Rabu, 13 Februari 2013

Hunain bin Ishak dan kedudukannya dalam peradaban Arab Islam
        Di tengah suasana yang didominasi oleh toleransi agama, banyak dari Ahluzimmah yang berinovasi dan berperan secara aktif dalam peradaban Arab Islam. Ahluzimmah secara umum dan penganut Kristen dan Shabi’ah secara khusus memainkan peran penting dalam pemajuan peradaban Arab Islam terutama di era kekhalifahan Abbasiah. Peran tersebut tidak terbatas pada kepemimpinan mereka dalam gerakan penerjemahan dari bahasa Yunani dan bahasa Serenia ke bahasa Arab saja, namun juga muncul di antara mereka sejumlah ilmuwan yang memainkan peran dalam pemicuan kehidupan intelektual dan pemajuan cabang-cabang ilmu dan pengetahuan khususnya di bidang kedokteran, filsafat, dan falak. Demikian pula muncul di antara mereka sejumlah dokter yang mengabdi di istana para khalifah dan amir Arab Muslim dan memangku jabatan tinggi dalam kekhalifahan Arab Islam seperti jabatan Ketua Ikatan Dokter di Baghdad dan sebagian dari mereka mengelola rumah sakit-rumah sakit. Beberapa dari mereka mengelola lembaga-lembaga budaya dengan cakap dan kapabel seperti Baitulhikmah di Baghdad. Sebagian dari mereka memangku jabatan ketetuaan dewan-dewan penting kekhalifahan seperti Dewan Surat. Lebih dari semua itu mereka adalah instrumen yang dengannya kaum Muslim dapat berhubungan dengan ilmu dan filsafat bangsa Yunani dan perantara yang dengannya warisan Yunani dan Serenia berpindah ke negeri Persia dan Timur Jauh.
Pada hakikatnya Ahluzimmah tidak pernah dapat memainkan peran yang menonjol dalam peradaban Arab Islam jika tidak tersedia sejumlah faktor, terutama toleransi agama yang diserukan oleh Islam dan dipraktekkan oleh para khalifah dan amir Arab Muslim ke alam nyata. Ahluzimmah menikmati kebebasan agama dan intelektual dengan perlindungan Negara. Perlindungan para khalifah dan amir kepada ilmu dan ilmuwan datang tanpa memandang kepada agama, warna kulit, dan kewarganegaraan. Suasana yang demikian itu mendorong Ahluzimmah untuk memainkan peran secara suka rela dan dengan semangat yang tinggi dalam kebangkitan ilmu di era Abbasiah. Kebijakan toleransi agama dengan konsepnya yang menyeluruh itu telah menjadikan Ahluzimmah sebagai bagian utama dari masyarakat Arab Muslim. Para sejarawan Muslim dalam tulisan-tulisan mereka mengisyaratkan kepada Ahluzimmah dan para ilmuwan mereka dengan rasa hormat dan penghargaan yang besar. Mereka memuji kedudukan ilmu dan sosial bahkan memandang kepada Ahluzimmah sebagai orang-orang Muslim.
Al Baihaqi yang hidup di abad keduabelas Masehi dalam bukunya Hukama Al Islam–“Para pebijak Islam” memantulkan pandangan tersebut, dimana kita dapati bahwa bukunya itu mencakup penerjemahan-penerjemahan dari sejumlah ilmuwan Kristen, Shabia’h, dan yang lainnya dari golongan Ahluzimmah. Tidak syak lagi bahwa yang demikian itu membuktikan bahwa Al Baihaqi memandang kepada tiap orang yang hidup di dalam masyarakat Islam sebagai seorang Muslim dalam pembentukan sosialnya dan budayanya tanpa memandang kepada agamanya dan keyakinannya.           
Di antara ilmuwan non Muslim yang ditulis oleh Al Baihaqi dalam bukunya Hukama Al Islam adalah Hunain bin Ishaq.
Hunain bin Ishaq Al Abadi lahir di kota Haira di Irak tahun 809 Masehi, dari suku Arab yaitu suku Al Abad yang menganut agama Kristen dari mazhab Nastarian dan menetap di kota Haira. Bapaknya Ishaq adalah seorang ahli farmasi. Dia merasakan bahwa puteranya mempunyai kemauan yang kuat untuk mempelajari ilmu kedokteran, apalagi profesi ini cukup merebak di era Abbasiah karena seorang dokter mempunyai kedudukan sosial yang agung di istana khulafa dan umara, dan mendatangkan banyak uang. Demikian pula profesi Ishaq berpengaruh besar dalam pengarahan pemikiran puteranya untuk belajar kedokteran. Hunain meninggalkan kota Haira menuju Baghdad untuk menuntut ilmu sedang umurnya ketika itu baru limasbelas tahun.  Dia memulai belajar kedokteran di bawah pengawasan dokter Nastarian yang kesohor yaitu Johanes Masweh yang mengelola sebuah institut kedokteran di rumahnya yang disebut dengan Majelis Ilmu atau Lembaga Ilmu Pengetahuan. Johanes adalah putera Masweh yang merantau dari kota Jundisabor di era kekhalifahan Al Rasyid tahun 809 Masehi, menetap di Baghdad, dan bekerja sebagai seorang dokter di istananya. Demikian Khalifah Al Rasyid sendiri yang mengangkat Johanes bin Masweh sebagai sekretaris penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab. Para sejarawan memastikan bahwa Majelis Ilmu yang dikelola oleh Masweh adalah pusat belajar kedokteran yang terbaik di kala itu. Apalagi majelis tersebut tidak hanya terdiri dari pelajar kedokteran saja, tetapi juga berkumpul di dalamnya para ilmuwan dan sasterawan dari para dokter, filsuf, dan yang lainnya. Hunain mulai melayani gurunya dan belajar darinya. Dia membacakan untuk gurunya beberapa buku kedokeran Yunani seperti buku-buku karangan Galinus yang wafat tahun 201 Masehi.     
Para sejarawan sepakat bahwa Hunain sering kali mengajukan pertanyaan kepada gurunya karena dia ingin belajar tentang seluk beluk kedokteran. Hal itu membuat gurunya merasa amat terganggu di depan murid-muridnya yang lain, terutama ketika gurunya tidak dapat menjawab salah satu pertanyaan Hunain. Bersamaan dengan perjalanan waktu sang guru merasa tidak nyaman kepada muridnya dan pada suatu hari dia marah kepada muridnya seraya berkata: “Hai penduduk Haira, tidaklah layak bagimu untuk mempelajari kedokteran. Yang layak bagimu adalah berjualan mata uang di tengah jalan”. Kemudian sang guru mengusir muridnya itu dari rumahnya, lalu Hunain pun keluar sambil menangis sedih. Al Qafasi dalam bukunya Ikhbarul Ulamaa Bi Akhbaril Hukamaa mengomentari kejadian pengusiran tersebut dengan menuliskan: “Sesungguhnya kemarahan Johanes kepada muridnya tidak hanya berpulang kepada ketergangguan yang disebabkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Hunanin saja, tetapi karena penduduk Jundisabor, yang mana Johanes termasuk salah satu dari mereka, menganggap bahwa mereka sajalah yang tahu tentang kedokteran. Mereka berusaha untuk tidak mengajarkan kedokteran kecuali hanya kepada anak-anak mereka saja.
Hakikat tersebut dipastikan oleh Ibnu Abu Ushaiba’ah dalam bukunya ‘Uyunul Anbaa’ Fi Tabaqatil Atibbaa’ dengan mengatakan: “Hunain berasal dari kota yang penduduknya dikenal sebagai pedagang mata uang yaitu kota Haira. Sedang para dokter Jundisabor sangat benci jika anak-anak para pedagang itu memasuki profesi mereka”.
        Perilaku yang memalukan dari Johanes kepada muridnya dan pengusirannya dari majelis ilmunya merupakan suatu tantangan nyata bagi Hunain bin Ishaq. Dia memutuskan untuk menjadi seorang dokter yang cakap di bawah naungan kekhalifahan Islam yang memberi segala kesempatan bagi seluruh anggota masyarakat untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Seorang sejarawan mengatakan bahwa Hunain bersumpah untuk belajar bahasa Yunani dengan sebaik-baiknya sehingga tidak seorang pun di masanya dapat menandinginya, karena bahasa Yunani merupakan syarat utama bagi siapa orang yang ingin belajar kedokteran dari sumber-sumber asalnya. Demikianlah Hunain menghilang dari Baghdad untuk beberapa tahun lamanya. Tampaknya dia mulai mempelajari bahasa Yunani, dimana dia pergi ke beberapa kota yang penduduknya berbahasa Yunani di Asia Kecil yang pada waktu itu merupakan bagian dari negeri Romawi. Kemudian dia pergi ke Iskandaria untuk tujuan yang sama. Dia berhasil menguasai bahasa Yunani dengan sebaik-baiknya, sehingga di kemudian hari dia dapat menuliskan bait-bait syair dalam bahasa Yunani untuk raja para penyair Yunani yaitu Homirus. Kemudian Hunain pergi ke Basra dimana dia belajar bahasa Arab di bawah bimbingan para ahli bahasa yang banyak bermunculan di sana di masa itu. Tampaknya pada waktu itu dia juga belajar bahasa Persia. Hunain pulang ke Baghdad setelah perjalanan ilmunya dengan menguasai empat bahasa: Serenia sebagai bahasa ibu, Yunani, Persia, dan Arab.
        Kepulangan Hunain bin Ishaq untuk kedua kalinya ke Baghdad merupakan permulaan tahap baru riwayat kehidupan ilmunya yang dmulai dengan menerjemahkan buku-buku untuk beberapa dokter terkenal di era Abbasiah terutama Gibrail bin Bakhtisou (wafat tahun 832 Masehi), seorang dokter bermazhab Nastarian yang merupakan dokter peribadi Khalifah Al Ma’mun. Hunain menerjemahkan untuk Gibrail beberapa buku karangan Dokter Yunani terkenal yaitu Galinus dari bahasa Yunani ke bahasa Serenia dan Arab. Gibrail menemukan selama periode itu kemampuan ilmiah yang hebat dalam diri Hunain. Oleh karena itu dia sangat hormat kepadanya dan tidak pernah memanggilnya kecuali dengan panggilan “Wahai guru Hunain”, bahkan Gibrail memperkirakan masa depan yang cemerlang bagi diri Hunain muda. Dia selalu berkata: “Jika Allah memberi umur panjang kepada Hunain niscaya dia mengungkap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Sergius Al Rasini”, yang (wafat tahun 536 Masehi) dan merupakan orang pertama yang menerjemahkan sebagian dari ilmu-ilmu Yunani ke bahasa Serenia. Tidak lama berselang Johanes Masweh membaca sebagian yang diterjemahkan oleh Hunain bin Ishaq untuk Gibrail dan dia terkejut dengan ketelitian tutur kata, kejelasan arti, dan keindahan susunan kata. Pada mulanya dia tidak percaya bahwa yang menerjemahkan itu semua adalah Hunain yang pernah membuatnya malu dan mengusirnya dari majelis ilmunya. Hunain merasakan penyesalan yang amat dalam dan berupaya sekuat tenaga untuk mengambil hati gurunya sehingga hubungan antara keduanya kembali baik seperti sediakala. Hunain menerjemahkan untuk gurunya banyak buku terutama buku-buku Galinus dari bahasa Yunani sebagian ke bahasa Serenia dan sebagian yang lain ke bahasa Arab. Tampaknya kekaguman Johanes bin Masweh kepada muridnya telah sampai pada puncaknya sehingga dia mempersembahkan kepadanya sebuah buku dengan judul “An Nadir At Tayyibah”. Reputasi ilmiah Hunain bin Ishaq menyebar di dalam dan luar kota Baghdad sehingga sampai ke telinga Khalifah Al Ma’mun melalui dokter pribadinya Gibrail yang selalu memuji kepintaran dan kemampuan ilmiah Hunain di dalam majelis ilmu sang khalifah. Al Ma’mun mendirikan Baitulhikmah di Baghdad dan memutuskan untuk menerjemahkan buku-buku warisan Yunani ke bahasa Arab. Dia melakukan kontak-kontak dengan Kaisar Romawi. Dia berhasil membawa banyak buku warisan Yunani ke Baghdad. Ketika itulah Al Ma’mun memangil sejumlah penerjemah yang terkenal untuk menerjemahkan buku-buku tersebut dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Di antara para penerjemah yang terkenal itu adalah Hunain bin Ishaq, yang ketika masih berusia muda. Al Ma’mun meminta darinya untuk menerjemahkan buku-buku para filsuf Yunani ke bahasa Arab dan dalam waktu yang sama sang khalifah juga meminta darinya untuk memperbaiki apa yang diterjemahkan oleh para penerjemah yang lain. Hunain mematuhi permintaan sang khalifah dan kemudian dia menjadi pengawas urusan penerjemahan di Baitulhikmah. Ibnu Abu Ashiba’ah menuturkan: “Al Ma’mun memberikan kepada Hunain bin Ishaq emas seberat buku-buku yang diterjemahkannya ke bahasa Arab”.
Dari malapetaka ke puncak kejayaan:
        Pujian kepada Hunain menyebar ke seluruh penjuru masyarakat Abbasiah. Dia kemudian, sebagaimana dikatakan oleh Al Qafthi, menjadi “sumber ilmu”. Berita tentangnya telah sampai ke telinga Khalifah Al Mutawakil (wafat tahun 861 Masehi). Sang khalifah memerintahkan para pembantunya untuk membawanya kepadanya dan memutuskan untuk menggajinya sebesar limabelas ribu Dirham tiap bulan. Tetapi Hunain mengalami berbagai kesulitan di era Khalifah Al Mutawakil. Malapetaka terakhir yang dialaminya pada tahun 858 Masehi merupakan bagian dari persekongkolan rekan-rekannya para dokter Kristen yang bekerja bersamanya di istana Al Mutawakil. Mereka berhasil meyakinkan sang khalifah bahwa Hunain tidak beriman kepada agama Kristen, tidak mendirikan ritual-ritualnya, dan tidak beriman kepada ketauhidan, para rasul, hari kiamat, dan yang lainnya. Hunain dituduh sebagai seorang musyrik yang oleh karenanya maka dia dijebloskan ke penjara dan mengalami aneka ragam siksaan selama berada di dalamnya. Hunain menuturkan dalam surat yang dia tulis sendiri tentang ragam malapetaka dan kesulitan yang dialaminya yang disampaikan oleh Ibnu Abu Ashiba’ah bahwa sebab utama malapetaka itu adalah rasa dengki para dokter Kristen kepadanya karena kemampuan ilmu yang dimilikinya dan karena reputasi dan kedudukan materi di dalam istana khalifah dan para petinggi Negara. Tak lama kemudian sang khalifah dapat mengungkap persekongkolan tersebut, mengeluarkannya dari penjara, dan menghukum berat orang-orang yang telah bersekongkol terhadapnya. Hunain kembali menerima gaji bulanan dan seluruh gaji yang tidak diterimanya selama berada di dalam penjara. Lebih dari itu sang khalifah memberinya uang tambahan sebesar duaratus ribu Dirham dan menghadiahkan untuknya dan untuk anak cucunya sepeninggalnya tiga rumah besar lengkap dengan perabutan. Hunain juga mendapatkan hadiah-hadiah yang tidak terhingga dari para petinggi negara. Sejak itu Hunain menjadi dokter khusus sang khalifah yang mengangkatnya sebagai pengawas Baitulhikmah. Hunain terus-menerus mendapatkan penghormatan dan penghargaan dari Al Mutawakil dan seluruh khalifah yang memangku kekhalifahan sepeninggalnya sampai akhir hayatnya tahun 879 Masehi.
        Setelah melewati malapetaka yang terakhir, Hunain hidup penuh dengan pemberian ilmu selama duapuluh tahun. Pada periode itu dia menyelesaikan kebanyakan penerjemahannya dan tulisan-tulisannya yang terpenting. Penerjemahan, penulisan, dan praktek kedokteran berjalan berdampingan dalam kehidupan ilmunya. Semua aktifitas itu merupakan warisan ilmunya.
Tentang penerjemahan, dapat dikatakan bahwa walau penerjemahan-penerjemahannya dari bahasa Yunani ke bahasa Arab dan bahasa Serenia meliputi seluruh bidang ilmu dan pengetahuan di kala itu, namun semuanya berpusat pada bidang kedokteran. Hunain menerjemahkan kebanyakan tulisan-tulisan dokter Yunani bernama Galinus dari bahasa Yunani ke bahasa Arab dan bahasa Serenia. Dia menerjemahkan sekitar sembilanpuluhlima dari tulisan-tulisan Galinus ke bahasa Serenia dan sekitar tigapuluhsembilan buku ke bahasa Arab. Demikian pula Hunain menerjemahkan limabelas buku karangan dokter Yunani Hipocrates yang wafat tahun 399 sebelum Masehi dengan penafsiran Galinus terhadap buku-buku tersebut.
Hunain menerjemahkan dan mengubah sebagian yang diterjemahkan oleh murid-muridnya. Ada enam buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Serenia dan sekitar tujuhpuluh buku dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Demikian pula Hunain menerjemahkan dan memperbaiki buku-buku yang diterjemahkan oleh para dokter kuno dari bahasa Yunani ke bahasa Serenia seperti Sergius Al Rasini, Ayyub Al Zahawi, dan yang lainnya dan jumlahnya ada sekitar limapuluh buku.
Para sejarawan memastikan bahwa penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Serenia biasanya dilakukan untuk para dokter dan ilmuwan Kristen dalam kekhalifahan Abbasiah seperti Gibrail, Johanes, dan yang lainnya. Sementara penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Arab dilakukan untuk para khulafa, umara, petinggi, dan ilmuwan Muslim seperti Al Ma’mun, Al Mutawakil, Menteri Muhammad bin Abdumalik Al Zayyat yang mengeluarkan sekitar dua ribu Dinar untuk para penerjemah, dan keluarga Al Syakir yang juga mengeluarkan sekitar lima ratus Dinar untuk para penerjemah, di antara mereka adalah Hunain. Narasumber mengisyaratkan bahwa Hunain merantau lebih dari satu kali ke banyak negeri untuk memperoleh buku-buku warisan Yunani yang dia ingin terjemahkan seperti negeri Romawi, negeri Timur Arab, dan negeri-negri yang lain. Dia misalnya berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain di Irak, Mesir, dan negeri Syam untuk mencari salinan buku Al Burhan karangan Galinus. Setelah perjalanan yang melelahkan itu dia hanya dapat setengah dari buku itu di kota Damaskus. Kebanyakan perjalanan ilmunya dibiayai sendiri dan bukan atas biaya para khulafa dan petinggi negara. Hunain memilah-milah salinan buku yang ingin dia terjemahkan. Dia biasanya membanding-bandingkan berbagai salinan jika memang ada, dan memilih salinan yang lebih dekat keasliannya dan lebih jelas. Dia selalu membaca terjemahan-terjemahan sebelumnya untuk buku yang ingin dia terjemahkan jika memang ada sebelum dia mulai menerjemahkannya. Al Qafthi memastikan bahwa Hunain selalu memperhatikan kejelasan makna dan rinciannya, dan berpegang pada kejujuran ilmiah. Dialah yang menjelaskan makna-makna dalam buku-buku Hipocrates dan Galinus.
Warisan Hunain bin Ishaq di bidang penulisan merupakan warisan yang kaya sebagaimana halnya dengan penerjemahan. Menurut Ibnu Abu Ashiba’ah ada sekitar seratus limapuluh buku yang ditulis oleh Hunain. Tulisan-tulisannya itu berkisar antara kedokteran, filsafat, falak, sejarah, dan yang lainnya. Sejumlah tulisannya terutama di bidang kedokteran diimpirasikan dari tulisan-tulisan para dokter Yunani seperti Galinus dan Hipocrates. Bahkan tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Hunain bin Ishaq adalah spesialis Galinus. Dia melalui terjemahan-terjemahannya dan tulisan-tulisannya mampu memperdalam pemikiran, filsafat, dan metode Galinus. Bahkan dia dijuluki sebagai sang penerang Galinus. Dalam tulisan-tulisannya dia menggunakan metode ilmuwan Iskandaria yaitu metode tanya-jawab. Demikian pula dia berpegang pada kejujuran ilmiah dimana dia selalu menyebutkan narasumber dalam tulisan-tulisannya.
Pengabdian Hunain bin Ishaq di bidang praktek kedokteran tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Bisa jadi keunggulannya di bidang kedokteran berpulang kepada kecakapannya dalam penerjemahan. Dia mengabdikan kedokterannya untuk sejumlah khulafa seperti Al Ma’mun, Al Mu’tashim, Al Watsiq, dan Al Mutawakil. Dia adalah satu-satunya dokter yang berhasil menyembuhkan Al Mutawakil setelah para dokter istana yang lain gagal mengobatinya. Hunain tidak hanya melayani rekan-rekannya saja tetapi juga orang-orang yang dulu bersekongkol terhadapnya. Mereka selalu datang kepadanya tatkala diserang suatu penyakit yang sulit disembuhkan. Para sejarawan menjadi saksi bagi kemampuan Hunain di bidang kedokteran. Ibnu Al Nadim mengatakan: “Hunain adalah seorang yang terhormat di bidang praktek kedokteran”. Al Qafthi menuturkan: “Hunain adalah seorang dokter yang memiliki pandangan jernih dalam penulisan dan pengobatan dan memiliki kecakapan dalam memroduksi alcohol”. Ibnu Khalkan menuliskan: “Hunain di eranya adalah pemimpin di bidang kedokteran”.
Murid-muridnya:
        Warisan Hunain dalam sejarah peradaban Arab Islam tidak hanya terbatas pada tulisan-tulisan dan terjemahan-terjemahan yang ditinggalkannya saja, tetapi juga dia berperan dalam menciptakan sebuah mazhab ilmu yang mempunyai tradisi dan metode sendiri di bidang kedokteran dan terjemahan. Hal itu melalui murid-muridnya yang menerapkan metode-metodenya dalam bidang penerjemahan, penulisan, dan praktek kedokteran.
Di antara murid-muridnya adalah puteranya sendiri Ishaq yang digambarkan oleh Ibnu Khalkan sebagai “seorang yang menyatukan ilmu kedokteran di eranya”. Dia mengikuti bapaknya di bidang penerjemahan dan kepiawaiannya berbicara dalam beberapa bahasa. Ibnu Abi Ashiba’ah mengatakan bahwa terjemahan-terjemahan Ishaq lebih condong kepada filsafat daripada kedokteran. Keponakannya yang bernama Hubaish bin Al Hassan juga termasuk di antara murid-muridnya. Dia mempelajari kedokteran dari Hunain dan mengikuti metodenya dalam bidang terjemahan. Demikian pula Isa bin Ali seorang dokter yang kesohor. Dia bekerja sebagai dokter di istana Khalifah Al Mu’tamid (wafat tahun 892 Masehi).
Nilai warisan ilmu:
        Nilai ilmiah warisan Hunain bin Ishaq tidak hanya terbatas pada jumlah buku yang diterjemahkan atau yang dituliskan olehnya, atau jumlah khulafa atau umara yang dia abdikan ilmunya untuk mereka, atau jumlah murid yang menimba ilmu darinya saja, tetapi nilainya juga ditentukan oleh besaran pengaruh warisan ilmu itu dalam gerakan ilmu yang disaksikan oleh eranya dan era-era berikutnya. Para sejarawan sepakat bahwa warisan Hunain merupakan salah satu sumber ilmu dan pengetahuan bagi generasi ilmuwan dan dokter, baik yang Muslim maupun yang non-Muslim, baik yang hidup di eranya maupun yang bukan hidup di eranya. Terjemahan warisan Yunani ke bahasa Arab  oleh Hunain dan para ksatria penerjemah yang lain di abad kesembilan dan kesepuluh merupakan peninggalan yang abadi dari peninggalan-peninggalan para pembangun peradaban Arab Islam. Terjemahan telah menyelamatkan warisan Yunani dari kepunahan dan mengembalikannya kepada kehidupan setelah tersisihkan dari gerakan sejarah bahkan setelah diabaikan oleh bangsa Bizantium. Oleh karena itu maka aktifitas-aktifitas Hunain di bidang terjemahan telah memberikan kesempatan kepada para ilmuwan Arab Muslim dan non Muslim untuk mengambil manfaat dari warisan Yunani yang merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam pembangunan dan pemajuan peradaban Arab Islam. Pengaruh penulisan-penulisan Hunain dalam kebangkitan Arab Islam tidak kalah penting dari terjemahan-terjemahannya. Hunain misalnya berperan secara langsung dalam penemuan istilah kedokteran Arab Islam. Karyanya dalam penerjemahan dan penulisan membawanya kepada pencarian tentang istilah-istilah Arab yang sepadan dengan istilah-istilah Serenia dan Yunani di bidang kedokteran, filsafat, dan yang lainnya. Di sisi yang lain kajian-kajian ilmiah moderen membuktikan bahwa Hunain dalam produksi ilmiahnya telah melewati banyak dari hasil-hasil yang dicapai oleh para ilmuwan di eranya di bidang kedokteran. Salah satu bukunya yaitu Al ‘Asyara Maqalat Fil ‘Uyun–Sepuluh Makalah Tentang Mata merupakan revolusi ilmiah tentang sejarah kedokteran mata di kala itu. Buku itu merupakan buku pertama yang ditulis dalam bahasa Arab sesuai dengan metode ilmiah di bidang tertentu yaitu kedokteran mata dan dilengkapi dengan sketsa pertama otonomi mata. Demikian pula para dokter mata di eranya maupun di era-era berikutnya yang berada di negeri Persia, Syam, Mesir, Irak, dan Andalusia semuanya mengiktibas penggalan-penggalan dari tulisan-tulisannya. Ar Razi yang wafat tahun 926 Masehi dalam bukunya Al Hawi misalnya mengambil manfaat dan menukilkan beberapa paragraf dari tulisan-tulisan Hunain. Dia bahkan mengiktibas makalah Hunain tentang operasi mata.
Pengaruh warisan Hunain tidak hanya berkisar pada kebangkitan ilmu Arab Islam saja, namun juga membentang pada kebangkitan Eropa moderen. Barat tatkala mulai menyentuh permulaan kebangkitan moderennya, yang pada dasarnya berpegang pada kebangkitan warisan Yunani, tidaklah mendapati kecuali terjemahan tentang kebanyakan warisan Yunani itu dalam bahasa Arab. Disinilah terlihat dengan jelas peran Hunain dan para penerjemah lain dalam peradaban Barat.  Sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan buku Galinus yang diterjemahkan oleh Hunain dari bahasa Yunani ke bahasa Arab diterjemahkan oleh Gerar Karimoni (wafat tahun 1178 Masehi) dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Jika tidak ada Hunain dan para penerjemah Arab niscaya Barat kehilangan kemampuan berhubungan dengan warisan dokter Yunani yang kesohor itu. Dari sisi yang lain Barat tidak hanya menerima warisan Yunani dengan terjemahannya dalam bahasa Arab saja, tetapi juga mengambil manfaat dari keterangan-keterangan, kritik-kritik, dan koreksi-koreksi para ilmuwan Arab terhadap warisan tersebut. Dengan kata lain bahwa pengalihan warisan Yunani dari bahasa Arab ke bahasa Latin telah membangkitkan kembali deyut kehidupan. Pengaruh tulisan-tulisan Hunain yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin dalam kebangkitan Barat pun tidak kalah pentingnya dari terjemahan-terjemahannya. Buku Hunain yang berjudul Al Masa’il Fit Tib-Persoalan-persoalan Tentang Kedokteran mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kedokteran Barat. Buku tersebut diterjemahkan sejak permulaan abad pertengahan dari bahasa Arab ke bahasa Latin dan menjadi pengantar utama bagi kajian-kajian kedokteran di Barat. Buku Hunain berjudul Al ‘Asyara Maqalat Fil ‘Uyun–Sepuluh Makalah Tentang Mata memainkan peran yang besar dalam pemajuan kedokteran mata di Barat. Buku tersebut sampai ke tangan bangsa Eropa karena dicuri oleh salah seorang penerjemah Barat yang kesohor yaitu Costatine Africa (wafat tahun 1087 Masehi) yang menulis sebuah buku berjudul Buku Costantine Africa Tentang Kedokteran Mata. Kajian-kajian ilmiah yang dilakukan sendiri oleh para ilmuwan Barat membuktikan bahwa buku Constantine Africa itu meliputi sembilan makalah yang diambil seluruhnya dari buku Hunain bin Ishaq, Al ‘Asyara Maqalat Fil ‘Uyun–Sepuluh Makalah Tentang Mata, tanpa menyebutkan sumber asalnya.
Hunain bin Ishaq merupakan salah satu hasil dari peradaban Arab Islam dan salah satu alat dari kemajuannya. Perjalanan hidupnya menjadi saksi atas akhlak sebuah bangsa beradab yang memperlakukan seluruh penduduknya dengan toleransi dan kesetaraan, yang memberikan segala kebebasan spiritual dan intelektual kepada mereka. Jika sekiranya ilmuwan bermazhab Kristen Nastarian ini hidup di bawah naungan kekaisaran Bizantium Kristen niscaya dia tidak mampu sampai pada puncak keilmuwannya karena penindasan agama, politik, intelektual, dan ekonomi yang menerpa masyarakat Bizantium di kala itu, yang telah membinasakan spirit dan membunuh akal dan pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar