duabelas dan bahwa mereka mengetahui alam yang ghaib?
            Tentang hal itu Ibnu Taimiah dalam bukunya, Minhaj Assunnah Annabawiah, menerangkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut bersumber dari kenyataan bahwa mereka dalam mengambil kesimpulan teoristis tidak berpegang kepada sejumlah kaidah yang membuahkan hasil-hasil aqliah atau rasional yang disepakati oleh setiap orang, di antaranya:
Pertama: Kaidah bahasa:
Yaitu suatu metode tetap dalam pembuktian kata-kata dan pengambilan kesimpulan dari Al Qur’an dan Sunnah.
Kecuali Syiah, maka tidak pernah seorangpun dari dulu hingga kini yang menafsirkan firman Allah Ta’alaa: {La‘aliun}[1] dalam ayat ke-4 dari surat Az Zukhruf itu dengan makna Ali bin Abi Thalib, namun {La’aliun hakim}[2] dalam ayat tersebut sesungguhnya dibaca; {Adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah}.[3]
Tidak pernah seorangpun menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan {Seekor sapi betina} dalam firman Allah Ta’ala: {Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina}[4]adalah Aisyah Ummulmu’minin.
Tidak pernah seorangpun menafsirkan bahwa {Kedua terompahmu} dalam firman Allah Ta’ala: {Sesungguhnya aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu}[5] adalah Abu Bakar dan Umar radhiaullahu ‘anhuma.
Semua itu adalah penafsiran-penafsiran yang tidak dikukuhkan oleh syara’, tidak diteguhkan oleh sejarah, dan tidak pula dibenarkan oleh bahasa dalam bentuk apapun.
Kedua: Fakta rasional:
Di antara fakta-fakta rasional adalah bahwa kita tidak boleh bersandar pada riwayat-riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak dikenal, baik orang yang tidak dikenal dalam zat maupun dalam sifat. Maka tidaklah benar dikatakan: (Seorang yang layak dipercaya menceritakan kepadaku), atau (Hatiku bercerita kepadaku tentang Tuhanku).
Ketiga: Berpegang kepada metode sejarah:
Karena tatkala kita berpegang pada metode dan fakta-fakta sejarah maka kita berpegang pada suatu metode yang dipakai oleh seluruh umat manusia termasuk di dalamnya oleh penganut agama-agama, tak kecuali mazhab-mazhab dalam Islam.
Dengan berpegang pada metode dan fakta-fakta sejarah, maka akan terbukti secara meyakinkan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar yang Allah Ta’ala berfirman tentang mereka dalam ayat ke-100 dari surat At Taubah: {Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar},[6] tidaklah berjumlah hanya lima orang saja sebagaimana dipercaya oleh kaum Syiah.
Demikian pula akan terbukti dengan meyakinkan bahwa orang yang Allah Ta’ala firmankan dalam ayat ke-40 dari surat At Taubah: {Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”},[7] adalah sahabatnya yaitu Abu Bakar radhiaullahu ‘anhu.
Maka bagaimana mungkin seseorang mengutuk dan mengafirkan orang-orang yang Allah redha kepada mereka? Orang-orang yang hidup bersama Rasulullah s.a.w. dan mengalami masa-masa ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah s.a.w?
Kedua: Rintangan-rintangan furu’iah:
Yaitu rintangan-rintangan yang bersifat terapan. Rintangan-rintangan furu’iah itu adalah akibat alamiah dari rintangan-rintangan usuliah.
Dr. Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, Mabadi’u Fi Al hiwar Wa At Taqrib Baina Al Mazahib Al Islamiah, menyebutkan beberapa kaidah yang perlu dipegang dalam rangka pendekatan antar mazhab, di antaranya adalah prinsip-prinsip dan etika-etika berperilaku seperti pemahaman baik, prasangka baik, fokus pada butir-butir kesepakatan, diskusi sekitar perbedaan dalam kesepakatan, menghindari provokasi, menjauhi pengafiran, bersikap bijak, berhati-hati dari persekongkolan musuh, kerjasama dalam kesempitan, lebih dari itu tidak berta’abud kepada Allah Ta’ala kecuali sesuai dengan apa yang disyariatkan dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi.
Islam adalah perkataan dan perbuatan. Iman adalah sesuatu yang terpatri dalam hati, dan pembenaran kepada iman adalah perbuatan.
Oleh karena itu maka prinsip taqqiah yang berlaku pada Syiah harus tunduk pada kaidah tersebut, yang pada dasarnya dipakai hanya antara muslimin dan kaum kafir saja, bukan antara sebagian dari muslimin dengan sebagian yang lain.
Juga tidak dibenarkan keluar dari jama’ah dalam kaitan dengan ritual-ritual besar di satu negeri dan satu masyarakat, seperti apa yang terjadi setiap tahun dalam puasa Ramadhan terkait dengan melihat hilal pertanda datangnya bulan Ramadhan dan melihat hilal pertanda berakhirnya bulan Ramadhan dan datangnya bulan Syawal, karena kaum Syiah Imamiah di manapun mereka berada menggantungkan awal dan akhir Ramadhan ke Iran walau hilal disana datang satu, dua, atau bahkan tiga hari lebih cepat atau lebih lambat dari negeri dimana mereka tinggal.
Demikian pula dengan ritual manasik haji, dimana beberapa tahun yang lalu kaum Syiah wukuf di Arafah pada hari yang bertentangan dengan kaum Sunnah, karena mereka berpegang pada kenyataan bahwa mereka melihat hilal di Iran, sampai kemudian pemerintah Arab Saudia melarang praktek yang menyimpang tersebut.
Timbangan Islam:
            Islam menimbang timbangan manusia dengan timbangan Allah, dan menetapkan hukum atas mereka dengan sesuatu yang nyata dan nampak, dan tidak patut kita menetapkan hukum atas manusia dengan ketetapan-ketetapan hawa nafsu, syahwat, dan perilaku manusia, maka barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya lebih banyak daripada keburukan-keburukannya maka keburukan-keburukannya diberikan kepada kebaikan-kebaikannya.
Sa’id bin Musaib radhiaullahu ‘anhu berkata: (Barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya maka kekurangannya pergi ke keutamaannya).[8]
            Kita tidak boleh campur tangan dalam niat yang terkandung dalam hati manusia, namun kita menetapkan hukum atas mereka dengan yang nyata dan nampak, dan kita serahkan yang bersifat rahasia kepada Allah Ta’ala.
Oleh karena itu Allah Ta’ala melarang prasangka karena prasangka itu tidak memperkaya suatu apapun kepada Allah Yang Maha Kaya.
Tanggungjawab individu:
            Islam memastikan prinsip pengakuan pertanggungjawaban individu dalam kaitan dengan apa yang dikerjakan oleh seorang manusia.
Islam tidak mengenal kekahinan atau kependetaan, tidak ada suatu kekuasaan dalam Islam kecuali sesuai dengan syari’at, maka tidak ada seorangpun manusia yang dapat berdebat tentang orang yang lain atau dirinya sendiri di hadapan Allah, atau mengampuni atau memberi ganjaran pahala, atau menjamin dirinya sendiri akan selamat dari azab Allah atau masuk surga, namun yang demikian itu diserahkan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala pada hari kiamat, dan berpulang kepada ampunan, keutamaan, dan rahmat-Nya.
Dalam Al Qur’an Al Karim terdapat apa yang dengan jelas mendukung kaidah tersebut: {Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah)}.[9]
Allah Ta’ala berfirman: {Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri}.[10]
Dan Allah Ta’ala berfirman: {Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya}.[11]
Bahkan hamba Allah yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala sekalipun tidak memiliki itu maka bagaimana gerangan dengan orang yang menganggap dirinya marja’ atau perujuk agama atau pendeta atau kahin?
Prinsip ini patut dipastikan sehingga tidak ada seorangpun yang tunduk kepada orang lain, dan tidak pula seorang individu merendahkan individu yang lain setinggi apapun martabat keagamaannya dan kedudukan ilmunya, dan sesungguhnya tidak ada suatu tirai atau perantara antara Allah Ta’ala dan hamba-Nya: {Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran}.[12]
Kejujuran dalam berbicara tentang pendekatan antara Sunnah dan Syiah adalah sesuatu yang diperlukan, maka tidaklah benar kaum Syiah berbicara dengan kaum Sunnah, pada konferensi-konferensi dan forum-forum, kemudian setelah itu mereka mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang mereka bicarakan dengan kaum Sunnah, dan tidak juga benar mereka mendukung prinsip-prinsip pendekatan secara teoristis kemudian mereka mengerjakan penerapan-penerapan yang mendustakan dukungan mereka.
Jika sekiranya Al Marhum Grand Master Mahmud Shaltuut telah mengeluarkan sebuah fatwa terkenal yang intinya bahwa sesungguhnya boleh bagi seorang muslim Sunni untuk berta’abud sesuai dengan mazhab Syiah Imamiah, maka mengapa hingga kini tidak ada fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para marja’ atau perujuk agama atau salah seorang dari mereka, terkait dengan kaidah-kaidah mereka tentang boleh tidaknya berta’abud sesuai dengan salah satu dari empat mazhab ahli Sunnah, jika sejatinya mereka ingin pendekatan? Bahkan kita mendapati perkataan Marja’ Agung Syiah Muhammad Husain Fadhlallah justeru menyangkal itu?
Mengapa pula salah seorang dari mereka tidak mengeluarkan suatu fatwa yang mengharamkan pengikutnya untuk mencaci maki para sahabat dan mengutuk Abu Bakar dan Umar dan Aisyah?
Mengapa mereka tidak mengeluarkan sebuah fatwa yang memurtadkan orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an Al Karim dipalsukan atau yang menganggap bahwa di dalamnya terdapat penambahan atau pengurangan?
Ataukah pernyataan-pernyataan dalam konferensi-konferensi dan forum-forum hanyalah kata-kata manis dan basa-basi belaka?



[1] Surat Az Zukhruf: 4
[2] Surat Az Zukhruf: 4
[3] Surat Az Zukhruf: 4
[4] Surat Al Baqarah: 67
[5] Surat Thaahaa: 12
[6] Surat At Taubah: 100
[7] Surat At Taubah: 40
[8] At Tamhid, 11/170
[9] Surat Al An’aam: 94
[10] Surat Maryam: 95
[11] Surat Al Muddatstsir: 38
[12] Surat Al Baqarah: 186

Tidak ada komentar:

Posting Komentar