Rabu, 13 Februari 2013

Arab dan kekosongan kekuatan adalah sumber perseteruan di Timur Tengah

          Dunia Arab nyaris tidak pernah memperlihatkan kesetiakawanan dan solidaritas terhadap perkembangan-perkembangan besar regional dan internasional. Sejak runtuhnya kesultanan Ottoman, Dunia Arab selalu mengalami berbagai macam tantangan dan perkembangan. Di masa Perang Dingin antara Moskwa dan Washington, Amerika Serikat memandang kepada kawasan Arab sebagai kawasan kosong kekuatan (power vacuum) yang mempermudah penyusupan pengaruh Uni Soviet.
Pada hakikatnya kekosongan kekuatan ini merupakan dampak dari adanya poros-poros Arab yang saling bertentangan satu dengan yang lain, yang pada gilirannya menyebabkan pengosongan kandungan Liga Arab yang bertujuan untuk menjadikan kawasan Arab sebagai kawasan yang setiakawan, solidaritas, dan bahu-membahu untuk menghadapi tantangan-tantangan dari luar. Jika kawasan Arab di kala itu bersatu-padu dalam menghadapi tiap tantangan yang datang dari luar, niscaya kawasan ini tidak terlihat di mata Amerika Serikat sebagai kawasan yang mengeluhkan kekosongan kekuatan yang membahayakan kepentingan Amerika Serikat.
Sangat disayangkan bahwa pasca runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin situasi di Dunia Arab tidak berubah bahkan beralih dari buruk menjadi lebih buruk, tatkala regime Irak menyerbu negara Kuwait, lalu Dunia Arab sekali lagi berbeda pendapat di antara mereka, yang pada gilirannya menyebabkan hadirnya kekuatan-kekuatan militer Barat di jantung kawasan Arab. Kekosongan kekuatan inilah yang mempermudah negara Israel untuk terus-menerus mengabaikan hak-hak rakyat Palestina sejak lebih dari setengah abad.
          Sesungguhnya pembentukan Liga Arab merupakan karya pelopor dalam kerangka pembangunan kembali dunia pasca Perang Dunia Kedua. Liga Arab adalah organisasi regional komprehensif pertama yang bertujuan untuk memadukan seluruh negara-negara Arab yang disatukan oleh bahasa, budaya, dan sejarah. Hal itu jauh sebelum pembentukan organisasi-organisasi regional lain seperti ASEAN, Uni Eropa dan lainnya yang bermunculan sejak 60-an abad duapuluh dan menjadi salah satu pilar terpenting dari gerakan globalisasi, perkembangan, dan stabilitas di Asia, Eropa, dan Amerika.
          Sementara organisasi-organisasi regional di kawasan-kawasan lain melangkah maju untuk membuktikan keberadaan ekonomi dan politik mereka dalam kancah dunia, Liga Arab justeru melangkah mundur sehingga Dunia Arab kini dianggap sebagai salah satu kawasan yang paling tidak padu dan paling sedikit peranannya dalam kebangkitan teknologi dan riset, bahkan dianggap sebagai sumber kekacauan di kancah internasional karena banyaknya perseteruan, tindakan kekerasan, dan ekspor terorisme ke kawasan-kawasan lain di dunia.
          Sebagaimana halnya pada dekade 50-an abad duapuluh Dunia Arab dengan kekosongan kekuatannya telah mendatangkan campurtangan Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam urusan mereka, kini merekapun dengan berbagai perpecahan, poros, kutub dan kebijakan yang ambivalen mendatangkan campurtangan Amerika Serikat, Israel, dan Iran dalam urusan mereka.
          Benar bahwa bangsa Arab telah memperlihatkan pencapaian-pencapaian yang tidak dapat diabaikan terutama solidaritas keamanan, politik dan ekonomi yang dicapai oleh negara-negara Teluk dalam kerangka pembentukan Dewan Kerjasama Teluk pasca keberhasilan proses pembentukan Uni Arab Emirat dan keberhasilan persatuan Yaman Selatan dan Yaman Utara. Benar pula bahwa negara-negara Dewan Kerjasama Teluk telah memperlihatkan perkembangan ekonomi yang signifikan dari kekayaan minyak bumi mereka yang berlimpah, namun pencapaian-pencapaian tersebut disertai dengan kegagalan-kegagalan yang signifikan seperti jumlah buta huruf dan pengangguran yang tinggi di banyak negara Arab, yang mendorong generasi muda untuk bergabung dengan partai-partai atau kekuatan-kekuatan radikal, atau berusaha untuk hijrah ke luar negeri. Lebih dari itu sebagian negara Arab mulai berlindung pada kekuatan-kekuatan dari luar dan bersekutu dengan mereka secara militer untuk mengamankan kemananan dalam negeri mereka, dengan itu menegaskan bahwa kekosongan kekuatan masih berlanjut hingga kini di kawasan Arab. Apalagi partisipasi Dunia Arab dalam gerakan globalisasi, inovasi teknologi, dan penemuan ilmiah sangat lemah.  
          Pertanyaannya sampai kapankah Dunia Arab berada dalam situasi seperti ini? Tidakkah mereka menyadari bahwa stabilitas keamanan dan perdamaian dengan Israel merupakan tangungjawab mereka bukan tanggungjawab kekuatan-kekuatan luar seperti Iran, Amerika Serikat atau Israel?
Kekuatan-kekuatan luar itu mengeksploitasi kekosongan kekuatan di Dunia Arab akibat ketiadaan visi bersama di antara mereka dalam menentukan nasib bersama. Pada hakikatnya ketiadaan visi bersama ini bukanlah sesuatu yang baru. Negara-negara Arab, yang bermunculan sejak runtuhnya kesultanan Ottoman pada akhir Perang Dunia Pertama, mulai bersaing satu dengan yang lain sejak kelahirannya. Ketimbang melakukan kebijakan kelembagaan di bawah kerangka Liga Arab untuk mengambil satu sikap terhadap perkembangan-perkembangan regional dan internasional, mereka malah saling menjauh dan saling bersaing satu dengan yang lain, bukan saja dalam menjalin persekutuan dengan kekuatan-kekuatan luar, namun juga dalam mengembangkan tata kelola politik dan ekonomi dalam negeri mereka. Ditambah lagi dengan pecahnya perang saudara seperti di Lebanon, Yaman, Sudan dan Irak, dan banyaknya konflik antara negara Arab dengan negara Arab yang lain sampai-sampai sebuah negara Arab menginvasi negara Arab yang lain.
Anehnya pers Arab mengadopsi pandangan Amerika Serikat yang membagi negara-negara Arab ke dalam dua kelompok yaitu negara-negara moderat yang dimungkinkan berurusan dengannya dari satu sisi, dan negara-negara radikal yang harus diembargo dan diganti pemerintahannya dari sisi yang lain.
Pada hakikatnya pandangan Amerika Serikat tersebut merupakan pengulangan dari pandangannya pada tahun 60-an dan 70-an abad duapuluh. Amerika Serikat di kala itu melihat bahwa negara-negara Arab dibagi ke dalam dua kelompok yaitu negara-negara moderat dan front radikal dalam konteks konflik Arab-Israel dan Perang Dingin yang juga menerpa kawasan Arab. Masuk dalam kelompok front radikal adalah Syria, Irak, Lybia, dan Aljazair, sedangkan masuk dalam kelompok negara-negara moderat adalah Mesir, Yordania, Saudia Arabia, dan negara-negara Teluk yang lain. Pembagian ini terjadi pasca penandatangan perjanjian damai antara Mesir dan Israel di Camp David tahun 1978 setelah Presiden Mesir Anwar Saddat berkunjung ke Jerussalem dan berpidato di depan Kneest Israel. Front radikal banyak berlindung pada Uni Soviet dalam pengadaan persenjataan mereka dan dalam perolehan bantuan-bantuan ekonomi mereka. Sementara negara-negara moderat sepenuhnya berlindung pada Amerika Serikat dalam perancangan kebijakan-kebijakan luar negeri mereka dan dalam pengambilan pola pengembangan dalam negeri mereka.
          Dunia Arab mengalami perpecahan yang lebih dahsyat ketika revolusi Iran meletus dan kemudian Irak masuk dalam perang yang sia-sia lawan Iran. Pada saat itulah Liga Arab kehilangan efektifitasnya. Demikian pula front radikal mulai melemah kemudian lenyap bersamaan dengan putusnya hubungan mesra antara Syria dengan Irak dan menjauhnya Aljazair dan Maroko dari negara-negara Arab yang lain. Pada akhirnya lenyapnya front radikal itu mengantarkan bangsa Arab, sejak Konferensi Tingkat Tinggi di Faz-Maroko, kepada kesepakatan untuk menerima perdamaian dengan Israel sebagai pilihan strategis dan kemudian Mesir kembali ke Liga Arab. Semua itu bukan berari bahwa kesetiakawanan telah kembali ke negara-negara Arab, karena Dunia Arab tetap terpecahbelah, yang pada gilirannya mendukung munculnya sebuah malapetaka dahsyat yang tercermin dalam penyerbuan tentara Irak ke negara Kuwait. Dengan demikian bangsa Arab membuktikan sekali lagi betapa mereka tidak mampu untuk mengamankan stabilitas kawasan mereka sendiri dan melarang campurtangan pihak-pihak luar. Amerika Serikatlah yang berinisiatif dengan kekuatan militernya untuk membebaskan negara Kuwait dan menyebarkan tentaranya di Teluk Arab yang pada gilirannya membuka jalan bagi invasi ke Irak tahun 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar