Rabu, 13 Februari 2013

Di antara rahasia-rahasia Al Qur’an Al Karim

          Allah Ta’ala berfirman: {Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah}.[1]
          Empat ayat di atas adalah empat ayat pertama surat Al Muddatstsir, yaitu surat makkiyyah, dan ayat-ayatnya berjumlah 56 ayat setelah basmalah.
          Surat Al Muddatstsir termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, terdiri atas 56 ayat. Dinamai Al Muddatstsir (orang yang berselimut) diambil dari perkataan Al Muddatstsir yang terdapat pada ayat pertama surat ini.
Surat ini berkisar sekitar perintah untuk mulai berdakwah mengagungkan Allah di antaranya peringatan kepada manusia dari azab akhirat jika mereka tidak beriman kepada Tuhan mereka, jika mereka tidak menyembah-Nya , membersihkan pakaian, menjauhi maksiat, memberikan sesuatu dengan ikhlas dan bersabar dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Allah akan mengazab orang-orang yang menentang Nabi Muhammad s.a.w. dan mendustakan Al Qur’an. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang telah ia usahakan.
Kemudian ayat-ayat surat Al Muddatstsir beralih untuk berbicara tentang seorang kafir Mekah, pemimpin Quraisy bernama Al Walid bin Mughirah, yang pendengarannya kepada Al Qur’an Al Karim telah menggetarkan hatinya sehingga dia mengakui bahwa Al Qur’an itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya, dan bahwa Al Qur’an itu tidak mungkin buatan manusia. Namun kecintaannya kepada kepemimpinannya pada kaumnya telah mendorongnya untuk mengingkari pengakuannya tersebut selang beberapa lama kemudian, sampai pada batas mendustakan Al Qur’an Al Karim dengan perkataannya bahwa Al Qur’an itu tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari dari orang-orang dahulu. Oleh karena itu ayat-ayat dalan surat Al Muddatstsir memaparkan ambivalensi ketetapannya sembari mengancamnya masuk neraka Jahannam dan azabnya sebagai hukuman baginya atas pendustaannya dan peralihannya dari kebenaran.
Demikian pula ayat-ayat dalam surat Al Muddatstsir mengancam seorang kafir yang lain yaitu Abu Jahal Amru bin Hisyam yang menganggap sedikit jumlah malaikat penjaga neraka sebagaimana disampaikan dalam Al Qur’an Al Karim namun dia tetap memperolok-olok dan mengejek-ejek itu, maka ayat-ayat dalam surat Al Muddatstsir membalasnya dengan bersumpah demi bulan, dan malam ketika telah berlalu, dan subuh apabila mulai terang, maka kegelapan malam mulai terang dengan cahayanya, dan sesungguhnya neraka itu adalah salah satu bencana yang amat besar, dan tiap-tiap diri yang berkehendak akan maju menerima peringatan atau mundur tidak mau menerima peringatan dengan perbuatannya.
Surat Al Muddatstsir diakhiri dengan penegasan bahwa tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya di dunia dan tidak akan lepas dari itu sehingga dia menunaikan hak-haknya kecuali golongan kanan dari hamba-hamba Allah yang membebaskan diri mereka dari neraka Jahannam dengan beriman kepada Allah, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga tempat tinggal yang kekal.
Ayat-ayat tersebut menontarkan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam suatu dialog hidup bersama orang-orang yang berdosa dari orang-orang kafir dan musyrik dari penduduk neraka Jahannam, maka orang-orang yang berdosa itu memjawab pertanyaan-pertanyaan mereka bahwa mereka dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, tidak pula memberi makan orang miskin, membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan mendustakan hari pembalasan sehingga datang kepada mereka kematian.
Kemudian ayat-ayat itu diakhiri dengan firman Allah Ta’ala: {Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?, seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari daripada singa. Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka. Sekali-kali tidak. Sebenarnya mereka tidak takut kepada negeri akhirat. Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya Al Quran itu adalah peringatan. Maka barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (Al Quran). Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun}.[2]
Di antara sisi-sisi mu’jizat tasyri’i Al Qur’an Al Karim dalam kaitannya dengan surat Al Muddatstsir adalah surat tersebut dimulai dengan panggilan dari Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad s.a.w. yang menyuruhnya untuk memberikan peringatan kepada kaumnya kemudian peringatan kepada manusia seluruhnya tentang kemestian kematian setelah kehidupan dunia termasuk di dalamnya hari pembangkitan, penghimpunan, penghisaban, dan pembalasan dengan kekal di surga atau di neraka, kemudian peringatan kepada manusia seluruhnya dari menyia-nyiakan kesempatan untuk taat kepada Allah di dunia demi meraih keberhasilan di dalamnya dan agar selamat dari kedahsyatan akhirat dengan fadhilah dari Allah Ta’ala dan rakmat-Nya.
          Kemudian ayat-ayat tersebut mengarahkan Rasulullah s.a.w. untuk mengagungkan Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya, yang meneguhkan makna keilahian dan makna ketauhidan, yang merupakan salah satu tiang akidah Islam, dan termasuk di antara kapasitas untuk menegakkan kewajiban-kewajiban berdakwah kepada agama Allah, karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi oelh orang-orang yang berdakwah kepada agama Allah membutuhkan adanya hakikat bahwa tiada daya dan kuasa dalam wujud ini kecuali Allah Ta’ala dan hal itu sebagian dari makna-makna mengagungkan Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al Muddatstsir: {Dan Tuhanmu agungkanlah}.[3]
          Kemudian ayat-ayat tersebut mengarahkan Rasulullah s.a.w. kepada kemestian seorang yang beriman untuk memperhatihan kebersihan, maka Allah Ta’ala menyuruhnya dengan berfirman kepadanya: {Dan pakaianmu bersihkanlah}.[4]
          Yang dimaksud dengan “taharah” atau “bersih” dalam ayat di atas adalah bersih inderawi dan bersih maknawi dari segala macam kotoran. “Bersih pakaian” dalam bahasa Arab adalah kiasan atas bersih secara menyeluruh dalam pakaian, badan, hati, akhlak, muamalat dan perilaku, karena Allah Ta’ala itu baik dan Dia tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik, maka setiap orang yang berdakwah kepada agama Allah hendaknya memperhatikan kebersihan yang menyeluruh itu jika dia menghendaki keberhasilan dalam tugasnya.
          Lawan kata “taharah” atau “bersih” adalah “najis” yaitu segala sesuatu yang kotor, baik kotor inderawi maupun kotor maknawi. Maka dosa itu adalah kotor maknawi karena menyekutukan Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini}.[5]
          Kata “najis” adalah segala sesuatu yang kotor, baik yang kotor itu sesuatu yang inderawi seperti darah, air seni dan yang semacamnya, atau sesuatu yang maknawi seperti dosa, kesalahan, dan yang semacamnya.
          “Wudhu” adalah pembersihan menghilangkan dosa-dosa kecil yaitu kotoran-kotoran maknawi. Wudhu adalah ibadah. Maksud dari ibadah tidak lain hanyalah tunduk dengan hati dan jiwa kepada Allah Ta’ala dalam bentuk yang Dia redhai dari hamba-hamba-Nya, karena pokok dalam ibadah adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya ketaatan, di dalamnya terdapat hikmah yang rasional dan rahasia yang jelas.
          Banyak manfaat dari ketetapan Allah Ta’ala tentang wudhu. Di antaranya manfaat inderawi seperti pembersihan anggota tubuh dari berbagai macam kotoran dan manfaat maknawi yaitu menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, walau ibadah itu dalam Islam merupakan kewajiban atas setiap muslim yang penegakannya semata-mata hanya kepada Allah Ta’ala, tanpa menunggu manfaat akibat penegakan ibadah itu.
          Bersih dalam Islam dengan dua sisinya yaitu bersih inderawi dan bersih maknawi meliputi bersih hati dan akal, bersih badan dan pakaian, dan bersih tempat dan tempat tidur.
         Bersih hati dan akal meliputi keyakinan yang baik. Hal itu dengan beriman kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia, beriman kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, dan kepada qadr yang baiknya maupun yang buruknya. Demikian pula meliputi peluputan Allah Ta’ala dari sifat-sifat hamba-hamba-Nya dan sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya, dan bahwa tiap-tiap keyakinan yang bertentangan dengan itu adalah salah satu contoh najis intelektual yang mengotori akal dan hati secara bersamaan, tercermin pada seluruh pemikiran, akhlak, muamalat dan perilaku, juga tercermin pada badan, pakaian, tempat, dan tempat tidur.
          Bersih inderawi meliputi wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan segala macam kotoran yang dengannya shalat menjadi sah. Oleh karena itu maka “bersih” secara syar’i adalah suatu sifat i’tibari yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala sebagai syarat bagi kesahihan shalat dan ibadah-ibadah yang lain seperti tawaf dan menyentuh kitab suci Al Qur’an Al Karim. Demikian pula bersih dijadikan sebagai syarat sebelum makan dan minum.
Allah Ta’ala mensyaratkan bersih badan, pakaian, dan tempat bagi kesahihan shalat setiap muslim dan muslimah dan bagi penghalalan makan makanan dan minum minuman.
Asal usul dari segala sesuatu adalah bersih selama belum terbukti najis dengan pembuktian. Najis itu adalah segala sesuatu yang kotor. Contoh-contoh najis itu banyak, seperti bangkai hewan darat, kotoran anak Adam, dan abu najis yang dibakar dengan api dan asapnya.
Menghilangkan najis dari seluruh badan orang yang menegakkan shalat, badannya, dan tempatnya adalah wajib kecuali jika dia diampuni dari kewajiban itu karena sesuatu hal. Najis dapat dihilangkan dengan air bersih.
Air bersih adalah air yang turun dari langit atau bersumber dari bumi, selama tidak berubah rasanya atau warnanya atau aromanya, dikarenakan salah satu sebab yang menghilangkan kebersihannya. Air bersih adalah air yang baik untuk keperluan-keperluan manusia seperti membersihkan badan dan pakaian dan menghilangkan najis inderawi, dan baik pula untuk membersihkan diri dalam rangka pelaksanan ibadah, maka wudhu dan mandi junub menjadi sah dengannya.
Air bersih diharamkan penggunaannya dalam wudhu atau mandi junub jika dimiliki oleh orang lain dan belum minta izin dari pemiliknya untuk menggunakannya, atau merupakan air sabil untuk diminum oleh khalayak ramai, atau jika penggunaannya mengakibatkan kerugian bagi penggunanya seperti air bersih yang sangat dingin atau sangat panas yang pada gilirannya mengakibatkan penggunanya jatuh sakit atau penyakitnya bertambah parah, atau penggunaannya mengakibatkan seekor hewan mati kehausan karena tidak dapat air.
Bisa jadi warna, rasa dan aroma air bersih berubah secara alami, tetapi air bersih itu tetap sah penggunaannya untuk wudhu, mandi junub dan ibadah-ibadah yang lain, dengan syarat tidak mendatangkan kerugian.
Kadang kala penduduk dusun terpaksa menggunakan air yang berubah warna, rasa dan aromanya karena ketiadaan air selain air itu. Penggunaan air seperti itu diperbolehkan dalam syariat Islam jika dapat dijamin suci kesehatannya.
Tetapi jika air bersih itu bercampur dengan air suci seperti ditambahkan dengan air bunga, maka hal itu menghilangkan kebersihannya, dan setelah itu tidak benar penggunaannya untuk wudhu atau mandi junub, walau sah penggunaannya untuk makan, minum dan membersihkan pakaian.
 Di antara air suci adalah air saripati tumbuh-tumbuhan, baik yang alami maupun yang non-alami. Masing-masing dari air bersih dan air suci menjadi najis jika bercampur dengan najis walau sedikit atau jika berubah warna, rasa, dan aromanya.
Air suci tidak sah penggunaannya untuk wadhu atau mandi junub, dan tidak sah pula penggunaannya untuk ibadah-ibadah yang kain. Demikian pula air suci tidak sah untuk menghilangkan najis dari badan atau pakaian atau tempat.
Adapun air najis maka penggunaannya diharamkan bagi seorang muslim dalam keperluan apapun, kecuali dalam keadaan darurat seperti seorang muslim yang terperangkap di tengah sahara lalu dia tidak punya air untuk diminum dan nyaris mati jika tidak minum air sedang dia tidak mendapatinya kecuali air najis.
Air dalam sumur dan tangki air menjadi najis dengan kematian salah satu hewan darat berdarah cair di dalamnya dengan syarat berubah warna atau rasa atau aroma air tersebut, namun jika tidak ada perubahan sedikitpun dari itu maka air tersebut tidak menjadi najis. Tetapi diutamakan dalam keadaan demikian agar air sumur atau tangkai air dikuras semuanya sehingga seorang muslim menjadi yakin akan kebersihannya.
Segala sesuatu yang najis itu terbagi dalam dua macam yaitu najis cair seperti air dan yang cairan yang lain, dan najis padat seperti bangkai dan kotoran manusia, dan semua itu diharamkan penggunaannya dan pemanfaatannya seperti kecuali dalam keadaan darurat.
Adapun sesuatu yang ternajiskan seperti gemuk, minyak dan madu maka yang demikian itu tidak mungkin dibersihkan dan harus dimusnahkan, walau sebagian ahli fikih berpendapat kemungkinan pemanfaat dalam keperluan-keperluan manusia.
Bersih dalam makna inderawi dan maknawi adalah wajib dalam setiap ibadah dan muamalah Islam. Oleh karena itu Allah Ta’ala menyuruh Rasul-Nya dalam firman-Nya: {Dan pakaianmu bersihkanlah},[6]yang pada gilirannya menjadikan kebersihan sebagai salah satu pokok agama Islam, tidak sah suatu ibadah bahkan tidak sehat suatu kehidupan tanpanya. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri}.[7] Dan Rasulullah s.a.w. bersabda: (Bersih itu sebagian dari iman).[8]
Penyampaian ketetapan hukum tentang kebersihan dalam Al Qur’an Al Karim dan Sunnah Nabi meneguhkan kenabian dan kerasulan Muhammad s.a.w. khususnya bahwa bangsa Arab di zaman Jahiliah belum mengenal sesuatu tentang kebersihan dengan dua sisinya baik kebersihan inderawi maupun kebersihan maknawi. Mereka pada waktu itu makan bangkai, darah, sisa-sisa yang dimakan oleh binatang buas dan yang lainnya dikarenakan jarangnya makanan di sahara mereka. Mereka juga tidak membersihkan diri setelah hadas besar atau hadas kecil dikarenakan jarangnya air di masyarakat mereka. Masyarakat lain yang mengitari merekapun seperti bangsa Persia, Romawi, Yunani dan India tidak lebih baik keadaannya dari bangsa Arab Jahiliah tentang kebersihan, bahkan mereka lebih buruk dan lebih kotor dari bangsa Arab Jahiliah.
  Demikianlah maka undang-undang dasar kebersihan Islam yang disampaikan dalam firman Allah Ta’ala {Dan pakaianmu bersihkanlah}[9] itu merupakan salah satu sisi mu’jizat Al Qur’an Al Karim dan meneguhkan bahwasanya dia bukan ciptaan manusia dan juga meneguhkan kenabian dan kerasulan Muhammad s.a.w.





[1] Surat Al Muddatstsir: 1-4
[2] Surat Al Muddatstsir: 49-56
[3] Surat Al Muddatstsir: 3
[4] Surat Al Muddatstsir: 4
[5] Surat At Taubah: 28
[6] Surat Al Muddatstsir: 4
[7] Surat Al Baqarah: 222
[8] Hadis riwayat Muslim.
[9] Surat Al Muddatstsir: 1-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar