Rabu, 13 Februari 2013

Di antara rahasia-rahasia Al Qur’an Al Karim
Kiblat Islam
         
Allah Ta’ala berfirman: {Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan}.[1]
Ayat di atas adalah ayat 144 dari surat Al Baqarah, surat Madaniyyah, jumlah ayat-ayatnya adalah 286 ayat setelah basmalah, dan merupakan surat terpanjang dalam Al Qur’an Al Karim.
Surat ini dinamai Al Baqarah (Sapi Betina) karena di dalamnya ada isyarat kepada mu’jizat yang diberikan oleh Allah Ta’ala pada hamba-Nya dan nabi-Nya Musa putera Imran a.s. tatkala seseorang dari kaumnya mati dibunuh sedang pembunuhnya belum diketahui, maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada hamba-Nya Musa a.s. agar dia memerintahkan kaumnya untuk menyembelih seekor sapi betina dan memukul tubuh orang yang terbunuh itu dengan potongan dari sapi betina yang disembelih itu, niscaya dia akan hidup dengan izin Allah lalu dia memberitahu siapa pembunuhnya kemudian setelah itu mati. Hal itu sebagai bentuk pembenaran kepada kemahakuasaan Allah Ta’ala akan segala sesuatu.
Pusaran utama surat Al Baqarah berbicara tentang persoalan ketetapan hukum Islam, tentang ibadah, akhlak dan mu’amalat, dan juga bercerita tentang pilar-pilar akidah Islam, dan kisah-kisah nabi-nabi dan umat-umat terdahulu.
Dalam artikel ini kita fokus pada hikmah pengalihan kiblat ke arah Ka’bah sebagai salah satu syarat dari syarat-syarat benarnya shalat, dan tidak sahnya shalat seorang muslim tanpa menghadap ke arah kiblat kecuali dalam shalat takut, dan shalat dalam kendaraan atau kapal laut atau kapal terbang.
Hal itu sesuai dengan perintah Allah Ta’ala kepada Rasulullah s.a.w.: {Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan}.[2]
          Di antara mu’jizat-mu’jizat tasyri’i penghadapan shalat ke arah Ka’bah:
Pertama: Kepastian perlunya persatuan kaum muslimin dan perpaduan sikap mereka dari ketauhidan kepada Allah Ta’ala tanpa sekutu, seteru, pendamping, dan tanpa seorang anak. Dan sebagaimana Baitulmakmur adalah kiblat bagi penduduk langit, maka Baitulatiq (Ka’bah) adalah kiblat bagi penduduk bumi.
Kedua: Ka’bah adalah rumah yang mula-mula dibangun bagi umat manusia di muka bumi dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala dimana Allah perintahkan kepada para malaikat-Nya untuk membangunnya milyaran tahun sebelum penciptaan bapak kita Adam a.s.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia}.[3]
Dan Rasulullah s.a.w. bersabda: (Yang pertama bertawaf di Baitulatiq (Ka’bah) adalah para malaikat).[4]
Ketiga: Oleh karena itu Allah Ta’ala menetapkan hukum wajib haji ke Baitulatiq (Ka’bah) sebagai salah satu rukun Islam bagi setiap muslim yang baligh, akil, bebas dan mampu, walau sekali dalam seumur hidup.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam}.[5]
Keempat: Ayat-ayat Al Qur’an Al Karim memastikan bahwa bola dunia adalah pusat dari alam semesta.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan}.[6]
Dan terdapat 20 ayat dalam Al Qur’an Al Karim yang menyebutkan pemisahan antara langit dan bumi di antaranya firman Allah Ta’ala: {Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?}.[7]
Penyebutan itu tidak mungkin terjadi kecuali jika bumi adalah pusat dari langit yang tujuh dan pusat dari alam semesta. Dan Ka’bah adalah pusat dari bola dunia.
Kelima: Ka’bah telah mengalami peruntuhan beberapa kali setelah pembangunannya yang pertama sehingga Allah Ta’ala pada masa Nabi Ibrahim a.s. memerintahkan nabi-Nya untuk meninggikan dasar-dasar Ka’bah, mengizinkan umat manusia untuk menunaikan ibadah haji kepada mereka, dan mensucikannya bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud, maka Nabi Ibrahim a.s. mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya oleh Allah Ta’ala.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang}.[8]
Dan firman-Nya: {Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)}.[9]
Keenam: Sesungguhnya tuanya umur ibadah haji memastikan kesucian Ka’bah. Allah Ta’ala telah mensyari’atkan ibadah haji kepada bapak kita Nabi Adam a.s. sebagaimana juga telah mensyari’atkannya kepada anak cucunya sepeninggalnya dan kepada seluruh nabi dan rasul yang diutus untuk menunjuki umat manusia ke jalan yang benar. Sebagaimana telah diteguhkan dalam hadis-hadis Rasulullah s.a.w. bahwa para nabi dan rasul dan selain mereka dari orang-orang yang saleh semuanya pernah datang ke Makkah Al Mukaramah untuk menunaikan manasik haji dan umrah. Di antara hadis-hadis itu Rasulullah s.a.w. bersabda: (Tidaklah ada seorang nabi dari para nabi dan tidak pula seorang rasul dari para rasul kecuali dia telah berhaji ke Baitulraham (Ka’bah)).[10]
Ketujuh: Di antara keutamaan-keutamaan daerah Haram (tanah suci) sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim adalah barangsiapa yang masuk ke dalamnya maka dia berada dalam keadaan aman, tidak demikian halnya dengan tempat lain di muka bumi. Daerah Haram tetap menjadi tempat yang aman sepanjang masa, sekalipun pada zaman Jahiliah tatkala bangsa Arab telah lupa pada ajaran Nabi Ibrahim a.s. dan puteranya Ismail a.s., ketika mereka menyimpang dari ketauhidan kepada Allah dan menyembah patung dan berhala. meskipun demikian Ka’bah tetap menjadi tempat yang aman dan mendapatkan perlindungan dari sisi mereka. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui}.[11]
Kedelapan: Di antara keagungan Ka’bah adalah bahwa Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang melanggar kesuciannya dengan siksa yang pedih sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih}.[12]
Rasulullah s.a.w. bersabda:
(Sesungguhnya Makkah itu telah disucikan oleh Allah sedang dia tidak pernah disucihkan oleh manusia).[13]
(Sesungguhnya negeri ini telah disucikan oleh Allah sejak penciptaan langit dan bumi, tidak dicabut durinya, dan tidak disembelih hewan buruannya, dan tidak dipetik buah-buahannya kecuali yang patut dipetik).[14]
(Tidak dibenarkan bagi seseorang manusia untuk memikul senjata di Makkah).[15]
(Tidak ada penumpah darah di Makkah dan tidak ada pula pemakan riba).[16]
(Yang pertama bertawaf di Baitulatiq (Ka’bah) adalah para malaikat).[17]
(Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid yang lain, kecuali Masjidilharam maka sesungguhnya shalat di dalamnya sama dengan seratus ribu shalat di tempat yang lain, sedang shalat di dalam Masjidilaqsha sama dengan limaratus shalat di tempat yang lain).[18]
 (Umat ini tetap akan berada dalam keadaan baik jika mereka mengangung-agungkan Ka’bah dengan sebaik-baiknya karena jika mereka menyia-nyiakan itu niscaya mereka binasa).[19]
Rasulullah s.a.w. bersabda tentang Makkah Al Mukaramah: (Demi Allah sesungguhnya engkau (Makkah Al Mukaramah) adalah bumi Allah yang terbaik, dan bumi Allah yang paling dicintai oleh Allah, dan jikalau saja aku tidak diusir darimu niscaya aku tidak pernah keluar).[20]
(Tidak ada satu negeripun yang tidak ditapaki oleh Dajjal kecuali Makkah dan Madinah).[21]
Hadis-hadis di atas adalah penafsiran bagi firman Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya: {Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Makkah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri}.[22]
Dari sinilah Rasulullah s.a.w. tatkala berada di Makkah Al Mukaramah di tengah-tengah kaum musyrikin menghadap dalam shalat ke arah Ka’bah dan Baitulmaqdis. Dan tatkala dia hijrah ke Madinah di tengah-tengah kaum Yahudi dan Nasrani maka Allah Ta’ala perintahkan kepadanya untuk shalat menghadap ke arah Baitulmaqdis selama enambelas bulan, untuk meneguhkan kesatuan risalah langit dan persaudaraan antara para nabi, dan untuk menjelaskan yang teguh dari yang ragu. Dan karena pengetahuannya tentang keutamaan Makkah Al Mukaramah dari tempat-tempat yang lain di muka bumi maka dia patuh pada perintah Allah Ta’ala untuk mengalihkan arah kiblat ke Masjidilharam, sebagaimana firman Allah Ta’ala: {Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya}.[23]
Allah Ta’ala telah memberitahukan kepada Rasul-Nya tentang apa yang akan dikatakan oleh orang-orang yang kurang akal dari kaum kafir dan kaum musyrikin tentang pengalihan kiblat sebelum perintah untuk itu diturunkan. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitulmaqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia}.[24]
Berita pengalihan arah kiblat itu adalah termasuk di antara kemu’jizatan Al Qur’an dan merupakan kesaksian atas kebenaran kenabian Muhammad s.a.w.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa sesungguhnya dia berkata: Tatkala Nabi s.a.w. menghadap ke arah Ka’bah, maka mereka bertanya: Hai Rasulullah, bagaimana halnya dengan saudara-saudara kita yang mati sedang mereka dahulu shalat ke arah Baitulmaqdis? Maka Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: {Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu}. Yaitu shalat mereka.
Pengalihan kiblat oleh perintah Allah Ta’ala adalah untuk menguji keimanan orang-orang yang beriman, membersihkan barisan mereka dari orang-orang yang munafik, meneguhkan kesatuan risalah langit, persaudaraan antara para nabi, dan kesucian Makkah Al Mukaramah dan keutamaannya atas seluruh tanah di muka bumi.
Dari sini maka pengarahan ke kiblat adalah salah satu kewajiban shalat yang tidak dibenarkan tanpanya. Setiap muslim yang ingin shalat jika dia tidak tahu arah kiblat hendaknya bertanya kepada orang yang dapat menunjukkannya ke arah kiblat. Jika dia tidak menemui orang yang dapat menunjukkannya ke arah kiblat maka hendaknya dia berijtihad sekuat tenaga. Sementara itu shalatnya sah walau dia tahu setelah selesai shalat bahwa arah kiblatnya tidak benar, namun demikian dia tidak perlu mengulang shalatnya. Tetapi jika dia tahu kesalahannya pada waktu sedang shalat maka hendaknya dia memutarkan dirinya ke arah kiblat yang benar tanpa harus memutuskan shalatnya. Hal itu bersadarkan pemutaran Rasulullah s.a.w. dari arah Baitulmaqdis ke arah Makkah tatkala wahyu tentang itu datang kepadanya di masjid Quba, lalu jema’ah yang shalat di belakangnya juga mengikuti pemutaran arah kiblat itu. Dan syarat arah kiblat tidak akan gugur kecuali dalam shalat dalam kendaraan, shalat seorang yang sakit, dan shalat seorang yang dalam keadaan takut.


[1] Surat Al Baqarah: 144
[2] Surat Al Baqarah: 144
[3] Surat Ali Imran: 96
[4] Hadis riwayat Ahmad.
[5] Surat Ali Imran: 97
[6] Surat Ar Rahman: 33
[7] Surat Maryam: 65
[8] Surat Al Baqarah: 127-128
[9] Surat Al Hajj: 26-29
[10] Hadis riwayat Al Tabari.
[11] Surat Al Qashash: 57
[12] Surat Al Hajj: 25
[13] Hadis riwayat Bukhari
[14] Hadis riwayat Bukhari dan Ahmad
[15] Hadis riwayat Muslim
[16] Hadis riwayat Ahmad
[17] Hadis riwayat Ahmad.
[18] Hadis riwayat Muslim
[19] Hadis riwayat At Tabrani
[20] Hadis riwayat Ahmad
[21] Hadis Mutafak alaihi
[22] Surat An Naml: 91
[23] Surat Al Baqarah: 144
[24] Surat Al Baqarah: 142-143

Tidak ada komentar:

Posting Komentar