Kamis, 14 Februari 2013

Dzulqarnain a.s. - 1

       Allah Ta’ala berfirman: {Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi}.[1]
Ayat di atas adalah ayat 94 surat Al Kahfi. Surat ini terdiri dari 110 ayat setelah basmalah, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Dinamai Al Kahfi artinya “Goa” dan Ashhabulkahfi artinya “Penghuni-penghuni goa” yaitu para pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka. Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam surat ini pada ayat 9 sampai ayat 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam goa di salah satu gunung yang mengitari kota mereka selama 309 tahun Qamariah, pada zaman yang dikuasai oleh persekutuan dengan Allah dan pembangkangan atas perintah-perintah-Nya. Setelah ketidakhadiran mereka yang lama dari kehidupan di sekitar mereka, Allah Ta’ala membangkitkan mereka dengan suatu mu’jizat yang memperlihatkan bahwa Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Selain cerita tersebut terdapat juga beberapa buah cerita dalam surat ini, yang kesemuanya mengandung i’tibar dan pelajaran yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Banyak hadis-hadis Rasululah s.a.w. yang menyatakan keutamaan membaca surat ini.
Pokok-pokok isinya:
1-    Keimanan: Kekuasaan Allah Ta’ala untuk memberi daya hidup pada manusia di luar hukum kebiasaan, dasar-dasar tauhid serta keadilan Allah Ta’ala tidak berubah untuk selama-lamanya, kalimat-kalimat Allah (ilmu-Nya) amat luas sekali, meliputi segala sesuatu, sehingga manusia tidak mampu buat menulisnya. Kepastian datangnya hari berbangkit. Al Qur’an adalah kitab suci yang isinya bersih dari kekacauan dan kepalsuan.
2-   Hukum-hukum: Dasar hukum wakalah (berwakil), larangan membangun tempat ibadah di atas kubur, hukum membaca “Insya Allah”, perbuatan salah yang dilakukan karena lupa adalah dimaafkan, kebolehan merusak suatu barang untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar.
3-   Kisah-kisah: Cerita Ashhabulkahfi, cerita dua orang laki-laki yang seorang kafir dan yang lainnya mu’min, cerita nabi Musa a.s. dengan Khidhr a.s., cerita Dzulqarnain dengan Ya’juj dan Ma’juj.
4-   Dan lain-lain: Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari cerita-cerita dalam surat ini antara lain tentang kekuatan iman kepada Allah Ta’ala serta ibadah yang ikhlas kepada-Nya, kesungguhan seseorang dalam mencari guru (ilmu), adab sopan santun antara murid dengan guru, dan beberapa contoh tentang cara memimpin dan memerintah rakyat, serta perjuangan untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan Negara.
Surat Al Kahfi berkisar sekitar persoalan akidah Islam seperti golongan surat-surat Makkiyyah yang lain. Untuk menegaskan itu maka surat ini menyampaikan tiga cerita dan memaparkan tiga perumpamaan yang dapat diambil darinya pelajaran dan ketauladanan. Yang pertama adalah cerita Ashhabulkahfi. Yang kedua adalah cerita nabi Musa a.s. dengan Khidhr a.s., dan yang ketiga adalah cerita Dzulqarnain dengan Ya’juj dan Ma’juj. Sementara perumpamaan pertama adalah perumpamaan orang kaya yang sesat jalan dengan hartanya dan orang fakir yang mulia dengan keimanannya kepada Tuhannya. Perumpamaan kedua untuk meneguhkan ketidakkekalan kehidupan dunia dan kemestian kebinasaannya, dan perumpamaan itu diserupai dengan tumbuhnya tumbuh-tumbuhan setelah turun hujan dari langit, berbuah, matang, petik, atau panen, kemudian musim kemarau sehingga angin membawanya. Perumpamaan ketiga tentang hukuman bagi kesombongan dan sesat jalan sebagaimana telah dialami oleh Iblis yang terkutuk dengan pengusirannya dari surga, pengharamannya dari rahmat Allah sebagai balasan atas pembangkangannya kepada perintah Tuhannya, dan keengganannya untuk sujud hormat kepada bapak kita Adam a.s., sebagaimana diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya.
Di antara sisi mu’jizat Al Qur’an Al Karim dalam kaitannya dengan ayat di atas bahwa Ya'juj dan Ma'juj adalah dua bangsa manusia dari keturunan Adam yang banyak penduduknya, bertabiat agresif, dan membuat kerusakan di muka bumi Ya'juj dan Ma'juj ialah dua bangsa yang membuat kerusakan di muka bumi, sebagai yang telah dilakukan oleh bangsa Tartar dan Mongol. Dua nama ini adalah nama asing bagi bangsa Arab.
Pertama: Ya'juj dan Ma'juj dalam Al Qur’an Al Karim disebutkan dua kali yaitu:
1-    Firman Allah Ta’ala: {Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"}.[2]
Yang dimaksud dengan “tidak mengerti pembicaraan” adalah mereka tidak bisa memahami bahasa orang lain, karena bahasa mereka amat jauh bedanya dari bahasa yang lain, dan merekapun tidak dapat menerangkan maksud mereka dengan jelas karena kekurangan kecerdasan mereka.
Yang dimaksud dengan “dua buah gunung” adalah dua dinding pembatas buatan atau alami dalam bentuk rentetan gunung-gunung yang berhubungan di sebelah kanan dan sebelah kiri sehingga sampai ke laut. Keduanya telah ada sejak sebelum kedatangan Dzulqarain kepada kaum yang disebutkan dalam ayat di atas. Di antara dua buah gunung itu terdapat sebuah lembah yang darinya bangsa Ya’juj dan Ma’juj dapat melintas ke bangsa-bangsa yang bertetangga dengan mereka untuk membunuh, merampas, menjarah, dan merusak di muka bumi. Tatkala Dzulqarnain sampai ke kaum tersebut mereka mengeluh kepadanya dari apa yang mereka terima dari bangsa Ya’juj dan Ma’juj dan mereka meminta darinya agar dibuatkan dinding pemisah antara mereka dengan bangsa Ya’juj dan Ma’juj.
Dan jawaban Dzulqarnain datang sebagai berikut: {"Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulqarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar"}.[3]
2-   Firman Allah Ta’ala: {Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi}.[4]
Kedua: Ya'juj dan Ma'juj dalam Sunnah Nabi:
1-    Rasulullah s.a.w. bersabda: (Tidak akan datang hari kiamat sehingga mereka melihat sebelumnya sepuluh tanda: Asap, Dajjal, hewan Dabbah, terbit matahari dari sebelah barat, turun Isa putera Maryam, penaklukan bangsa Ya’juj dan Ma’juj, tiga gerhana bulan, gerhana bulan di sebelah timur, gerhana bulan di sebelah barat, dan gerhana di Jazirah Arab, dan api keluar dari Qa’ar Aden),[5] dalam hadis yang lain dikatakan bahwa (api keluar dari Yaman mengusir manusia ke tempat perhimpunan mereka).[6]  
2-   Rasulullah s.a.w. bersabda: (Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj menggali tanah setiap hari, sehingga jika mereka nyaris melihat sinar matahari, berkatalah seorang dari mereka: Kembalilah maka kita akan menggalinya besok, maka Allah akan mengulanginya lebih berat dari sebelumnya, sehingga jika sampai waktunya dan Allah hendak untuk mengutus mereka atas manusia, mereka menggali sehingga   
Ketiga: Ya’juj dan Ma’juj dalam tulisan-tulisan para ahli tafsir:
1-    Dalam penjelasannya atas sahih Bukhari, Muhammad Anwar Al Kashmiri seorang ahli tafsir asal Kashmir (wafat tahun 1933) menyebutkan yang artiya: “Bahwa dinding Dzulqarnain telah punah sekarang, tidak ada janji dalam Al Qur’an untuk mempertahankan keberadaannya sampai waktu kedatangan Ya’juj dan Ma’juj, dan tidak ada pula berita yang menjadikannya sebagai penghalang kemunculan dua bangsa tersebut”.
2-   Shekib Arselan dalam bukunya Hadhir Al Alam Al Islami menuturkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj adalah bangsa Mongolia. Pendapat itu berdasarkan kepada kenyataan penyerangan mereka yang berulang kali ke Eropa sehingga mereka sampai ke Prancis dan mengadakan kerusakan di dalamnya mporak.
3-   Dalam komentarnya atas firman Allah Ta’ala: {Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar},[7] penulis buku Fii Zilalilqur’an Sayyid Qutub menyebutkan bahwa ayat ini tidak menentukan waktu tertentu bagi kedatangan Ya’juj dan Ma’juj, sedang penggalan ayat {Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar}[8] berari telah dekatlah kedatangan hari berbangkit, yang telah terjadi sejak zaman Rasulullah s.a.w. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Telah dekatlah kedatangan hari berbangkit dan telah terbelahlah bulan}. Perlu diketahui bahwa waktu menurut hitungan Allah Ta’ala tidak sama dengan waktu menurut hitungan manusia. Bisa jadi waktu kedatangan hari berbangkit dan kejadiannya berlangsung beberapa tahun bahkan beberapa abad lamanya. Bisa jadi manusia melihatnya sebagai waktu yang amat lama, sedang di sisi Allah Ta’ala laksana sekedipan mata. Maka boleh jadi tembok itu telah dibuka pada waktu antara telah dekat kedatangan hari berbangkit dengan hari kita sekarang, dan penyerangan bangsa Mongolia dan Tartar yang menyerbu belahan timur dari bumi ini merupakan salah satu potret penyerbuan bangsa Ya’juj dan Ma’juj.
4-   Sebagian dari sejarawan berpendapat bahwa Ya’juj dan Ma’juj bukanlah bangsa tertentu dari umat manusia. Tetapi mereka adalah segolongan orang yang ditimpa sifat egoisme, keras, dan sombong di muka bumi seperti sifat orang-orang kafir dan musyrik Yahudi di zaman sekarang dan di zaman dahulu.
