Rabu, 13 Februari 2013

Bacaan Sejarah Dari Pandangan Agama
Hubungan antara manusia dan sejarah adalah hubungan dialektis. Manusia menciptakan sejarah dari satu sisi dan sejarah menciptakan manusia pada batas tertentu dari sisi yang lain. Hubungan dialektis antara manusia dan sejarah itu membuat sejarah pengetahuan sejarah berjalan berdampingan dengan sejarah umat manusia, dimana sesungguhnya tiap perkembangan yang berlangsung pada manusia selama keberadaannya di muka bumi selalu disertai dengan perkembangan serupa pada pengetahuan sejarah, hal itu karena keinginan alamiah manusia untuk mengetahui asal usul segala sesuatu dan fenomena yang mengontrol kehidupan sosialnya yang telah mendorongnya kepada pengkajian tentang masa lalu, maka bacaannya tentang masa lalu itu berbeda dari era ke era yang lain sesuai dengan perkembangan peralatan pengetahuan manusia.
“Bacaan” pertama sejarah adalah “bacaan legendaris”. “Bacaan” tersebut laksana bibit yang darinya tumbuh pohon pengetahuan sejarah.     Walau terdapat symbol, isyarat, dan formula fantasi yang membebaninya, namun “bacaan legendaris” tersebut berputar sekitar “realita sejarah”, sehingga kurangnya informasi dan catatan sejarah niscaya mendorong manusia untuk memasukkan kekurangan itu ke dalam ingatan sejarah dengan formula legendaris. Oleh karena itu usaha-usaha pertama manusia untuk mencatat sejarahnya bercampur dengan legenda yang merupakan “bacaan” pertama sejarah manusia. “Bacaan” tersebut mempunyai sifat justificatory yang berusaha menafsirkan tunduknya manusia kepada raja-raja yang menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan tuhan atau bahwa mereka termasuk di antara pemerintahan tuhan. Dalam “bacaan” tersebut legenda menguasai sejarah, karena legenda merupakan cerita sakral yang memainkan peran tuhan dan setengah tuhan, padahal manusia merupakan sarana dan alat yang berada di tangan tuhan, sehingga kita sepatutnya tidak lupa bahwa banyak dari tuhan-tuhan duniakuno berasal dari manusia. Maksudnya bahwa mereka sebelumnya adalah para raja atau pahlawan atau individu yang kesohor, kemudian setelah itu mereka dialihkan kelompok-kelompok manusia dalam legenda-legenda mereka menjadi tuhan oleh satu dan lain sebab.
 Kemudian dengan berjalannya waktu terjadilah perubahan-perubahan besar dan objektif yang membawa kepada pengalihan pengetahuan sejarah secara kualitas dan kuantitas. Penulisan dan pencatatan sejarah telah memberikan akumulasi pengetahuan dalam jumlah yang besar tentang hakikat sejarah manusia, yang pada gilirannya membawa kepada pengalihan kualitas dalam pengetahuan sejarah dan perkembangan akal manusia yang mulai siap untuk menerima risalah-risalah langit. Lalu agama-agama datang untuk memberikan jawaban atas pertanyaan terselubung “mengapa”. Dari sinilah datang “bacaan agama” dari sudut pandang agama. Patut kita perhatikan bahwa semua agama membawa materi sejarah dalam kitab-kitab sucinya dari satu sisi, dan mengkristalkan semacam “pikiran sejarah” yang berkaitan dengannya dari sisi yang lain.
“Bacaan agama kepada sejarah” itu tentunya berbeda-beda dari satu agama ke agama yang lain. Perbedaan itu muncul dari pandangan masing-masing agama kepada manusia, perannya dalam dunia, dan hubungannya dengan pihak yang lain. Demikian pula tujuan “bacaan agama” itu berbeda-beda dari agama ke agama.
