Kamis, 14 Februari 2013

Puasa Ramadhan Dalam Islam - 2
Allah Ta’ala berfirman: {Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui}.[1]
Ayat di atas adalah ayat 184 surat Al Baqarah, surat Madaniyyah, jumlah ayat-ayatnya adalah 286 ayat setelah basmalah, dan merupakan surat terpanjang dalam Al Qur’an Al Karim.
Dinamai Al Baqarah (Sapi Betina) karena di dalamnya ada isyarat kepada mu’jizat inderawi yang diberikan oleh Allah Ta’ala pada hamba-Nya dan nabi-Nya Musa putera Imran a.s. tatkala seseorang dari kaumnya mati dibunuh sedang pembunuhnya belum diketahui, maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada hamba-Nya Musa a.s. agar dia memerintahkan kaumnya untuk menyembelih seekor sapi betina dan memukul tubuh orang yang terbunuh itu dengan potongan dari sapi betina yang disembelih itu, niscaya dia akan hidup dengan izin Allah lalu dia memberitahu siapa pembunuhnya kemudian setelah itu mati. Hal itu sebagai bentuk pembenaran kepada kemahakuasaan Allah Ta’ala akan segala sesuatu, penegakan keadilan, dan kesaksian bahwa Allah Ta’ala Mahakuasa untuk menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati pada hari pembangkitan.
Pusaran utama surat Al Baqarah berbicara tentang persoalan ketetapan hukum Islam, ibadah, akhlak dan mu’amalat, dan bercerita tentang pilar-pilar akidah Islam, tentang sifat-sifat orang-orang yang beriman, orang-orang yang kafir, musyrikin, dan munafikin, tentang kisah penciptaan Adam dan Hawa, tentang kisah-kisah sebagian dari nabi-nabi dan rasul-rasul, juga bercerita secara lebih rinci tentang sikap ahli Kitab yang berakhir dengan peneguhan kepada hakikat beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya, dan dengan doa kepada Allah Ta’ala yang menggetarkan hati, akal dan jiwa.
Allah Ta’ala berfirman: {Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa}.[2]
Ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala memberitahukan kepada mereka bahwa berpuasa di bulan Ramadhan diwajibkan atas mereka sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum mereka. Hal itu sebagai bentuk peneguhan atas kesatuan risalah langit yang bermuara dari ketauhidan kepada Allah Ta’ala.
Demikian pula ayat di atas merupakan peneguhan bahwa Allah Ta’ala telah menutup wahyu-Nya untuk memberi hidayah kepada umat manusia dengan pengutusan sang penutup para nabi dan rasul Muhammad s.a.w., maka tiada nabi dan tiada pula rasul sesudahnya.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: {Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa}.[3]
Dan kata kerja {diwajibkan} menunjukkan ketetapan hukum yang mutlak, dalam arti bahwa puasa bulan Ramadhan dengan bentuk yang telah ditentukan Al Qur’an Al Karim dan Sunnah Nabi sesungguhnya dahulu diwajibkan atas umat-umat sebelum kita sebagaimana diwajibkan atas kita dan akan tetap diwajibkan atas seluruh orang-orang yang beriman setelah kita sampai hari kiamat. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. bersabda: (Puasa bulan Ramadhan diwajibkan Allah atas umat-umat sebelum kamu).[4]  
Puasa Ramadhan dalam syara’ adalah menahan diri dari makan dan minum dan dari selain keduanya dengan niat mulai dari terbit fajar yang benar sampai terbenam matahari selama bulan Ramadhan.
Puasa bulan Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam sebagaimana Rasulullah s.a.w. bersabda: (Islam berdiri atas lima: Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan menegakkan shalat, dan memberikan zakat, dan puasa Ramdhan, dan haji ke Baitullah).
Ayat di atas diakhiri dengan isyarat kepada hikmah dari fardhu puasa bulan Ramadhan atas hamba-hamba-Nya yang beriman yaitu meraih ketakwaan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman di akhir ayat: {agar kamu bertakwa}.
Takwa adalah beriman dengan sebaik-baiknya keimanan kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-nya, hari kiamat, dan kepada qadr yang baiknya maupun yang buruknya, dengan tunduk berubudiah hanya kepada Allah Ta’ala, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada yang menandingi-Nya, tidak ada yang mendampingi-Nya, tidak mempunyai isteri dan tidak pula mempunyai anak.
Takwa diekspresikan dengan takut kepada Allah Ta’ala, mengamalkan segala iapa yang diturunkan dalam Al Qur’an, dan bersiap siaga untuk menghadapi kematian. Itulah tiga perkara yang yang harus disadari dengan sebaik-baiknya oleh setiap manusia yang berakal, karena jika dia lalai dari semua itu niscaya umurnya dilaluinya dengan sia-sia dan berjumpa dengan Allah Ta’ala tanpa timbangan kebaikan sedikitpun.
Berpuasa adalah menahan diri dari makan dan minum dan selain dari itu mulai dari terbit fajar yang hakiki sampai terbenam matahari dengan niat.
Macam-macam puasa:
1-      Puasa wajib yaitu puasa bulan Ramadhan dan merupakan salah satu rukun Islam.
2-      Puasa kafarat dan puasa nazar.
3-      Puasa sunah di antaranya puasa di bulan Muharram (diutamakan pada tanggal 9 dan 10 Muharram, puasa di bulan-bulan haram yaitu Dzulqaidah, dzulhijjah, dan Rajab, puasa di bulan Sya’ban (terutama di pertengahan awal bulan Sya’ban yang dikenal dengan Nisfu Sya’ban, puasa Senin dan Kamis dari tiap pekan, puasa tiga hari dalam tiap bulan (disunahkan pada tanggal 13 sampai 15 dari tiap bulan qamariah). Demikian pula disunahkan puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) bagi orang yang tidak menunaikan manasik haji, puasa 6 hari dari bulan Syawal, dan puasa satu hari dan iftar satu hari sebagaimana dilakukan dahulu oleh nabi Daud a.s. dan dipuji oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya: (Shalat yang paling disukai pada sisi Allah adalah shalat Daud dan puasa yang paling disukai pada sisi Allah adalah puasa Daud dimana dia tidur setengah malam dan bangun sepertiganya dan tidur seperenamnya dan dia berpuasa satu hari dan iftar satu hari).
Waktu-waktu yang di dalamnya puasa itu dibenci:
Puasa di hari Jum’at, puasa pada hari para penganut agama-agama yang lain sedang menjalani puasa, dan menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadhan.
Waktu-waktu puasa itu diharamkan:
Puasa pada Hari Raya (Idul Firti dan Idul Adha), puasa pada hari-hari tasyriq, puasa siang-malam, puasa terus-menerus, dan puasa berdiam tanpa bicara, dan puasa sunah seorang isteri tanpa izin suaminya.
Puasa Ramadhan diwajibkan oleh Allah Ta’ala atas setiap muslim, baligh, akil, bebas, sehat, dan bermukim. Barangsiapa di antara kaum muslimin yang memenuhi persyaratan tersebut, maka hendaklah dia berpuasa sebagai bentuk kepatuhan dan ketaatan kepada perintah-perintah Allah Ta’ala, sedang kaum perempuan muslimat harus bersih dari haid dan nifas.
Oleh karena itu jika satu dari persyaratan puasa tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah kewajiban puasa. Karena itu tidak ada kewajiban puasa atas seorang yang kafir, seorang yang gila, seorang anak kecil kecuali jika sekedar mendidiknya untuk berpuasa, seorang yang sakit, seorang yang sedang dalam perjalanan, seorang renta usia, seorang perempuan yang sedang haid, seorang perempuan yang sedang nifas, seorang perempuan yang sedang mengandung, dan seorang yang sedang menyusui jika dia merasa bahwa puasanya akan membahayakan janinnya atau bayinya yang sedang disusuinya atau atas dirinya sendiri.
Pada sebagian kasus diwajibkan berbuka kemudian mengqadha yaitu berpuasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Pada sebagian kasus yang lain diutamakan berbuka dan diwajibkan membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin, atau diwajibkan qadha dan fidiyah sesuai dengan pendapat para ahli fikih.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui}.[5]
Puasa Ramadhan adalah dalam beberapa hari yang tertentu yaitu antara 29-30 hari, namun demikian diampuni dari kewajiban puasa Ramadhan bagi masing-masing dari orang-orang yang sakit sampai mereka sembuh, orang-orang yang sedang dalam perjalanan sampai mereka kembali ke tempat mereka bermukim. Hal itu adalah kemudahan dari Allah semesta alam.
Ayat di atas tidak menentukan jenis penyakit dan perjalanan yang diampuni dari kewajiban puasa Ramadhan dan pertimbangannya diserahkan kepada orang yang menjalaninya, namun diwajibkan bagi orang yang sakit itu mengkadhanya ketika dia sembuh, dan orang yang dalam perjalanannya ketika dia bermukim.
Tentang hal itu Rasulullah s.a.w. bersabiida: (Shalat diberi kemudahan bagi seorang yang dalam perjalanan, dan dirukhsahkan baginya untuk berbuka dan dirukhsahkan didalamnya bagi orang yang sedang menyusui dan orang yang sedang mengandung jika mereka berdua khawatir atas anak-anak mereka berdua).[6]
   Puasa Ramadhan diwajibkan dalam Al Qur’an Al Karim, Sunnah Nabi, dan Ijma’. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. memperingatkan orang yang berbuka tanpa alasan syar’i seraya bersabda: (Barangsiapa berbuka satu hari dari bulan Ramadhan selain rukhsah yang dirukhsahkan Allah Ta’ala kepadanya, maka Allah tidak akan menerima darinya qadha puasa zaman semuanya walau dia menjalaninya).[7]     
 Di antara makna-makna ayat di atas bahwa orang-orang yang mendapati keberatan dalam menjalankan puasa seperti tua renta, perempuan yang sedang menyusui dan sedang mengandung jika keduanya khawatir atas diri mereka atau atas diri anak-anak mereka, maka hendaknya mereka berbuka dan membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin dalam satu hari, namun Allah Ta’ala lebih menyukai orang yang memberi makan lebih dari seorang miskin dalam satu hari.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya}.[8]
Kemudian Allah Ta’ala lebih menyukai orang yang menjalankan puasa dengaiin situasi yang berat tetapi tidak dalam perjalanan dan tidak pula dalam keadaan sakit.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui}.[9] Hal itu karena puasa Ramadhan mendatangkan banyak kebaikan.
Oleh karena itu diberikan kemudahan kepada kaum tua renta, kaum perempuan yang sedang menyusui dan sedang mengandung jika mereka khawatir atas diri mereka atau atas diri anak-anak mereka, orang-orang yang sedang sakit, dan orang-orang yang bekerja berat yang tidak mendapati nafkah rezeki kecuali dari jenis pekerjaan berat itu dan membuat mereka tidak sanggup menjalankan puasa, dan berat bagi mereka untuk mengqadhanya dalam bulan-bulan yang lain. Mereka semuanya diberi kemudahan oleh syariat Islam untuk berbuka dalam bulan Ramadhan dengan masing-masing dari mereka membayar fidyah yaitu memberi makan seorang atau lebih dari satu orang miskin dalam satu hari sesuai dengan kemampuannya.
Imam Malik dan Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa jika mereka tidak sanggup memberi makan seorang miskin dalam satu hari, maka tidak ada qadha dan tidak pula fidyah.
Ibnu Abbas r.a. berkata: (Diberi kemudahan bagi seorang tua renta untuk berbuka dan memberi makan tiap hari seorang miskin dan tiada qadha atasnya).[10]  
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa seorang perempuan yang sedang menyusui dan sedang mengandung jika keduanya khawatir atas diri mereka berdua atau atas diri anak-anak mereka berdua, maka mereka berdua diberi kemudahan oleh syariat Islam untuk berbuka dalam bulan Ramadhan dengan masing-masing dari mereka berdua membayar fidyah yaitu memberi makan seorang atau lebih dari satu orang miskin dalam satu hari sesuai dengan kemampuannya, namun mereka berdua tidak diperbolehkan mengqadhanya.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa mereka berdua hanya diwajibkan mengqadha dan tidak diwajibkan berfidyah walau satu di antara mereka berdua ada yang mampu secara materi untuk mengqadha dan berfidyah.
Adapun seorang yang sedang sakit dan seorang yang dalam perjalanan, maka mereka berdua diperbolehkan untuk berbuka di bulan Ramadhan dan diwajibkan bagi keduanya untuk mengqadha.
Perjalanan yang dibolehkan untuk berbuka adalah perjalanan yang oleh sebabnya shalat diqasharkan dan jangka waktu berdiam yang dibolehkan di dalamnya shalat diqasharkan.
Para ahli fikih sepakat bahwa diwajibkan bagi seorang perempuan yang sedang haid dan seorang yang sedang nifas untuk berbuka dan diharamkan bagi mereka berdua berpuasa, dan diwajibkan bagi masing-masing dari mereka berdua untuk berpuasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.
Dari pemaparan di atas menjadi jelaslah mu’jizat Al Qur’an Al Karim terkait dengan diwajibkannya berpuasa di bulan Ramadhan dan terkait dengan toleransi ketetapan Islam dalam menjadikannya:
Pertama: Dalam beberapa hari yang tertentu yaitu bulan Ramadhan dan tidak menjadikannya seumur hidup karena jika demikian makan pelaksanaannya menjadi mustahil.
Kedua: Menaruh secara rinci penerapan perintah berpuasa itu sesuai dengan keadaan setiap manusia, maka diampuni dari kewajiban berpuasa Ramadhan kepada orang-orang yang sakit sampai mereka sembuh, orang-orang yang sedang dalam perjalanan sampai mereka bermukim, namun mereka diwajibkan untuk berpuasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.
Diampuni pula dari kewajiban berpuasa kepada kaum tua renta, dan orang-orang yang bekerja berat yang tidak mendapati nafkah rezeki kecuali dari jenis pekerjaan berat itu dan membuat mereka tidak sanggup menjalankan puasa. Mereka diberi kemudahan oleh syariat Islam untuk berbuka dalam bulan Ramadhan dengan masing-masing dari mereka berusaha untuk membayar fidyah yaitu memberi makan seorang atau lebih dari satu orang miskin dalam satu hari sesuai dengan kemampuannya dan jika mereka tidak mampu maka mereka tidak diwajibkan untuk mengqadha dan tidak pula untu berfidyah.
Demikian pula seorang perempuan yang sedang menyusui dan seorang perempuan yang sedang mengandung jika mereka khawatir atas diri mereka atau atas diri anak-anak mereka, maka mereka dibolehkan untuk berbuka, dan masing-masing dari mereka untuk mengqadha atau berfidyah atau keduanya jika mereka mampu untuk itu.
Walau ada kemudahan tersebut tetapi dua ayat itu (ayat 183-184 surat Al Baqarah) diakhiri dengan firman Allah Ta’ala: {Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui}.[11] Maka adakah ketetapan hukum yang serinci firman Allah Tuhan semesta alam.


[1] Surat Al Baqarah: 184
[2] Surat Al Baqarah: 183
[3] Surat Al Baqarah: 183i
[4] Hadis riwayat Ibnu Abi Hatim.
[5] Surat Al Baqarah: 184
[6] Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Tarmizi, dan An Nisaa’i
[7] Hadis riwayat Abu Daud, Tarmizi, dan Ibnu Majjah.
[8] Surat Al Baqarah: 184
[9] Surat Al Baqarah: 184
[10] Hadis takhrij Addaruqutnii dani Hakim.
[11] Surat Al Baqarah: 184

Tidak ada komentar:

Posting Komentar