Kamis, 14 Februari 2013

Bangsa Khazaria memeluk agama Yahudi
Walau terdapat perselisihan pendapat yang sengit tentang pandangan pemikir Yahudi asal Hongaria, Arthur Koestler, sekitar penyebaran agama Yahudi melalui keyakinan bukan keturunan, yang pada gilirannya membawa kepada kenyataan bahwa kebanyakan orang-orang Yahudi sekarang bukanlah berasal dari bangsa semit dan dengan demikian gugurlah pendapat “bangsa pilihan”, namun sebagian penulis Barat memandang bahwa buku Koestler, The thirteenth tribe-The Khazar Empire And Its Heritage, sebenarnya ditujukan kepada para cendekiawan Barat. Sebenarnya Koestler melalui bukunya berusaha meredam permusuhan dan kebencian orang-orang Barat terhadap orang-orang Yahudi dengan mengatakan bahwa: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi Eropa bukanlah anak cucu Bani Israel yang dituduhkan oleh Dunia Kristen sebagai pelaku pembunuhan terhadap Jesus Kristus. Mereka adalah orang-orang Eropa yang memeluk agama Yahudi”.
Sebagian penulis Barat yang lain berpendapat bahwa Koestler sendiri telah mengakui kesalahannya yang fatal “setelah dia bersaksi dengan menggunakan bukunya untuk meragukan hak orang-orang Yahudi atas tanah Israel”. Padahal Koestler sebelumnya merupakan salah seorang penyeru zionisme dan pendukung hak orang-orang Yahudi untuk kembali ke tanah Israel. Diapun pernah menjabat asisten Zaiv Jaboetensky salah seorang tokoh gerakan zionisme.
Sesungguhnya masuknya bangsa Khazaria ke agama Yahudi adalah contoh terbesar dalam sejarah tentang penyebaran agama Yahudi melalui keyakinan bukan keturunan seperti agama-agama yang lain semisal Islam, Kristen, dan Budha.   
Kajian-kajian sejarah yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa mayoritas orang-orang Yahudi di masa kini adalah orang-orang Yahudi eshkanazi yang berasal dari bangsa Khazaria dan tidak ada hubungan sama sekali dengan orang-orang Yahudi kuno atau Bani Israel.
Kabilah-kabilah Khazaria sebelum memeluk agama Yahudi mempunyai sebuah negara di pantai utara laut Kaspia, yang didirikan setelah para pendahulu mereka dari orang-orang Turki yang berasal dari Asia Tengah menetap di sana, sama halnya dengan orang-orang Saljik yang memeluk agama Islam setelah mereka merantau dari kampung halaman mereka.
Masuknya bangsa Khazaria ke agama Yahudi tidak lepas dari krisis politik dan ekonomi yang dialami oleh kerajaan Khazaria lantaran letaknya yang dekat dengan kawasan-kawasan perseteruan antara dua kekuatan besar di kala itu yaitu kaum muslimin dan Bizantium, di samping berbagai kabilah primitif yang berada dalam keadaan perang yang tak henti-hentinya.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa salah seorang raja Khazaria telah memutuskan untuk memeluk agama Yahudi di abad delapan Masehi, yang pada gilirannya mengakibatkan masuknya seluruh elit penguasa ke agama Yahudi. Sedangkan rakyat Khazaria terdiri dari kelompok-kelompok nomaden dan penganut agama-agama yang beragam seperti Islam, Kristen, Yahudi, penyembah berhala, dan agama-agama primitif yang lain. Mereka bekerja pada sektor perdagangan, pertanian, dan kerajinan tangan. Di antara mereka ada yang bergabung dalam tentara Khazaria. Tetapi pasca masuknya para raja dan elit penguasa Khazaria ke agama Yahudi, bangsa Khazaria beralih ke agama baru para raja mereka, sehingga jumlah orang-orang yang masuk agama Yahudi dari bangsa Khazaria menjadi mayoritas oleh sebab reproduksi mereka dan reproduksi anak cucu mereka sepeninggal mereka. Dengan berlalunya waktu negeri Khazaria secara berangsur-angsur menjadi satu-satunya negara di dunia yang mengambil Yahudi sebagai agama resmi di kala itu.
Tentang sejarah bangsa Khazaria dan peralihan mereka ke agama Yahudi, Koestler mengatakan: “Negara Khazaria-sebuah bangsa berasal dari bangsa Turki- mendiami wilayah strategi yang menghubungkan laut Hitam dan laut Kaspia, dimana terdapat dua negara adidaya yang berkonfrontasi satu dengan yang lain. Negara Khazaria telah memainkan peranannya sebagai pemisah yang melindungi kekaisaran Bizantium dari serangan-serangan kabilah-kabilah Istabis Utara (Bulgaria, Hongaria, Vikings, dan Rusia). Lebih dari itu diplomasi Bizantium dan sejarah Eropa memandang bahwa tentara Khazaria berhasil menghentikan penyerbuan kekhalifahan Arab Islam pada tahap-tahap awalnya. Demikianlah mereka berhasil menggagalkan kemenangan Arab Islam atas Eropa Timur”.
Kemudian Koestler menukilkan sebagian dari pendapat Dr. Dunlop dari Universitas Colombia tentang peperangan antara bangsa Arab dan bangsa Khazaria, di antaranya pendapatnya: “Negara Khazaria merintangi jalan bagi kedatangan bangsa Arab. Selama beberapa tahun dari kematian Muhammad (632 Masehi) tentara kekhalifahan Arab Islam, yang menerpa laksana angin ribut, menuju ke arah utara lewat reruntuhan dua kekaisaran. Mereka menyapu segala sesuatu yang ada di depan mereka. Mereka sebenarnya telah sampai ke kawasan pegunungan Caucasus yang merupakan pintu masuk penting ke Eropa Timur. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tentara Arab Islam sepanjang Caucasus telah menghadapi suatu kekuatan militer terorganisir yang mampu menghentikan secara efektif penaklukan-penaklukan mereka ke Eropa Timur. Demikianlah peperangan antara bangsa Arab dan bangsa Khazaria yang berlangsung lebih dari seratus tahun yang layak mendapat perhatian”.
Pada pertempuran terakhir tahun 737 Masehi bangsa Arab menang atas bangsa Khazaria tetapi mereka tidak dapat menaklukkan Kostantinopel. Pentingnya peperangan antara bangsa Arab dan bangsa Khazaria dari sisi sejarah adalah sebagai berikut: Kaum muslimin dapat menaklukkan Andalusia dalam tiga tahun lalu mereka masuk ke Prancis. Demikianlah tentara bangsa Arab menuju ke benua Eropa dari dua arah timur dan barat dalam waktu yang sama. Tetapi benteng-benteng ibukota Bizantium berhasil mempertahankan sisi timur dari tangan bangsa Arab. Sedang tentara Charles Martial berhasil merintangi kedatangan bangsa Arab dalam perang Poatielle tahun 732 Masehi.
Tentang peristiwa tersebut Koestler mengatakan: “Setelah beberapa tahun, barangkali tahun 740 Masehi, raja Khazaria, istana, dan elit militer masuk ke agama Yahudi, maka jadilah Yahudi sebagai agama negara Khazaria. Tidak dapat diragukan bahwa keputusan tersebut telah mengejutkan bangsa-bangsa lain yang hidup semasa dengan mereka, juga mengejutkan para peneliti moderen yang membaca secara tidak sengaja kenyataan tersebut dari sumber-sumber Arab, Bizantium, Rusia, dan Ibrani”. Kemudian Koestler menyampaikan penjelasan sejarawan Hongaria, Dr. Antal Partha, tentang masalah masuknya bangsa Khazaria ke agama Yahudi dengan mengatakan: “Perhatian pembaca harus menuju ke masalah agama resmi kerajaan Khazaria. Agama Yahudi menjadi akidah yang diakui oleh elit penguasa dalam masyarakat Khazaria. Diterimanya agama Yahudi sebagai akidah resmi bagi suatu bangsa penyembah berhala non-Yahudi merupakan suatu tema yang layak dicermati. Peralihan resmi yang memperhitungkan kekuatan Kristen Bizantium dan dominasi Arab Islam di belahan timur walau adanya tekanan politik dari dua kekuatan tersebut, maka peralihan ke agama yang tidak memperoleh dukungan dari kekuatan politik apapun, peralihan ini telah mengejutkan seluruh sejarawan yang memperhatikan bangsa Khazaria. Peralihan itu bukan merupakan suatu bentuk penolakan tetapi sebagai cermi independensi politik yang dijalankan oleh kerajaan Khazaria”.
Disini Koestler mengatakan: “Sesungguhnya kerajaan Khazaria hanya dapat menjaga independensinya ketika dia menolak untuk memeluk agama Kristen atau Islam, karena masing-masing dari dua pilihan tersebut akan mengantarkan secara langsung kepada dominasi kekaisaran Romawi atau kekhalifahan Baghdad”.
Koestler melanjutkan: “Masing-masing dari dua kekuatan adidaya tersebut tidak pernah berjuang untuk mengalihkan bangsa Khazaria ke agama Kristen atau Islam. Yang ada hanyalah tukar-menukar misi diplomasi, perkawinan antara anggota kerajaan, penjalinan persekutuan militer yang berdasarkan pada kepentingan timbal balik. Kerajaan Khazaria memperkuat kekuasaannya dengan berpegang pada kekuatan militer, pada kawasan-kawasan yang berada dalam kekuasaannya, dan pada penjagaan dengan pusat kerajaan”.
Koestler memaparkan situasi dan kondisi yang mengakibatkan terjadinya peralihan tersebut dengan mengatakan: “Sesungguhnya hubungan bangsa Khazaria yang erat dengan kekasiaran Bizantium dan kehadiran kekhalifahan Arab Islam telah mengungkap kepada mereka bahwa akidah mereka yang primitif itu tidak saja terbelakang dibandingkan dengan akidah ketauhidan dari dua pesaing mereka, bahkan lebih dari itu bahwa peralihan akidah mereka ke salah satu akidah ketauhidan dari dua pesaing mereka pada gilirannya berarti pembauran ke dalam akidah tersebut dan berakhirnya independensi. Maka tidak ada pilihan lain yang lebih masuk akal kecuali dengan memeluk akidah yang ketiga”.
Koestler menuturkan bahwa sebelum masuk ke agama Yahudi bangsa Khazaria telah mengenal orang-orang Yahudi dan agama Yahudi serta mempunyai hubungan baik dengan mereka, seraya mengatakan: “Pada hakikatnya bangsa Khazaria mengenal baik orang-orang Yahudi. Mereka memperhatikan ritual-ritual keagamaan Yahudi sejak tidak kurang dari satu abad sebelum mereka masuk ke agama Yahudi. Hal itu akibat kedatangan terus-menerus para pengungsi yang lari dari penindasan keagamaan di Bizantium dan juga dari kawasan Asia Kecil. Oleh karena itu kerajaan Khazaria menjadi tempat perlindungan alami bagi gerakan-gerakan eksodus orang-orang Yahudi di bawah kekuasaan Bizantium dan terancam dikeluarkan secara paksa dari agama mereka”.
Bayangkan berapa banyak orang-orang Yahudi yang disambut kedatangannya oleh kerajaan Khazaria pasca peralihannya secara resmi ke negara Yahudi, walau ada keyakinan dari orang-orang Yahudi tentang perlunya keberadaan mereka di seluruh penjuru dunia untuk mengambil manfaat dari praktek monopoli, riba, dan eksploitasi bangsa-bangsa yang lain demi keuntungan materi belaka.
Jika tujuan masuknya bangsa Khazaria ke agama Yahudi untuk menjaga keberadaan mereka dan keberadaan negara mereka, maka dalam waktu yang panjang tujuan tersebut tidak tercapai. Kerajaan mereka tak lama kemudian mulai runtuh secara berangsur-angsur setelah beberapa abad mereka memeluk agama Yahudi, akibat kekalahan-kekalahan yang mereka alami dari kabilah-kabilah Rusia dan Skandinavia yang sebelumnya merasa iri atas kejayaan mereka. Mereka nyaris mengalahkan bangsa Khazaria pada abad sepuluh, namun keberadaan bangsa Khazaria berlanjut hingga abad tigabelas. Sementara hal ihwal mereka mulai runtuh secara berangsur-angsur akibat banyak peperangan dengan tetangga mereka dari seluruh penjuru, sampai akhirnya tentara Mongolia memporakporandakan negara Khazaria dan menghapus keberadaan mereka dari muka bumi. Berakhirnya kerajaan Khazaria bukan saja berakhirnya bangsa Khazar saja, tetapi juga mengantarkan kepada eksodusnya mereka ke Eropa Timur terutama Uraina, Polandia, Hongaria, Lituania, dan kawsan-kawasan lain di Rusia.
Kekalahan yang mereka alami di sisi timur telah mendorong mereka untuk menuju ke sisi barat yaitu negara-negara di Eropa Timur, yang di dalam kota-kota dan desa-desa dari negara-negara itu bangsa Khazaria mendapati perlindungan bagi mereka dan anak cucu mereka, yang jumlahnya mencapai jutaan orang setelah beberapa abad dari kekalahan mereka di tangan bangsa Mongolia dan runtuhnya kerajaan mereka.
Tak lama kemudian anak cucu mereka lupa akan asal usul mereka dari bangsa Khazaria, setelah akal dan jiwa mereka dibalut oleh tren diskriminasi yang berpijak pada akidah Yahudi. Maka kebanyakan dari mereka hidup di dusun-dusun khusus bagi mereka di tengah perkotaan yaitu dusun-dusun “ghetto” yang dikenal dengan terbelakang, penyakit, dan kotor. Mereka juga hidup di desa-desa khusus bagi mereka yang disebut dengan “shatetel” yang berarti atmosfer yang sempit dan pemikiran yang jumud. Mereka bekerja di sektor perdagangan, pertanian, dan industri ringan, tanpa kecuali seperti masyarakat yang lain. Para pemuka mereka dikenal dengan praktek riba, kontrol perdagangan dan perekonomian, monopoli bahan makanan dan komoditas dasar, perpajakan, dan simpan emas.
Koestler menggambarkan salah seorang pelaku praktik riba di kerajaan Hongaria yaitu Kont Teka yang bekerja sebagai bendara kerajaan, dengan mengatan: “Dia adalah seorang Yahudi berasal dari bangsa Khazaria. Dia adalah salah seorang pemilik tanah yang kaya raya. Dia adalah salah seorang pemuka ekonomi dan diplomasi.
Kemudian Koestler melukiskan keberadaan orang-orang Yahudi di negeri Hongaria dengan mengatakan: “Sesungguhnya mayoritas penduduk Yahudi Hongaria di abad pertengahan berasal dari bangsa Khazaria didukung dengan dokumen yang baik. Kebanyakan orang mengira bahwa Hongaria merupakan kasus khusus dalam konteks hubungan dini antara Hongaria dan Khazaria, tetapi kenyataannya bahwa derasnya arus imigran bangsa Khazaria ke Hongaria merupakan bagian dari eksodus bangsa-bangsa Estabes ke arah barat yaitu Eropa Tengah dan Timur dan bangsa Khazaria bukanlah satu-satunya bangsa yang masuk ke Hongaria. Kebanyakan perkelompokan dari orang-orang Khazaria yang memeluk agama Yahudi adalah di Polandia, Ukraina, dan Rusia. Jumlah mereka mencapai lebih dari enam juta jiwa sebelum eksodus mereka berikutnya ke Amerika Serikat dan Palestina di era moderen.
Koestler memaparkan perhatian beberapa sejarawan kepada asal usul yang sebenarnya dari orang-orang yang memeluk agama Yahudi dan usaha mereka untuk meluruskan kesalahan yang beredar di tengah masyarakat, yaitu kepercayaan bahwa orang-orang Yahudi itu berasal dari Palestina, seraya mengatakan: “Potret umum yang muncul tentang informasi yang tersebarluas adalah eksodus kabilah-kabilah dan kelompok-kelompok dari bangsa Khazaria ke kawasan-kawasan di Eropa Timur terutama Rusia dan Polandia, dimana didapati di dalamnya kebanyakan perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang Yahudi. Banyak dari sejarawan berpendapat bahwa banyak bahkan mayoritas dari orang-orang Yahudi Timur dan orang-orang Yahudi di seluruh dunia sesungguhnya berasal dari bangsa Khazaria bukan berasal dari bangsa Semit.
Koestler mengatakan bahwa kenyataannya sekarang: “Bahwa mayoritas dari orang-orang Yahudi di seluruh dunia adalah berasal dari Eropa Timur yang berasal dari bangsa Khazaria. Jika demikian halnya berarti bahwa para pendahulu mereka tidak datang dari lembah Jordania tetapi dari Volga, bukan berasal dari keturunan Kan’an tetapi dari Caucasus, dan dapat diyakini bahwa mereka berasal dari bangsa Aria bukan bangsa Semit. Sesungguhnya mereka lebih erat secara garis keturunan kepada bangsa Hoon, Boger, dan Hongaria, lalu dari mereka kepada anak cucu Ibrahim, Ishak, dan Yakub. Jika demikian halnya maka slogan anti-semit menjadi tidak bermakna.      
Kemudian Koestler menyampaikan berbagai penelitian ilmiah dan tes laboratorium yang diadakan terhadap beberapa orang Yahudi untuk mengetahui tentang sifat-sifat dan menentukan asal usul mereka. Di antara hasil dari berbagai penelitian ilmiah dan tes laboratorium tersebut bahwa orang-orang Yahudi itu sesungguhnya berasal dari berbagai bangsa, dan tidak ada ikatan darah atau warisan atau kebangsaan antara perkumpulan-perkumpulan Yahudi di seluruh dunia. Berbagai penelitian ilmiah itu membuktikan bahwa masing-masing perkumpulan Yahudi berasal dari ragam bangsa sama halnya dengan suatu bangsa yang berasal dari beragam suku bangsa. Ini semua adalah bukti-bukti yang meneguhkan bahwa Yahudi adalah agama yang tersebarluas lewat keyakinan bukan lewat asal usul atau pertalian darah sebagaimana disangka oleh orang-orang Yahudi dan bahwa konsep bangsa pilihan yang diyakini secara luas oleh mereka tidak lain hanyalah suatu konsep diskriminasi yang direkayasa oleh para kahin mereka.
Pada akhir bukunya Koestler menerangkan informasi sekitar sejarah bangsa Khazaria dan cerita masuknya mereka ke agama Yahudi seraya mengatakan: “Pada bagian pertama dari buku ini, penulis berusaha untuk mengikuti sejarah kekaisaran Khazaria dengan berpegang pada sumber-sumber yang ada. Pada bab kelima dan bab ketujuh dari bagian kedua, penulis menghimpun bukti-bukti sejarah yang meneguhkan bahwa mayoritas orang-orang Yahudi Timur, yaitu orang-orang Yahudi Eropa Timur dan orang-orang Yahudi di seluruh dunia, berasal dari bangsa Turki-Khazaria, bukan bangsa Semit. Pada bab terakhir ini penulis berusaha untuk memperlihatkan keserasian antara bukti-bukti antropologi dengan sejarah dalam penolakan keyakinan umum bahwa orang Yahudi berasal dari bangsa Taurat. Para antropolog melihat bahwa dua kelompok dari fakta-fakta itu bertentangan dengan keyakinan tentang perbedaan yang besar antara orang-orang Yahudi dalam kaitannya dengan ciri-ciri tubuh mereka dan perbedaan mereka dengan bangsa-bangsa non-Yahudi yang hidup bersama mereka. Semua itu tercermin dalam statistik-statistik yang berkaitan dengan tinggi badan, besar tulang tengkorang, golongan darah, warna rambut, mata, dan yang lainnya. Apapun barometer yang dipergunakan niscaya hasilnya sama yaitu tidak ada perbedaan antara orang-orang Yahudi dan bangsa-bangsa non-Yahudi yang hidup dalam satu masyarakat.
Koestler menambahkan sebab-sebab lain bagi keanekaragaman asal usul Yahudi selain sebab masuknya para pendahulu mereka ke agama Yahudi. Di antaranya perkawinan campur antara Yahudi dan non-Yahudi walau hal itu diharamkan oleh para kahin mereka dan banyaknya pemerkosaan yang terjadi di masa perang, revolusi, dan pembantaian.
Orang-orang Yahudi bekerja keras sekuat tenaga mereka untuk menutupi fakta-fakta sejarah, yang didukung oleh bukti-bukti ilmiah, yang mengungkap asal usul masuknya para pendahulu mereka ke agama Yahudi, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Palestina dan penduduk kunonya, namun mereka mengklaim secara terus-menerus dengan keras kepala dan pikiran yang jumud bahwa asal usul mereka kembali ke para nabi seperti Ibrahim, Ishak, Yakub, Musa, Daud dan Sulaiman. Sedangkan semua itu adalah klaim dan prasangka yang bertentangan dengan kenyataan dan bertolakbelakang dengan fakta-fakta agama dan sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar