Kamis, 14 Februari 2013

Perkawinan Dalam Islam
            Allah Ta’ala berfirman: {Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya}.[1]
            Ayat di atas adalah ayat 3 surat An Nisaa’, yaitu surat Madaniyyah, dan jumlah ayat-ayatnya adalah 176 ayat. Dinamai dengan An Nisaa’ (Perempuan) karena  surat ini banyak menyampaikan ketetapan-ketetapan hukum yang berkaitan dengan kaum perempuan.
            Pusaran utama surat An Nisaa’ adalah sekitar persoalan-persoalan ketetapan hukum bagi perempuan, keluarga, rumah tangga, masyarakat, negara, dan persoalan-persoalan peribadatan dan jihad di jalan Allah.
            Dalam tulisan ini kita akan fokus pada mu’jizat tasyri’i dalam kaitannya dengan pembolehan poligami jika terdapat kondisi-kondisi khusus atau umum dan kesanggupan khusus untuk melakukan itu, dan jika tidak sanggup maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang dia miliki, lantaran khawatir akan jatuh ke dalam kezaliman.

Mu’jizat tasyri’i dalam kaitannya dengan pembolehan poligami.
Perkawinan adalah fitrah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala sebagai bentuk pensucian bagi manusia dan sebagai ketenteraman bagi suami isteri yang didominasi oleh rasa kasih dan sayang, sebagai bentuk penjagaan bagi keberlangsungan keturunan dan kemakmuran bumi, dan sebagai sarana jalinan tali silaturahim antara keluarga dalam masyarakat.
Disebabkan besarnya kepedulian Islam pada penerapan sunnah perkawinan maka banyak dari para ahli fikih Islam menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib yang menjadikan berdosa orang yang menghindar darinya selama dia sanggup menjalaninya secara materi dan secara biologis. Hal itu berangkat dari sabda Rasulullah s.a.w.: (Nikah adalah sebagian dari sunnahku maka barangsiapa yang tidak berbuat sesuai dengan sunnahku bukanlah dia termasuk di antara umatku).[2]
Dan sabdanya: (Barangsiapa di antara kamu yang telah mampu maka kawinlah karena kawin itu menahan pandangan mata dan membentengi kemaluan dan barangsiapa yang tidak mampu maka berpuasalah).[3]
Islam menyampaikan pentingnya perkawinan itu dalam rangka menjaga ketertiban, kelangsungan hidup umat manusia, dan pencapaian maksud dan tujuan dari perkawinan itu yaitu rasa kasih dan sayang. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir}.[4]
Asal usul dalam perkawinan adalah tunggal. Hal itu dengan bukti bahwa Allah Ta’ala menciptakan bagi bapak kita Adam a.s. satu isteri yaitu Hawa. Persentase laki-laki dari perempuan dalam masyarakat-masyarakat normal adalah sebanding, tetapi Islam memperbolehkan poligami sampai empat isteri sebagai batas terbanyak dalam satu masa jika kedaduratan memestikan itu. Disyaratkan bagi seorang suami yang berpoligami untuk berlaku adil dalam meladeni isteri-isterinya seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Perbolehan ini dieksploitasi sebagai sarana untuk menyerang syariat Allah, walau seluruh umat manusia sebelum umat Islam telah memperbolehkan poligami tanpa batas, yang pada gilirannya menyebabkan munculnya kekacauan dan kesesatan sosial.
Islam datang untuk menertibkan perkara itu dengan alasan-alasannya, dengan berbuat adil, dan dengan batas tidak lebih dari empat isteri dalam satu masa, sebagaimana dibuktikan dalam:
1-      Firman Allah Ta’ala: {Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya}.[5]
2-      Segera setelah ayat ini diturunkannya Rasulullah s.a.w. memerintahkan setiap orang yang mempunyai lebih dari empat isteri agar memegang empat saja dari mereka dan melepaskan yang lainnya. Tentang hal itu Bukhari meriwayatkan bahwa Ghailan bin Salamah Al Staqafi masuk Islam dan dia mempunyai sebelas isteri, maka Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya: (Pilihlah empat di antara mereka).
Oleh karena itu Islam datang untuk membatasi poligami sampai empat isteri saja dan tidak memperbolehkan lebih dari itu sebagaimana di zaman sebelumnya dan menaruh persyaratan di antaranya sanggup memikul beban perkawinan dan berlaku adil, karena jika tidak sanggup maka hendaknya dia kawini seorang isteri atau budak-budak yang dia miliki.
Poligami diperbolehan dalam kasus-kasus khusus dan umum di antaranya:
1-      Jika terbukti bahwa si isteri mandul, tidak dapat hamil dan tidak dapat melahirkan sedang si suami mempunyai keinginan fitrah yaitu keturunan, maka hendaknya si suami kawin lagi dengan tidak melepas isterinya yang pertama jika si isteri mengabulkan perkawinannya yang kedua.
2-      Jika si isteri menderita penyakit kronis yang penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama atau sulit sekali disembuhkan, maka perkawinan yang kedua menjadi lebih baik daripada perceraian.
3-      Jika terdapat beberapa sebab-sebab kesehatan atau kejiwaan yang membuat kelanjutan perkawinan suami isteri menjadi sulit walau keduanya berkeinginan untuk tetap melanjutkan tali perkawinan.
4-      Jika usia suami isteri berdekatan atau usia si isteri lebih tua dari si suami, maka situasi ini melahirkan perbedaan dalam kemampuan naluriah seksual karena masa kesuburan perempuan akan berhenti pada usia limapuluhan sementara pada laki-laki akan berlanjut sampai usia tujuhpuluhan atau lebih.
5-      Di masa-masa perang jumlah perempuan yang baligh lebih banyak secara drastis dibandingkan dengan laki-laki yang baligh, maka poligami adalah penyelesaian satu-satunya yang dapat memelihara keselamatan dan kesucian masyarakat dari penyebaran hubungan seksual di luar nikah dan konseksuensinya secara psikologis, moral dan sosial.
Para ahli fikih Islam menyerahkan perkara pengabulan poligami kepada pihak isteri, jika dia menerimanya tanpa paksaan dan tanpa menimbulkan kerugian, maka poligami dapat dilakukan dan jika dia menolak maka hendaknya si suami menarik niatnya untuk poligami, karena pada dasarnya perkara perkawinan itu kembali kepada pihak isteri, niscaya dia dapat menerima perkawinan itu jika dia melihat di dalamnya terdapat ketenangan jiwa baginya dan niscaya dia menolaknya jika dia tidak melihat di dalamnya keredhaan baginya dan kesanggupan untuk memikul beban perkawinan itu.
Di antara mu’jizat Al Qur’an Al Karim adalah bahwa batas tertinggi perbandingan antara kaum laki-laki yang baligh dan kaum perempuan yang baligh dalam sejarah tidak pernah melampaui satu banding empat, hal itu akibat peperangan yang meluas seperti Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua, dan perbandingan itu sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Al Qur’an Al Karim dalam poligami yaitu empat isteri. Perang Dunia Pertama berlangsung selama lebih dari empat tahun. Jumlah korban yang tewas lebih dari dua puluh juta jiwa dan yang cacat mencapai dua kali lipat jumlah yang tewas. Sedang Perang Dunia Kedua berlangsung selama enam tahun. Jumlah korban yang tewas lebih dari lima puluh lima juta jiwa. Kebanyakan dari mereka adalah kaum muda dan yang cacat beberapa kali lipat dari jumlah yang tewas.
Barangkali berbagai fenomena penyebaran kekacauan hubungan seksual di berbagai masyarakat non muslim akibat ragam perzinaan, penyimpangan seksual, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, dan pengkhianatan suami isteri serta konsekuesninya dari lahirnya anak-anak haram dan tingginya persentase perceraian serta konsekuensinya dari malapetaka kemanuasiaan, persoalan-persoalan psikologi, dan sosial, degradasi moral, meluasnya kejahatan, semua itu merupakan bukti nyata atas mu’jizat firman Allah Ta’ala: {Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya}.[6]
Ayat di atas menyerukan kaum laki-laki untuk mengawini perempuan-perempuan yatim tanpa mengeksploitasi kelemahan mereka atau berambisi dalam menguasai harta mereka atau kecantikan wajah mereka.
            Jika seorang laki-laki muslim menghadapi cobaan tersebut maka baginya lebih baik untuk mengawini satu atau lebih dari satu perempuan yang bukan yatim sampai batas tertinggi yaitu empat-itupun apabila kondisi khusus atau umum dalam masyarakatnya mendorong untuk itu-dengan syarat dia sanggup melakukannya dan memikul tanggungjawab atas keputusannya untuk poligami, dan berlaku adil dalam memberikan nafkah lahir dan batin antara isteri-isterinya.


[1] Surat An Nisaa’: 3
[2] Hadis riwayat Ibnu Majah
[3] Hadis riwayat Tarmizi
[4] Surat ArRuum: 21
[5] Surat An Nisaa’: 3
[6] Surat An Nisaa’: 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar