Kamis, 14 Februari 2013

Sultana Radhia diangkat oleh keadilan dan dibunuh oleh cinta
            Seorang sultana (ratu Muslimah), yang diselamatkan oleh keadilan dari kesesatan saudara lelakinya, dan dibantu oleh rakyat sehingga ia naik tahta, tetapi cinta yang tidak pernah didapatnya sebelumnya telah menjadikannya kehilangan segalanya.
            Ia adalah Sultana Radhia, puteri Sultan Syamsuddin Lilmisy, sultan pertama yang berkuasa di kota Delhi di India yang merdeka dari kekhalifahan Abbasiah pada tahun 626 Hijriah/1229 Masehi. Syamsuddin Lilmisy dahulu adalah salah satu budak Pangeran Qutubuddin Aibak, yang menjabat sebagai panglima tentara  pada Sultan Agung Syihabuddin Muhammad Ibnu Sam Al Ghori, raja Ghaznah dan Khurasan pasca kemenangannya atas keturunan Mahmud bin Sabaktakin, yang memulai gerakan penaklukan Islam di India. Petualang kesohor Ibnu Batutah yang mengunjungi dan hidup di kawasan ini beberapa waktu lamanya menyebutkan bahwa Qutubuddin Aibak menaklukkan Delhi pada tahun 584 Hijriah seraya mengatakan bahwa dia membaca tanggal tersebut tertulis pada mihrab masjid agung di kota itu.
            Tatkala Qutubuddin Aibak wafat pada tahun 607 Hijriah/1211 Masehi, mantan budaknya Syamsuddin Lilmisy mendeklarasikan diri sebagai penguasa Delhi. Dia kawin dengan puteri mantan tuannya, sebagai anugerah dari mantan tuannya atas semangatnya dan ketulusannya. Lilmisy dahulu adalah budak, panglima tentara, dan wakil dari Pangeran Qutubuddin Aibak. Tatkala dia mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa Delhi, muncul perbedaan pendapat sekitar kedudukannya sebagai seorang budak dari mantan tuannya. Apakah dia telah dimerdekakan, dibebaskan, ataukah belum? Maka sejumlah ahli fiqih dipimpin oleh Hakim Agung Wajihuddin Al Kasani pergi menghadap kepada sultan yang baru. Mereka duduk di ruang duduk sang sultan. tatkala sang sultan tahu maksud dan tujuan kedatangan mereka, maka sang sultanpun mengeluarkan akte yang bertuliskan bahwa dia adalah seorang yang bebas dan merdeka. Maka para ahli fiqih dan hakim agung menobatkannya sebagai sultan dan masyarakatpun menobatkannya.   
            Sultan Syamsuddin Lilmisy, yang kedudukannya naik dari seorang budak menjadi seorang sultan karena kecakapannya dan kemampuan militernya, sebagaimana yang berulang kali terjadi di berbagai penjuru dunia di kala itu, berkuasa selama dua puluh tahun dan membuktikan kemampuannya dan kecakapannya. Demikian pula dia telah membuktikan dirinya sebagai seorang yang adil, saleh, dan terhormat. Barangkali pencapaian sang sultan yang paling penting adalah kepeduliaannya untuk memberantas kezaliman dan membantu orang-orang yang dizalimi. Kedisiplinan yang dibangunnya di bidang pemberantasan kezaliman, telah menyelamatkan puteri tunggalnya, yang duduk di singgasana kesultanan di kemudian hari, dari upaya pembunuhan saudara lelakinya Rukunuddin yang telah membunuh saudara kandungnya, Mu’izuddin. 
            Sultan Symasuddin Lilmisy memerintahkan kepada tiap orang yang dizalimi di dalam kesultanannya agar memakai baju berwarna-warni, dimana pada waktu itu seluruh penduduk kesultanannya memakai baju berwarna putih. Sang sultan selalu keluar dari istananya untuk memeriksa hal ihwal rakyatnya. Jika dia melihat seseorang memakai pakaian berwarna-warni maka dia mencaritahu segera kasusnya dan melepaskannya dari orang yang menzaliminya. Ibnu Batutah menceritakan bahwa sang sultan ingin agar keadilan dapat segera dirasakan oleh orang-orang yang dizalimi sehingga mereka yang mengalami kezaliman di malam hari tidak perlu menunggu sampai pagi hari. Puterinya Radhia pernah berlindung pada lembaga keadilan yang dibangun oleh sang sultan, dan menyelamatkannya dari kesesatan saudara lelakinya sehingga ia naik tahta dengan dukungan dari rakyat.
            Tatkala Sultan Syamsuddin Lilmisy wafat dia meninggalkan tiga putera yaitu Pangeran Kurunuddin yang menggantikannya sebagai sultan, Pangeran Mu’izuddin, Pangeran Nasiruddin, dan seorang puteri yaitu Pangeran Puteri Radhia yang naik tahta sebagai ratu di kemudian hari.
            Yang pertama dilakukan oleh Rukunuddin yang baru dinobatkan sebagai sultan adalah membunuh saudara lelakinya Pangeran Mu’izuddin. Perlakuan sang sultan itu membuat marah Pangeran Puteri Radhia. Maka sang sultan pun berupaya untuk membunuhnya. Tetapi Pangeran Puteri Radhia tidak lari untuk bersembunyi atau takut untuk berhadap-hadapan dengan sang sultan malah ia mengejutkannya dengan tradisi keadilan yang dibangun oleh bapak mereka berdua, lalu dia menunggu waktu shalat Jum’at di satu hari Jum’at. Dia berjanji untuk menghadapi saudara lelakinya yang sedang keluar dari shalat Jum’at, lalu dia naik ke atap istana lama yang dikenal dengan nama “Daulat Khanah” yang terletak di samping Masjid Besar di kota Delhi. Dia memakai pakaian berwarna-warni agar semua orang tahu bahwa dia adalah seorang yang dizalimi. Dia membuat semua orang berhenti, lalu dia berteriak dari tempatnya di atap istana seraya berkata: “Sesungguhnya saudaraku telah membunuh saudaranya dan sekarang ingin membunuhku”. Kemudian Pangeran Puteri Radhia mulai mengingatkan mereka tentang keadilan yang dibangun oleh bapaknya demi membawa kebaikan bagi rakyatnya.       
            Kata-kata Pangeran Puteri Radhia yang dizalimi itu mulai menggerakkan jema’ah shalat Jum’at. Rasa keadilan mulai menyentuh diri mereka. Mereka marah sambil menuju ke arah Sultan Rukunuddin yang telah membunuh saudaranya sendiri. Kemudian mereka menangkapnya dan menggiringnya ke arah saudarinya Pangeran Puteri Radhia, yang menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka dengan satu ungkapan yaitu: “Pembunuh harus dibunuh”. Setelah itu semua orang menghukum mati Sultan Rukunuddin sebagai ganjaran atas pembunuhannya terhadap saudaranya. Karena saudara mereka berdua Pangeran Nasiruddin masih kecil maka semua orang sepakat agar Pangeran Puteri Radhia naik tahta sebagai ratu, dan iapun memerintah kesultanan selama empat tahun.
            Ratu Radhia tak lama kemudian menyatakan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiah Al Mustanshir Billah, tetapi ia tidak meminta mandat untuk berkuasa dari sang khalifah, sebagaimana yang dilakukan oleh Syajaruddar, ratu dari Mesir yang hidup di eranya, yang permintaannya ditolak  dan disepelekan oleh sang khalifah karena dia adalah seorang perempuan. Salah satu uang koin kesultanannya bertuliskan: “Umdatunnisaa” yang berarti “Pemimpin kaum perempuan”, “Malikatuzzaman” yang berarti “Ratu Zaman”, dan “Ratu Radhia puteri Syamsuddin Lilmisy adalah Malikatuzzaman”.
            Setelah para petinggi kesultanan sepakat untuk menobatkannya sebagai ratu yang baru, Radhia mulai membuka kerudung kepalanya, dan ia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak kalah hebat dari kaum lelaki dalam urusan kesultanan.  
            Ia menunggang kuda sebagaimana yang dilakukan oleh para ksatria dari kaum lelaki. Ia memperlengkapi diri dengan berbagai senjata. Ia selalu diiringi dengan pasukan khusus tatkala ia menunggang kuda.
            Berbagai sumber sejarah menyebutkan bahwa ia memangkas pendek rambutnya dan memakai pakaian laki-laki. Ia memimpin ekspedisi-ekspedisi militer dan berkeliling kota dengan memakai pakaian laki-laki, agar dapat mengetahui secara langsung hal ihwal rakyatnya.  Para sejarawan sependapat bahwa Radhia adalah seorang penguasa yang baik, cakap dan mampu…
Ratu Radhia diangkat oleh keadilan ke singgasana lewat tangan rakyatnya, dan ia juga kehilangan singgasana lewat tangan rakyatnya sendiri tatkala nampak bagi semua orang bahwa ia telah berkhianat kepada akhlak, merusak adat istiadat dan melanggar nilai-nilai luhur, ketika ia membiarkan cinta untuk mencampuri urusan kesultanan.
Sang ratu adalah seorang yang lajang. Nampaknya ia kagum kepada seorang hamba sahaja asal Habasyiah bernama Jamaluddin Yaqut, yang menjadi salah seorang pelatih kuda kesultanan. Sang ratu menganugerahinya julukan dan pangkat yang dengan itu dia dapat melangkahi para pangeran kesultanan. Bahkan sang ratu menjadikannya sebagai pemimpin para pangeran ketimbang pelatih kuda. Para pangeran yang berada di bahwa pimpinan Jamaluddin Yaqut mulai memata-matai Ratu Radhia yang sedang dimabuk cinta. Mereka melihat bahwa sang ratu merasa tenteram didampingi oleh Jamaluddin Yaqut, memberi kemudahan kepadanya, dan bermesraan dengannya.
Tersebarlah gosip di Delhi bahwa sang ratu telah membiarkan hamba sahajanya untuk menyentuhnya, maka rakyat pun sepakat untuk melengserkannya dari singgasananya dan mengawinkannya. Hal itu menjadi kenyataan. Berakhirlah masa kekuasaan Ratu Radhia dengan perkawinannya dengan seorang kerabatnya. Kemudian saudaranya Nasiruddin naik tahta kesultanan.
Pertualangan yang gagal:
            Tetapi nampaknya Radhia yang telah merasakan enaknya kekuasaan tidak dapat jauh dari kekuasaan. Sebagaimana ratu Mesir Syajaruddar yang mampu kembali berkuasa empatbelas tahun setelah lengser dari singgasana, Radhia dan suaminya berusaha mengembalikan singgasananya lewat kekerasan, mereka berdua berhasil merekrut sejumlah hamba sahaja dan pengikut setia yang digambarkan oleh Ibnu Batutah sebagai orang-orang yang korup. Saudaranya Sultan Nasiruddin bersama hamba sahajanya Ghayatsuddin Balban, yang naik tahta sepeninggalnya, menghadapi Radhia dan suaminya beserta pengikut mereka berdua, tetapi kekalahan justeru berpihak kepada sang mantan ratu yang terlempar dari singgasananya dan dari cintanya. Ia terpaksa lari seorang diri sampai kedua kakinya membawanya ke sebuah ladang lalu ia menemui seorang petani sedang membajak ladang yang menyangkanya sebagai seorang laki-laki petempur yang sedang kecapaian dan kelaparan karena ketika itu Radhia berpakaian pakaian laki-laki. Kemudian Radhia meminta sesuatu untuk dimakan dari petani itu. Sampai disini si petani masih berbaik hati sambil memberikan sepotong roti kepadanya. Lalu Radhia makan dan tidur setelah rasa kantuk mengalahkannya. Nampaknya si petani tahu ketika dia mengamati tamunya yang sedang tidur bahwa tamunya itu tak lain hanyalah seorang perempuan. Kemudian dia melepaskan sikap hormatnya, merespon kepada nafsu hewaninya, membunuh sang mantan ratu tanpa dia tahu siapa sesungguhnya perempuan itu, mengubur jasadnya di tengah ladang yang sedang dia bajak, dan membiarkan kudanya lari jauh. Setelah itu dia pergi ke pasar untuk menjual pakaian mahal Radhia. Keraguan muncul sekitar pakaian yang ingin dijual oleh petani itu ketika dia menawarkan pakaian yang mahal itu kepada para pedagang pakaian di pasar. Hal itu pada gilirannya memberi petunjuk kepada kepala kepolisian kota Dehli. Akhirnya dibawah tekanan yang kuat, petani itu mengakui kejahatannya dan menunjukkan tempat dimana Radhia dikubur.
            Kepala kepolisian kota Delhi dan para pejabat yang menyertainya mengeluarkan sang mantan ratu dari lubang kubur. Mereka memandikannya dan membungkusnya dengan kain kafan, kemudian memakamkannya kembali di tempat yang sama dan mereka membangun di atas kuburnya sebuah kubbah.
            Ibnu Batutah menyebutkan bahwa kuburan Ratu Radhia di kala itu (abad kedelapan Hijriah/keempatbelas Masehi) merupakan temput berziarah bagi orang-orang yang memohon berkah.
            Itulah kisah seorang ratu Muslimah yang bapaknya berkuasa secara adil dan diselamatkan oleh keadilan itu dari keganasan saudaranya dan ditolong oleh rakyatnya berkat keimanan mereka kepada keadilan itu, tetapi dia tergelincir ke dalam percintaan yang membuatnya berhadapan dengan tradisi rakyatnya, maka dia kehilangan singgasananya dan cintanya, kemudian menemui ajalnya secara tragis.
            Sesuatu yang aneh dalam kisah tentang Ratu Radhia adalah kuburannya menjadi tempat berziarah bagi orang-orang yang mencari berkah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Batutah.
Apakah pencarian berkah itu karena keberaniannya berhadapan dengan saudaranya Rukunuddin? Ataukah karena kebijakannya yang adil? Ataukah semacam penghapusan dosa terhadap sang mantan sultana?
        






Tidak ada komentar:

Posting Komentar