5-   Sayyid Qutub menyebutkan bahwa sebuah tembok telah ditemukan di dekat kota Tirmidz dan dikenal dengan tembol Babulhadid yang berarti tembok Pintu Besi. Seorang sejarawan Spanyol bernama Claficio dalam perjalanannya tahun 1403 menyebutkan bahwa tembok Pintu Besi ini terletak di antara Samarqand dan India yang boleh jadi merupakan tembok  yang dibangun oleh Dzulqarain.
6-   Apapun, sesungguhnya perdebatan sekitar pribadi Dzulqarain dan sekitar hakikat Ya’juj dan Ma’juj masih terus berlangsung hingga kini. Namun demikian penyebutan dalam Al Qur’an Al Karim tentang kisah Dzulqarnain dengan kaum yang dia bangun untuk mereka dinding pemisah antara mereka dengan Ya’juj dan Ma’juj tetaplah menjadi salah satu sisi mu’jizat Al Qur’an dan bahwasanya ayat-ayatnya tidak mungkin buatan manusia karena tidak ada seseorangpun dari penduduk Jazirah Arab, pada waktu wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang tahu tentang Dzulqarnain atau tembok pemisah yang dia bangun atau tentang Ya’juj dan Ma’juj. 


[1] Surat Al Kahfi: 94
[2] Surat Al Kahfi: 93-94
[3] Surat Al Kahfi: 95-98
[4] Surat Al Anbiyaa’: 96
[5] Hadis riwayat Muslim dan Ahmad.
[6] Hadis riwayat Muslim
[7] Surat Al Anbiyaa’: 96-97
[8] Surat Al Anbiyaa’: 97
Dzulqarnain a.s.-2
          Allah Ta’ala berfirman: {Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya"}.[1]
Ayat di atas adalah ayat 83 surat Al Kahfi. Surat ini terdiri dari 110 ayat setelah basmalah, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Dinamai Al Kahfi artinya “Goa” dan Ashhabulkahfi artinya “Penghuni-penghuni goa” yaitu para pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka. Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam surat ini pada ayat 9 sampai ayat 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam goa di salah satu gunung yang mengitari kota mereka selama 309 tahun Qamariah, pada zaman yang dikuasai oleh persekutuan kepada Allah dan pembangkangan kepada perintah-perintah-Nya. Setelah ketidakhadiran mereka yang lama dari kehidupan di sekitar mereka, Allah Ta’ala membangkitkan mereka dengan suatu mu’jizat yang memperlihatkan bahwa Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Selain cerita tersebut terdapat juga beberapa buah cerita dalam surat ini, yang kesemuanya mengandung i’tibar dan pelajaran yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Banyak hadis-hadis Rasululah s.a.w. yang menyatakan keutamaan membaca surat ini.
Pokok-pokok isinya:
1-      Keimanan: Kekuasaan Allah Ta’ala untuk memberi daya hidup pada manusia di luar hukum kebiasaan, dasar-dasar tauhid serta keadilan Allah Ta’ala tidak berubah untuk selama-lamanya, kalimat-kalimat Allah (ilmu-Nya) amat luas sekali, meliputi segala sesuatu, sehingga manusia tidak mampu buat menulisnya. Kepastian datangnya hari berbangkit. Al Qur’an adalah kitab suci yang isinya bersih dari kekacauan dan kepalsuan.
2-      Hukum-hukum: Dasar hukum wakalah (berwakil), larangan membangun tempat ibadah di atas kubur, hukum membaca “Insya Allah”, perbuatan salah yang dilakukan karena lupa adalah dimaafkan, kebolehan merusak suatu barang untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar.
3-      Kisah-kisah: Cerita Ashhabulkahfi, cerita dua orang laki-laki yang seorang kafir dan yang lainnya mu’min, cerita nabi Musa a.s. dengan Khidhr a.s., cerita Dzulqarnain dengan Ya’juj dan Ma’juj.
4-      Dan lain-lain: Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari cerita-cerita dalam surat ini antara lain tentang kekuatan iman kepada Allah Ta’ala serta ibadah yang ikhlas kepada-Nya, kesungguhan seseorang dalam mencari guru (ilmu), adab sopan santun antara murid dengan guru, dan beberapa contoh tentang cara memimpin dan memerintah rakyat, serta perjuangan untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan Negara.
Surat Al Kahfi berkisar sekitar persoalan akidah Islam seperti golongan surat-surat Makkiyyah yang lain, bersandar pada keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, tiada seorangpun yang setara dengan Dia, tiada yang menyekutukan-Nya, tiada yang menyerupakan-Nya, dan luput dari sifat-sifat ciptaan-Nya dan dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya, beriman kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, dan kepada qadr yang baiknya maupun yang buruknya, serta kepada risalah manusia dalam kehidupan ini yaitu sebagai hamba Allah dan menyembah-Nya sesuai dengan apa yang Dia perintahkan kepadanya, menjadi khalifah di muka bumi dengan memakmurkannya dan menegakkan ketetapan-Nya dan keadilan-Nya di muka bumi.
Untuk menegaskan itu maka surat ini menyampaikan tiga cerita dan memaparkan tiga perumpamaan yang dapat diambil darinya pelajaran dan ketauladanan. Yang pertama adalah cerita Ashhabulkahfi. Yang kedua adalah cerita nabi Musa a.s. dengan Khidhr a.s., dan yang ketiga adalah cerita Dzulqarnain dengan Ya’juj dan Ma’juj. Sementara perumpamaan pertama adalah perumpamaan orang kaya yang sesat jalan dengan hartanya dan orang fakir yang mulia dengan keimanannya kepada Tuhannya. Perumpamaan kedua untuk meneguhkan ketidakkekalan kehidupan dunia dan kemestian kebinasaannya, dan perumpamaan itu diserupai dengan tumbuhnya tumbuh-tumbuhan setelah turun hujan dari langit, berbuah, matang, petik, atau panen, kemudian musim kemarau sehingga angin membawanya. Perumpamaan ketiga tentang hukuman bagi kesombongan dan sesat jalan sebagaimana telah dialami oleh Iblis yang terkutuk dengan pengusirannya dari surga, pengharamannya dari rahmat Allah sebagai balasan atas pembangkangannya kepada perintah Tuhannya, dan keengganannya untuk sujud hormat kepada bapak kita Adam a.s., sebagaimana diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya.

Dzulqarnain dalam Al Qur’an Al Karim:
Hamba saleh yang dijuluki Dzulqarnain yang berarti “Sang Dua Tanduk” disampaikan dalam enambelas ayat dalam surat Al Kahfi dan julukannya disebutkan sebanyak tiga kali dalam firman Allah Ta’ala: {Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya". Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuh suatu jalan. Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: "Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka. Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami". Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" Dzulkarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar"}.[2]
Firman Allah Ta’ala: {Mereka akan bertanya kepadamu} adalah firman-Nya yang ditujukan kepada sang penutup para nabi dan rasul Muhammad s.a.w.
Di antara sebab-sebab diturunkannya surat Al Kahfi bahwa orang-orang kafir Makkah mengirim utusan mereka kepada ahli kitab dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang berada di pinggiran Jazirah Arab untuk meminta kepada mereka tentang pertanyaan-pertanyaan yang mereka akan lontarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. untuk memastikan kebenaran kenabiannya, maka orang-orang Yahudi berkata kepada mereka: “Tanyakanlah kepadanya tentang seorang yang berkeliling di muka bumi, tentang sekelompok pemuda dan tentang perbuatan mereka, dan tentang roh. Maka turunlah kepadanya surat Al Kahfi dan di dalamnya terdapat jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu semuanya.
Al Azraqi dalam bukunya Akhbaru Makkah menyebutkan bahwa Dzulqarnain adalah seorang yang beriman kepada risalah Ibrahim a.s. dan bertawaf di Baitullah bersama Ibrahim a.s. setelah dia meninggikan tiang-tiang Baitullah itu. Jika kita menerima pendapat itu maka kita tahu tentang waktu kedatangan Dzulqarain karena Ibrahim a.s. hidup di milenium kedua sebelum Masehi antara tahun 1861-1686 sebelum Masehi atau antara 2000-1825 sebelum Masehi.
Al Qur’an Al Karim memberitahukan kepada kita bahwa Dzulqarnain adalah seorang raja yang beriman dan saleh, maka Allah Ta’ala telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, menguatkan kerajaannya, dan memudahkan kepadanya penaklukan-penaklukannya. Dalam hal itu Allah Ta’ala berfirman kepada sang penutup para nabi-Nya dan rasul-Nya: {Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya". Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuh suatu jalan}.[3]  
Telah banyak pembicaraan tentang Dzulqarnain. Buku-buku para sejarawan dipenuhi dengan berita-berita tentangnya. Tetapi Al Qur’an Al Karim ketika memaparkan kisah seorang nabi Allah atau sikap satu umat-Nya atau perjalanan salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang saleh maupun hamba-hamba-Nya yang jahat, maka hal itu dimaksudkan sebagai suri teladan dan pelajaran, bukan untuk menceritakan secara rinci peristiwa-peristiwa sejarah. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman tentang Dzulqarnain: {Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya"}.[4] Walau demikian beberapa ahli sejawah berusaha untuk menyampaikan secara lebih rinci tentang pribadi Dzulqarnain.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Dzulqarnain adalah salah seorang dari raja-raja Al Tababi’ah dari keturunan Humair putera Saba’. Ibnu Hisyam menyampaikan bahwa Dzulqarnain adalah Alexander Agung dari Macdonia. Al Maqrizi menuliskan bahwa Dzulqarnain adalah orang Arab dari keturunan Huud a.s. dan salah seorang dari raja-raja Humair dan namanya banyak disebutkan dalam syair-syair Arab.
Abulkalam Arad berpendapat bahwa Dzulqarnain adalah Korsh Agung yang hidup di abad keenam sebelum Masehi, dan banyak bertoleransi dengan mereka, tetapi pertanyaan yang dilontarkan oleh orang-orang Yahudi kepada Rasulullah s.a.w. tentang Dzulqarnain membuktikan bahwa namanya telah disebutkan dalam Taurat yang diturunkan sedikitnya sembilan abad sebelum masa kerajaan Corsh.
Muhammad Ali Al Bar dalam bukunya Idhaat Qur’aniah Wa Nubbuwiah Fii Tarikh Al Yaman menyebutkan bahwa kerajaan Al Tababi’ah telah menguasai dunia di masanya, dan salah seorang dari mereka bernama Tebe Al Aqran adalah Dzulqarnain yang menguasai dunia dan disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim. Demikian pula di antara mereka ada yang sampai ke China, Tibet, Turkistan, dan membangun Samarqand, pergi ke Afrika, menguasai Mesir, Afrika Utara, dan negeri-negeri yang lain. Tetapi Muhammad Ali Al Bar menambahkan bahwa ini semua adalah perkara-perkara yang berlebihan, penuh dengan legenda, dan tidak ada bukti sejarah yang kuat, kecuali bahwa terdapat bukti-bukti kuat bahwa mereka adalah raja-raja yang telah menyatukan Yaman dan kerajaan mereka telah membentang ke seluruh penjuru Jazirah Arab, ke Makkah Al Mukaramah, Yatsrib, dan kota-kota yang lain di Jazirah Arab, kecuali itu semuanya adalah kisah-kisah yang perlu pembuktian.
Ahmad Husain Syarafuddin menyebutkan bahwa kekuasaan raja-raja Al Tababi’ah membentang antara 275-533 Masehi. Jika kita menerima pendapat Al Azraqi yang menyebutkan bahwa Dzulqarnain adalah seorang yang beriman kepada risalah Ibrahim a.s. dan bertawaf di Baitullah bersama Ibrahim a.s. dan Ibrahim a.s. hidup di milenium kedua sebelum Masehi antara tahun 1861-1686 sebelum Masehi atau antara 2000-1825 sebelum Masehi, maka mustahil bahwa Dzulqarnain berasal dari raja-raja Al Tababi’ah dikarenakan perbedaan waktu antara periode kerasulan Ibrahim a.s. dan kerajaan Al Tababia’h yang lebih dari dua ribu tahun.
Hamad Hamzah Al Sharishari dalam bukunya Fak Asrar Dzulqarnain: Akhnatun, Wa Ya’juj, Wa Ma’juj menyebutkan bahwa Dzulqarnain adalah raja Akhnatun salah seorang raja Mesir Kuno dari dinasti ke-18 yang menduduki singgasana kerajaan Mesir pada abad keempatbelas sebelum Masehi antara 1360-1342 sebelum Masehi atau 1379-1362 sebelum Masehi. Dzulqarnain hidup semasa dengan nabi Musa putera Imran a.s. dan dia adalah putera Firaun Amenhuteb III yang membuntuti Musa a.s. sampai laut lalu Allah Ta’ala menenggelamkannya beserta tentaranya di laut. Akhnatun adalah seorang raja dari dinasti Firaun yang beriman kepada Allah Ta’ala sebagaimana disampaikan dalam surat Al Mu’min, yang membela Musa a.s. di negeri bapaknya Amenhuteb III. Pendapat ini bertentangan dengan hadis Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya: (Ada tiga orang yang tidak akan membangkang kepada Allah sekedipan matapun: Hezkiel seorang mu’min dinasti Firaun, Habibunnajar dari keturunan Yasin, dan Ali bin Abi Thalib).
Al Baghawi dalam tafsirnya berpendapat bahwa kebanyakan sejarawan memandang bahwa Dzulqarnain adalah seorang raja yang adil dan saleh. Oleh karena itu kita tidak dapat mengatakan tentang Dzulqarnain lebih daripada apa yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala dalam Al Qur’an Al Karim bahwa dia adalah seorang raja yang beriman dan saleh, Allah Ta’ala telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, menganugerahkan kepadanya ilmu dan hikmah, menguatkan kerajaannya, dan memudahkan kepadanya penaklukan-penaklukannya, maka begeri-negeri di muka bumi mendekat kepadanya dan umat-umat dari bangsa Arab dan non-Arab mengabdi kepadanya.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuh suatu jalan},[5] yaitu menempuh jalan yang mudah baginya lalu dia berjalan ke arah Barat dari kampung halamannya yang boleh jadi Jazirah Arab, sehingga dia sampai pada tepi pantai samudera Atlantika yang pada zaman dahulu kala disebut dengan “Laut kegelapan”, sebagaimana firman Allah Ta’ala: {Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat Kami berkata: "Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka}.[6]
Disana dia mengikrarkan undang-undang dasarnya yang adil. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami"}.[7]
Kemudian Dzulqarnain kembali ke arah Timur dari perjalanannya ke Barat sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya}.[8]
Boleh jadi ayat-ayat ini berarti bahwa kawasan itu adalah kawasan Timur Jauh atau kawasan Timur dan Utara China.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa Dzulqarnain boleh jadi telah sampai ke kutub Utara pada musim panas, tetapi pendapat ini tidak didukung dengan bukti-bukti ilmiah.
Kemudian ayat-ayat dalam surat Al Kahfi beralih ke perjalanan ketiga Dzulqarnain, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" Dzulkarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar"}.[9]
Firman Allah Ta’ala: {Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"}.[10]
Yang dimaksud dengan “tidak mengerti pembicaraan” adalah mereka tidak bisa memahami bahasa orang lain, karena bahasa mereka amat jauh bedanya dari bahasa yang lain, dan merekapun tidak dapat menerangkan maksud mereka dengan jelas karena kekurangan kecerdasan mereka.
Yang dimaksud dengan “dua buah gunung” adalah dua dinding pembatas buatan atau alami dalam bentuk rentetan gunung-gunung yang berhubungan di sebelah kanan dan sebelah kiri sehingga sampai ke laut. Keduanya telah ada sejak sebelum kedatangan Dzulqarain kepada kaum yang disebutkan dalam ayat di atas. Di antara dua buah gunung itu terdapat sebuah lembah yang darinya bangsa Ya’juj dan Ma’juj dapat melintas ke bangsa-bangsa yang bertetangga dengan mereka untuk membunuh, merampas, menjarah, dan merusak di muka bumi. Tatkala Dzulqarnain sampai ke kaum tersebut mereka mengeluh kepadanya dari apa yang mereka terima dari bangsa Ya’juj dan Ma’juj dan mereka meminta darinya agar dibuatkan dinding pemisah antara mereka dengan bangsa Ya’juj dan Ma’juj.
Dan jawaban Dzulqarnain datang sebagai berikut: {"Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulqarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar"}.[11]
Apapun, sesungguhnya perdebatan sekitar pribadi Dzulqarain dan sekitar hakikat Ya’juj dan Ma’juj masih terus berlangsung hingga kini. Namun demikian penyebutan dalam Al Qur’an Al Karim tentang kisah Dzulqarnain dengan kaum yang dia bangun untuk mereka dinding pemisah antara mereka dengan Ya’juj dan Ma’juj tetaplah menjadi salah satu sisi mu’jizat Al Qur’an dan bahwasanya ayat-ayatnya tidak mungkin buatan manusia karena tidak ada seseorangpun dari penduduk Jazirah Arab, pada waktu wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang tahu tentang Dzulqarnain atau tembok pemisah yang dia bangun atau tentang Ya’juj dan Ma’juj. 


[1] Surat Al Kahfi: 83
[2] SuratAl Kahfi: 83-98
[3] SuratAl Kahfi: 83-85
[4] SuratAl Kahfi: 83

[5] SuratAl Kahfi: 84-85
[6] SuratAl Kahfi: 86
[7] Surat Al Kahfi: 87-88
[8] Surat Al Kahfi: 89-91
[9] Surat Al Kahfi: 92-98
[10] Surat Al Kahfi: 93-94
[11] Surat Al Kahfi: 95-98
Zakat Dalam Islam
            Allah Ta’ala berfirman: {Dan orang-orang yang menunaikan zakat}.[1]
Ayat di atas adalah ayat 4 surat Al Mu’minuun, surat Makkiyyah, jumlah ayat-ayatnya adalah 118 ayat setelah basmalah.
Dinamai Al Mu’minuun (Orang-orang yang beriman) karena di dalamnya ada pemujian kepada orang-orang yang beriman dari hamba-hamba Allah Ta’ala.
Di antara mu’jizat Al Qur’an Al Karim dalam kaitannya dengan pengaturan fardhu zakat:
            Zakat disebutkan dalam lebih dari tigapuluh ayat dari Al Qur’an Al Karim, dan disandingkan dengan shalat dalam kebanyakan dari ayat-ayat itu. Zakat diwajibkan oleh Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya dari kaum muslimin dalam Al Qur’an Al Karim dan fardhunya diteguhkan dalam Sunnah Nabi. Para ulama sepakat bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima.
              Asal usul “zakat” adalah perkembangan yang dihasilkan dari berkah yang diadakan oleh Allah Ta’ala dalam tiap-tiap perkara duniawi dan ukhrawi. Dari sinilah datangnya ungkapan syar’i “zakat” sebagai isyarat kepada apa yang dikeluarkan oleh seorang muslim dari hak Allah Ta’ala dalam hartanya kepada orang-orang yang berhak menerimanya dalam masyarakatnya atau di luar masyarakatnya.
Dinamai “zakat” karena di dalamnya terdapat pengharapan berkah dan pensucian, dan pembersihan harta dan jiwa, yaitu perkembangan berkah, pensucian, harta dan jiwa dengan sifat-sifat kebaikan dan berkah-berkah akibat kepatuhannya kepada perintah-perintah Allah Ta’ala. Oleh karena itu perintah untuk zakat disandingkan dengan perintah untuk shalat dalam banyak ayat-ayat Al Qur’an Al Karim, di antaranya: Firman Allah Ta’ala: {Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'}.[2]Dan firman-Nya: {Dan orang-orang yang menunaikan zakat}.[3]
Di antara makna-makna firman Allah Ta’ala {Dan orang-orang yang menunaikan zakat},[4] adalah orang-orang yang menunaikan zakat dengan harapan Allah Ta’ala menumbuhkan berkah kepada mereka, membersihkan harta mereka dan diri mereka, dan agar mereka membersihkan jiwa mereka sendiri dengan memerangi kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan pada harta benda, mendidik diri mereka dengan memberi harta mereka di jalan Allah demi mencari keredhaan-Nya.
Pada mulanya zakat di Makkah bersifat mutlak dan besarannya diserahkan kepada kebaikan seorang muslim karena kebutuhan kaum muslimin di sekitarnya pada waktu itu, namun pada sekitar tahun kedua Hijriah Allah Ta’ala menetapkan dan memerinci besaran zakat dari tiap-tiap jenis harta.
            Allah Ta’ala memerintahkan penunaian zakat dalam banyak dari ayat-ayat Al Qur’an Al Karim. Di antaranya adalah firman-Nya: {Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui}.[5]
Firman-Nya: {Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian}.[6]
Dan firman-Nya: {(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan}.[7]
Zakat adalah satu dari rukun Islam yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, diteguhkan oleh nabi Muhammad s.a.w., dan disepakati kewajibannya oleh para ulama sehingga menjadi kemestian agama, yang menjadikan pembangkangnya keluar dari agama Islam dan ditegakkan atasnya hukuman mati, karena menjadi seorang yang kafir, kecuali jika dia baru masuk Islam, maka orang itu dimaafkan karena ketidaktahuannya tentang ketetapan-ketetapannya.
Adapun orang yang menghindar dari penunaiannya-walau dia percaya pada kewajibannya-maka dia berdosa karena penghindarannya, tanpa mengeluarkannya dari agama Islam, dan seorang pemimpin muslim diwajibkan atasnya untuk mengambil zakat secara paksa darinya, dan menetapkan hukuman ta’zir kepadanya, dan jangan mengambil dari hartanya lebih banyak dari besaran zakatnya.
Sementara jika suatu kaum dari umat Islam menghindar dari penunaiannya-walau mereka percaya pada kewajibannya-sedang mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan maka diwajibkan bagi umat Islam untuk memerangi mereka agar menunaikan zakat sampai mereka menunaikannya.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. ketika mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman, dia bersabda kepadanya: (Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka jika mereka mentaati itu, maka ajarkannya kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan jika miereka mentaat itu maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka sedekah dalam harta benda mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka).[8]  
Zakat diwajibkan atas setiap muslim yang bebas dan memiliki satu dari macam-macam harta yang diwajibkan atasnya untuk mengeluarkan zakat jika telah sampai nasabnya.
Diisyaratkan agar nasab melebihi kebutuhan-kebutuhan dasar seorang muslim seperti sandang, pangan, papan, alat angkut, biaya pendidikan dan biaya kesehatan, dan telah sempurna masa haulnya yaitu satu tahun Hijriah, yang bermula dari hari kepemilikan nasab dan harus sempurna dalam masa haul seluruhnya.
Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa jika kurang dari nasab selama masa haul dan sempurna setelah itu maka permulaan haul dimulai dari hari sempurnanya nasab.
Di antara harta yang diwajibkan ditunaikan zakatnya adalah harta yang berkembang dengan sendirinya seperti biji-bijian dan buah-buahan, maka zakatnya diwajibkan pada waktu dipanen atau dipetik.
Di antaranya adalah harta yang dikembangkan seperti investasi, perniagaan, dan peternakan. Dalam hal ini zakat diwajibkan jika telah sempurna nasabnya dan telah sampai haulnya.
Orang-orang yang berhak menerima zakat ditentukan oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya: {Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana}.[9]
Yang berhak menerima zakat ialah:
1. Orang fakir: Orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: Orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus zakat: Orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Muallaf: Orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: Mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang: Orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Pada jalan Allah (fisabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin.
8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Zakat diharamkan atas kaum kafir dan kaum ateis, atas ahlibait Rasulullah s.a.w., atas masing-masing dari kaum bapak, kaum anak, dan isteri. Demikian pula diharamkan atas golongan yang tidak disebutkan dalam ayat 60 surat At Taubah, maka zakat tidak dikeluarkan untuk mendirikan masjid, tidak untuk mengafani orang-orang yang meninggal dunia, dan tidak pula untuk membiayai proyek-proyek pembangunan negara.
Islam memandang kepada harta dengan pandangan realistis karena harta adalah urat nadi kehidupan. Dari sinilah maka agama Islam memperhatikan penyantunan setiap orang yang hidup dalam masyarakat muslim. Hal itu dengan memenuhi kebutuhan mereka dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan keperluan-keperluan dasar yang lain.
Di antara media yang paling baik untuk memenuhi itu adalah ketetapan wajib zakat yang orang kaya niscaya tidak disempitkan dadanya untuk menunaikannya, dan dengannya orang-orang yang berhak menerimanya naik ke batas yang cukup untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan mereka dan memelihara martabat mereka. Hal itu karena zakat bukanlah karunia dari orang kaya kepada orang miskin, tetapi zakat adalah hak Allah Ta’ala yang disimpan pada orang kaya agar dia menunaikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya sehingga harta itu tidak beredar pada orang-orang kaya saja.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya}.[10]
Dan firman-Nya: {Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang}.[11],
Ayat di atas berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema'afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.
Hikmah dari ketetapan hukum zakat terlihat dengan jelas pada butir-butir berikut:
1-      Sesungguhnya harta itu adalah harta Allah dan bahwa orang-orang kaya dijadikan-Nya untuk menguasainya. Hal itu sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar}.[12]Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia yang menafkahkan hartanya tidak memiliki hak untuk menolak perintah sang pemilik harta hakiki yang mewajibkannya untuk menunaikan zakat. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. bersabda: (Zakat itu diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang yang fakir di antara mereka).[13] Jadi zakat itu adalah salah satu kewajiban atas negara Islam untuk meaksanakan dan mengaturnya.
2-      Sesungguhnya orang-orang kaya jika mereka mengeluarkan zakat harta mereka kepada orang-orang yang berhak menerimanya dalam masyarakat muslim, maka mereka telah menutupi kebutuhan kaum fakir miskin dan kebutuhan orang-orang lain yang berhak menerimanya, yang pada gilirannya memenuhi pemerataan pembagian harta, memulihkan berbagai persoalan masyarakat, membantu untuk menghilangkan kedengkian kepada orang-orang kaya dari orang-orang miskin, dan mengikat mereka dengan ikatan persaudaraan pada jalan Allah. Maka orang kaya memberi hartanya sebagai bentuk pembersihan atas jiwanya dan hartanya, sebagai bentuk penunaian hak Allah dan sebagai bentuk pencarian keredhaan-Nya, sedang orang fakir memuji orang kaya atas kesantunannya padanya dan perasaannya kepada persoalan-persoalannya maka dia menghargainya, yang pada gilirannya masyarakat dibangun atas dasar hubungan baik antara orang-orang yang kaya dan orang-orang yang miskin di antara mereka dan berkurang kejahatan di dalamnya. Rasulullah s.a.w. bersabda: (Bukanlah seorang mu’min yang kenyang sedang tetangganya lapar dan dia mengetahui).[14] 
3-      Sesungguhnya masyarakat manusia dibangun oleh seluruh anggotanya dari orang-orang kayanya dan orang-orang miskinnya, maka jika orang-orang yang kayanya menunaikan hak zakat mereka maka sehatlah masyarakat itu secara materil dan moril, berbahagialah orang-orang yang ada di dalamnya, dan mampu memulihkan persoalan-persoalan yang dihadapinya, tetapi jika mereka menghindari zakat maka hancurlah masyarakat itu secara materil dan moril dan menderitalah orang-orang yang ada di dalamnya.
4-      Sesungguhnya pengeluaran zakat harta sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum syariat tidaklah akan memiskinkan orang kaya, bahkan menambah subur hartanya dan berkahnya, menambahkan dalam dan kuat keimanannya kepada Allah Ta’ala, dan menutupi kebutuhan orang-orang yang berhak menerimanya, maka naiklah derajat masyarakat itu secara keseluruhan, karena masyarakat yang bertambah kaya orang-orang kaya di dalamnya dan bertambah miskin orang-orang miskin di dalamnya adalah masyarakat yang sakit karena dipenuhi dengan ke-ego-an pada orang-orang yang kaya, dan kebencian dan kedengkian pada orang-orang miskin, yang pada gilirannya meninggikan persentase kejahatan, dan hilanglah nikmat keseimbangan ekonomi dan nikmat keseimbangan keamanan social dalam masyarakat.
5-      Sesungguhnya pengeluaran zakat harta sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum syariat membawa kepada kesetaraan pembagian harta dalam masyarakat, juga memenuhi tanggungjawab orang-orang kaya di dalamnya terhadap orang-orang yang berhak menerimanya, karena jika hilang tanggungjawab tersebut maka runtuhlah masyarakat karena ketimpangan pembagian harta di dalamnya.


[1] Surat Al Mu’minuun: 4
[2] Surat Al Baqarah: 43
[3] Surat Al Mu’minuun: 4
[4] Surat Al Mu’minuun: 4
[5] Surat At Taubah: 103
[6] Surat Adz Dzariyaat: 19
[7] Surat Al Hajj: 41
[8] Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
[9] Surat At Taubah: 60
[10] Surat Al Hasyr: 7
[11] Surat An Nuur: 22
[12] Surat Al Hadiid: 7
[13] Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
[14] Hadis riwayat Hakim dalam Al Mustadrak.