Bacaan agama Yahudi konsentrasi pada “konsep pilihan” dan “perjanjian yang sakral”. Para penulis Kitab Perjanjian Lama meletakkan sejarah dalam kerangka yang dapat ditafsirkan sejalan dengan tujuan-tujuan agama Yahudi. Pada hakikatnya tulisan-tulisan sejarah Ibrani mencerminkan tahap pencampuradukan pemikiran sejarah dengan pemikiran agama, sehingga pencatatan pertama Ibrani sebagiannya menjelaskan peran manusia dalam sejarah dan meminimalisir peran tuhan yang sebelumnya mendominasi bacaan legendaries. Pada sisi yang lain “konsep pilihan”, yaitu kepercayaan orang-orang Yahudi bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah, telah mendorong mereka untuk mencatat dalam kitab-kitab suci mereka berita-berita tentang campurtangan Tuhan dalam pengarahan gerakan sejarah untuk kemaslahatan mereka.
Karena konsep sejarah pada Yahudi berputar sekitar filsafat masa depan yang tujuannya adalah menenteramkan orang-orang Yahudi kepada perjanjian suci di muka bumi sebagaimana disampaikan dalam Kitab Kejadian: 13:35, maka bacaan agama Yahudi memformulakan kejadian-kejadian sejarah sesuai dengan metode Yahudi dan sesuai dengan kerangka filsafat sejarah Yahudi yang memastikan bahwa Tuhan pada akhirnya akan campurtangan untuk kemaslahatan bangsa-Nya yang terpilih.
Banyak ilmuwan dan cendekiawan yang melihat bahwa Yahudi adalah agama yang berkembang berkat warisan budaya di kawasan Timur Tengah. Barangkali agama tauhid Atun di Mesir kuno telah menjadi pemicu pertama bagi agama Yahudi, kemudian setelah berkembang berkat ragam pengaruh budaya yang dominan di kawasan Timur Tengah. Hal itu terlihat dengan jelas dalam kandungan kitab-kitab sejarah dalam Taurat. Sejarah Bani Israil sebagaimana digambarkan dalam Taurat dipenuhi oleh peperangan dan pertumpahan darah. Tetapi Kitab Taurat menafsirkan kejadian-kejadian sejarah itu dengan penafsiran yang sejalan dengan tujuan-tujuan agama Yahudi. Pandangan tersebut sepenuhnya mengkristal dalam Kitab Kedung Agung yang para ahli tafsir Yahudi berusaha keluar darinya dengan secara kronologis.
Sejarah dunia akan berakhir dengan campurtangan Tuhan untuk menyelamatkan bangsa-Nya yang terpilih dan pembinasaan musuh-musuh mereka.
Dari sisi yang lain Kitab Raja-Raja mencerminkan konsep sejarah pada orang-orang Yahudi dengan sebaik-baiknya pencerminan, dimana penulis Kitab Raja-Raja berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi bahwa penyelamatan agama sangat tinggi nilainya. Hal itu dengan jalan meletakkan perumpamaan-perumpaan sejarah yang mengingatkan mereka pada malapetaka-malapetaka yang menimpa mereka tatkala mereka meninggalkan agama mereka. Barangsiapa yang mencermati materi sejarah yang disampaikan dalam Kitab Taurat dan Kitab Perjanjian Lama secara umum pastilah tahu bahwa agama Yahudi melihat sejarah pertama-tama kepada sejarah Bani Israil, kemudian setelah itu sejarah bangsa-bangsa lain atau orang-orang non Yahudi.
Konsep sejarah Yahudi mengkristalkan keyakinan orang-orang Yahudi bahwa tujuan sejarah adalah pembangunan kerajaan Tuhan di muka bumi lewat tangan sang penyelamat yang akan datang pada akhir zaman. Bacaan agama Yahudi kepada sejarah menafsirkan seluruh kejadian sejarah yang mereka alami sesuai dengan konsep tersebut.
Demikian pula bacaan agama Kristen kepada sejarah merupakan bacaan masa depan tetapi konteksnya sepenuhnya berbeda. Manusia dari sudut pandang agama Kristen memikul dosa kesalahan pertama dalam kehidupannya di dunia yaitu tahap tengah yang lewat tahap itu sepatutnya manusia berusaha untuk mencapai penyelamatan. Kehidupan adalah tahap yang menengahi kedatangan Kristus yang pertama dan kejadian penyaliban dengan kedatangan Kristus yang kedua di akhir zaman untuk membinasakan kerajaan manusia, mengalahkan Dajjal, dan mendirikan kerajaan Tuhan yang akan mencakup seluruh orang-orang yang beriman. Kristus datang untuk menyelamatkan umat manusia dan menjelma sebagai manusia dengan kehendak-Nya dan merelakan dirinya untuk disalib sebagai tebusan bagi umat manusia. Maka orang-orang yang beriman harus mengikuti jalan-Nya dalam pengorbanan dengan jiwa dan raga untuk sampai kepada keselamatan dan kebahagiaan spiritual. Dari sinilah maka bacaan Kristen kepada sejarah memandang bahwa sejarah umat manusia sebelum Kristus merupakan persiapan bagi kedatangannya, dan sejarah umat manusia pasca kedatangannya adalah usaha demi penyelamatan sambil menunggu kedatangannya yang kedua.  
Demikianlah bacaan Kristen melihat pada sejarah sebagai sebuah buku yang pasal-pasalnya ditulis oleh Tuhan dan manusia tidak mempunyai peran positif apapun di dalamnya. Oleh karena itu manusia harus menunggu apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Pandangan tersebut sejak awal muncul dalam tulisan-tulisan Auspious uskup Caisar dan Augestin suhu guru agama Kristen Katolik, kemudian muncul dalam tulisan-tulisan para sejarawan abad pertengahan di Eropa.
Konsep sejarah Kristen Katolik tercermin dalam tulisan-tulisan Augestin (354-430) yang dianggap sebagai suhu guru gereja Katolik. Dalam konteks pembelaannya kepada agama Kristen dari serangan yang dilancarkan oleh para ilmuwan ateis, Augestin meletakkan garis-garis besar konsep sejarah Katolik. Dia juga meletakkan kronologi sejarah dunia dari sudut pandang gereja Katolik. Augestin membagi sejarah dunia ke dalam enam era sesuai dengan jumlah hari yang di dalamnya Allah menciptakan alam semesta dari satu sisi dan sesuai dengan umur seorang manusia yang melalui enam tahap kehidupan mulai dari tahap balita sampai tahap kematian dari sisi yang lain. Konsep yang dibangun oleh Augestin dalam bukunyaThe City of Allah mendominasi bacaan Kristen kepada sejarah dunia sehingga membuat para sejarawan abad pertengahan di Eropa sepenuhnya tunduk pada konsep itu dalam tulisan-tulisan mereka dan menapak di bawah cengkeraman potret kelam sejarah manusia yang dimulai dengan dosa besar dan pengusiran dari surga yang berlanjut pada kehidupan di dunia dalam bentuk malapetaka yang tak henti-hentinya yang akan berakhir dengan penyelamatan dalam bentuk yang ditentukan oleh Kristus yang mengorbankan raganya untuk emnjadi sang penebus dan sang penyelamat bagi umat manusia. Para sejarawan Katolik itu harus meletakkan tulisan-tulisan mereka di dalam kerangka pandangan tersebut.
Oleh sebab konsep sejarah Katolik menguasai para sejarawan Eropa pada abad pertengahan yang memokuskan energi mereka pada penulisan sejarah kontemporer, maka mereka menulis dan menjadi saksi mata kejadian-kejadian yang berlangsung di era mereka, sehingga mereka berusaha untuk memutarbalikkan kejadian-kejadian di dalam bacaan Katolik kepada sejarah namun hasilnya bahwa mereka tidak dapat mencatat kejadian-kejadian sejarah itu sebagaimana yang terjadi pada kenyataannya, tetapi sebagaimana sepatutnya terjadi agar supaya sesuai dengan bacaan agama. Untuk itu mereka berkorban dengan kejadian-kejadian sejarah yang objektif dalam rangka menggambarkan contoh kekatolikan kepada sejarah. Hal itu bukan akibat ketidaktahuan mereka pada kejadian-kejadian sejarah tetapi karena keinginan mereka untuk memutarbalikkan sejarah dalam bentuk bacaan Katolik. Konsep sejarah Katolik berdiri atas dasar bahwa manusia dalam sejarah tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka, dan gerakan mereka tidak lain hanyalah pelaksanakan kehendak tuhan yang meletakkan permulaan dan akhir sejarah.
Dari sisi yang lain, para sejarawan abad pertengahan di Eropa sebagian dari mereka adalah kaum rahib dan pemuka gereja yang memimpin kehidupan intelektual dan budaya secara umum. Kaum rahib dari para sejarawan itu secara khusus adalah orang-orang yang menulis tulisan-tulisan sejarah sedang abad-abad pertama dari abad pertengahan merupakan periode keruntuhan dan kehancuran dalam bidang penulisan sejarah dan pemahaman gerakan sejarah. Oleh karena itu bacaan Katolik kepada sejarah manusia berkaitan dengan unsur-unsur gaib yang wakili kepadanya peran hakiki dalam pengarahan kejadian-kejadian sejarah.
Demikian pula propaganda raja-raja yang membela gereka adalah termasuk faktor-faktor yang mengontrol pencatatan sejarah di Eropa pada abad pertengahan, dimana isyarat propaganda terlihat dengan sangat jelas dalam kaitannya dengan perjalanan raja-raja Eropa pada waktu itu. Jika seorang raja pembela gereja maka kita dapati gambarannya dalam tulisan-tulisan sejarah sebagai imitasi yang jelas dari buku The life of Costantin  yang ditulis oleh Ayuspious untuk mengagungkan sang kaisar yang membela gereja Kristen dan mempertahankannya. Sedangkan jika raja itu dari musuh-musuh gereja, maka sang penulis menjadikannya sebagai umpan bagi tiap kejahatan yang ditimpakan oleh Tuhan terhadap musuh-musuh gereja.
Kekurangan bacaan Katolik pada sejarah di Eropa pada abad pertengahan terletak pada sedikitnya sarana pembahasan, ketidakadaan kesadaran, dan keimanan buta kepada apa yang disampaikan oleh para saksi mata. Dari sisi yang lain bacaan tersebut mengandung unsur-unsur yang gaib yang diyakini oleh para penulisnya sebagai sarana sebab dan akibat dalam fenomena sejarah, sehingga tidak salah jika kita isyaratkan disini bahwa kekurangan tersebut merupakan hasil dari kondisi masyarakat Eropa sendiri pada waktu itu, dimana pendidikan terbatas pada monastri sehingga jelas dari hakikat yang mengatakan bahwa kebanyakan tulisan-tulisan warisan sejarah Eropa pada abad pertengahan adalah hasil dari monastri.
“Bacaan agama Islam” pada sejarah berbeda seluruhnya dari “bacaan agama Yahudi” dan “bacaan agama Kristen” pada sejarah umat manusia. Hal itu karena konsep sejarah, dalam pandangan Al Qur’an Al Karim, merupakan pembentukan bagi potret manusia tentang risalah manusia dalam kehidupan dan perannya dalam alam semesta. Manusia dalam pandangan Al Qur’an Al Karim adalah khalifah Allah di muka bumi sesuai dengan potret Islam, yang memikul amanat pemakmuran bumi, pembangunan peradaban, dan penyebaran kebenaran dan keadilan di seluruh penjuru dunia sesuai dengan sunatullah. Agar manusia dapat melaksanakan amanat, maka wajib baginya untuk mengenal dirinya melalui peneropongan dan pengkajian peradaban umat manusia di masa lalu.
Patut dilihat disini bahwa konsep sejarah dalam Al Qur’an Al Karim berdiri pada dasar bahwa sejarah adalah perbuatan manusia dan bahwa sejarah adalah hasil dari interaksi manusia dengan lingkungannya dalam kerangka waktu. Pada sisi yang lain sejarah adalah sarana yang paling baik untuk mengungkap apakah manusia itu. Oleh karena kita dapati bahwa materi sejarah dalam Al Qur’an Al Karim berbicara tentang kisah kaum-kaum dan peradaban-peradaban yang disaksikan oleh sejarah umat manusia sepanjang zaman seperti kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum Luth, Madyan, Firaun, Bani Israil, dan yang lainnya dengan tujuan memicu pikiran manusia dan mendorongnya untuk bertanya dan mencari kebenaran secara tidak henti-hentinya. Dengan kata lain mendorong manusia untuk mengkaji sebab-sebab sejarah yang telah berlalu.
Konsep sejarah dalam Islam mengantarkan kepada perkembangan penting dalam “bacaan” para sejarawan muslimin pada sejarah manusia. mereka menggali kisah manusia di muka bumi dengan anggapan bahwa sejarah adalah kejadian-kejadian positifisme yang dibuat oleh manusia dan mereka bertanggungjawab terhadap kejadian-kejadian tersebut. Melalui materi sejarah yang disampaikan dalam Al Qur’an Al Karim dapatlah dikeluarkan hasil-hasil dari kajian sejarah manusia. Al Qur’an Al Karim menggambarkan dengan amat jelas bahwa ada kekuatan tersembunyi yang mendorong kepada kebenaran dan pada akhirnya kegagalan adalah perjalanan kebatilan. Apa yang diraih oleh manusia adalah hasil wajar bagi peran yang dilakukan olehnya. Demikian pula perubahan sejarah tidaklah terjadi secara tiba-tiba tetapi hasil dari akumulasi faktor-faktor yang secara perlahan-lahan dalam kurun waktu yang panjang mengantarkan kepada perubahan sejarah tersebut.
Disinilah kita mencatat bahwa konsep Al Qur’an Al Karim mengatakan bahwa sejarah tidaklah berlangsung secara tiba-tiba dan juga gerakannya bukanlah gerakan yang acak, tetapi ditentukan oleh peraturan-peraturan dan hukum-hukum sejak pertama penciptaan alam semesta sampai akhir zaman, sehingga peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala tidak melarang manusia untuk melakukan peran sejarahnya, tetapi menjadikannya bertanggungjawab kepadanya karena Allah telah membedakannya dengan akal dan kebebasan untuk memilih keputusan. Dalam kerangka ini kita dapati banyak ayat-ayat Al Qur’an Al Karim yang memastikan bahwa sejarah adalah tempat penampungan bagi nasehat-nasehat dan teladan-teladan yang wajib bagi manusia untuk mengkajinya dalam berita-berita umat-umat terdahulu, dan terdapat hakikat dipastikan oleh Al Qur’an yang mengatakan bahwa perbuatan manusia dalam sejarah menentukan perjalanan kelompok manusia.
Pandangan pendidikan dan akhlak pada sejarah tersebut telah memaksakan dirinya pada para sejarawan muslimin dan bacaan sejarah dari sudut pandang Islam merupakan cermin darinya. Lantaran latar belakang budaya para sejarawan muslimin sepatutnya berdiri atas dasar konsep Al Qur’an, maka sudah sewajarnya pemahaman mereka bersumber pada kesungguhan akhlak dan pendidikan mereka pada sejarah.
Ibnu Khaldun dalam Mukadimah-nya yang kesohor mencerminkan pandangan tersebut dengan mengatakan: “Ketahuilah bahwa seni sejarah adalah seni yang bermazhab mulia, berfaedah besar, bertujuan luhur, dimana dia memperlihatkan kepada kita hal ihwal umat-umat yang terdahulu dalam akhlak mereka, nabi-nabi dalam perjalanan mereka, dan raja-raja dalam negara-negara dan kebijakan mereka, sehingga faedah keteladanan dalam hal itu dapat tercapai bagi orang yang mencari hal ihwal dunia dan agama”.
Bacaan Islam pada sejarah selalu berkonsentrasi pada sisi pendidikan dan hal itu terlihat dengan jelas bahwa para sejarawan muslimin sepanjang masa budaya Arab Islam tetap berada dalam kerangka bacaan tersebut yang melihat kepada sejarah sebagai alat dalam pengabdian sisi akhlak dan pendidikan dalam masyarakat muslim bahkan di antara mereka ada yang memilah-milah apa yang disebut dengan faedah sejarah ke dalam dua bagian: Yang pertama duniawi dan yang kedua ukhrawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar