Rabu, 13 Februari 2013

Keksatriaan Arab Islam: Beberapa potret dari perang Salib

Keksatriaan merupakan lembaran cerah dalam sejarah Arab Islam. Fokus keksatriaan dalam artikel ini bukan dari sudut materinya, tapi dari sudut etika dan ketauladanan dan moral yang luhur.
Para peneliti sependapat bahwa keksatriaan adalah perpaduan antara seni bela diri, kecakapan bertempur, ketauladanan berperilaku, dan nilai-nilai moral yang tinggi. Semua itu patut dimiliki oleh seorang ksatria sehingga ia layak menyandang julukan ksatria sejati.
Tak semua orang yang membawa pedang dan menunggang kuda dijuluki ksatria sejati, karena seorang ksatria sejati itu disamping memiliki sifat berani dan cakap dalam bertempur, ia juga sepatutnya menjunjung tinggi keimanan dan kejujuran dalam bertutur kata dan berbuat, memegang janji-janji dan perjanjian-perjanjian, bersikap mulia, tolerans dan santun, berpandangan optimis, berkorban demi prinsip keksatriaan, berdedikasi tinggi dalam melindungi kaum yang lemah, berpihak kepada orang yang dizalimi, mempertahankan kebenaran, bersikap adil, hormat kepada perempuan, dan lebih dari itu ia harus memiliki ketauladan yang luhur dalam berurusan dengan anak bangsanya sendiri maupun dengan musuh-musuhnya.

Keksatriaan di masa pra Islam:
Bangsa Arab pra-Islam, baik yang hidup nomaden maupun yang hidup madani, sudah mengenal baik keksatriaan. Para penyair Arab selalu menceritakan kebanggaan mereka kepada keksatriaan lantaran cakupan karakter yang disandang oleh ksatria sejati seperti: baik hati, berani, santun, loyal dan hormat, bahkan banyak dari mereka yang memadukan antara keksatriaan dan syair semisal Antharah, Hatim Al Thaa’I, Amru bin Kulthum dan yang lainnya. Sejarah bangsa Arab di kala itu penuh dengan peristiwa-peristiwa faktual yang meneguhkan tentang kedisiplinan seorang Arab pada ketauladanan dan etika.
Islam lahir untuk mendorong keksatriaan, menghargai nilai-nilainya yang luhur, memuliakan etika-etikanya, mempertegas dan mengarahkannya demi pengabdian pada prinsip-prinsip Islam dan risalah peradabannya.
Para sejarawan memastikan bahwa bangsa Barat banyak mengambil ketauladanan dan etika keksatriaan dari masyarakat Arab Islam, terutama lewat masyarakat Islam Andalusia dan perang Salib. Itu bukan berarti bangsa Barat sebelumnya tak mengenal keksatriaan, mereka telah mengenalnya sejak masa kekaisaran Romawi dan bangsa Viking, tapi ketauladanan dan etika keksatriaan mereka di kala itu belum sempurna kecuali setelah mereka berhubungan langsung dengan masyarakat Arab Islam.
Kisah-kisah keksatriaan Arab Islam beredar luas di antara para ksatria Barat, bahkan mereka mengidolakan tokoh-tokoh Arab Islam dalam kisah-kisah tersebut lantaran keberanian, kemuliaan, dan sikap hormat tokoh-tokoh itu.   

Di antara mereka ialah Khalifah Umawiyah di Andalusia Sultan Abdurrahman Naser, yang wafat pada tahun 961 masehi, yang memberikan jaminan keamanan kepada musuhnya, pangeran asal Lyon sehingga sang pangeran dapat pergi ke Cordova, yang di kala itu merupakan ibukota kekhalifahan sang Sultan, untuk berobat pada dokter-dokter Muslim dan kembali ke negerinya dengan selamat.
Sumber-sumber sejarah menceritakan bahwa walikota muslim Cordova pada tahun 1139 masehi mengepung Toledo, yang ketika itu berada di bawah kekuasaan bangsa Spanyol, lalu Ratu Spanyol, yang di kala itu sedang berada di kota itu, mengirim utusan kepada sang walikota muslim untuk menyampaikan pesan kepadanya: “Sesungguhnya tidaklah layak bagi seorang ksatria yang perkasa dan terhormat mengepung seorang perempuan”. Maka sang walikota pun membatalkan pengepungannya dan membalas pesan sang ratu dengan penuh sikap santun dan rasa hormat.
Walaupun Barat banyak dipengaruhi oleh keksatriaan Arab Islam, tapi keksatriaan di Barat berbeda dalam banyak sisi dengan keksatriaan yang ada di kalangan Arab Islam.
Keksatriaan di Barat erat kaitannya dengan golongan tertentu yaitu golongan ksatria, yang lahir akibat sistem feodalisme di Barat pasca runtuhnya kekaisaran Charlemagne (Charles Yang Agung) di pertengahan abad ke-9 masehi.
Para ksatria di Barat tidak perlakukan ketauladanan, nilai-nilai luhur, dan akhlak yang mulia dari keksatriaan itu kecuali kepada anak golongan mereka sendiri, tidak pada golongan-golongan yang lain, baik dalam masyarakat Eropa sendiri maupun musuh-musuh mereka yang berada di dalam atau di luar Eropa. Mereka tidak pegang janji-janji dan perjanjian-perjanjian yang mereka ikat, mereka tidak hormati tempat-tempat suci bagi penganut agama-agama yang lain, bahkan mereka pakai cara-cara khianat, tipu muslihat dan dusta, yang merupakan suatu pelanggaran berat terhadap spirit keksatriaan. Mereka pun tak ragu untuk bertindak sebagai pengacau atau perampas, padahal yang demikian itu merupakan pelanggaran terhadap salah satu dari nilai-nilai luhur keksatriaan yaitu berkorban demi membela prinsip. Lain halnya dengan masyarakat Arab Islam yang menjunjung tinggi etika keksatriaan sebagai bagian dasar dari budaya, salah satu dari cirikhas-cirikhas akhlak yang mulia, dan adat-istiadat mereka.

Riwayat perjalanan keksatriaan Salahuddin Al Ayyubi
Sultan Salahuddin Al Ayyubi, wafat pada tahun 1193 masehi, muncul di masa yang mempersaksikan episode perseteruan paling keji antara kawasan Arab Islam dan Barat Eropa yaitu perang Salib. Ia merupakan salah satu ksatria Arab Islam terkemuka.
Para sejarawan di masanya memegang teguh prinsip teliti, rinci, objetif, dan akurasi dalam menyampaikan kesaksian-kesaksian mereka tentang betapa besarnya kedisiplinan Sultan Salahuddin pada ketauladanan dan etika keksatriaan, tidak hanya ketika ia berurusan dengan anak bangsanya saja, tapi juga dengan musuh-musuhnya dari kaum Salib di negeri Syam (kini Yordania, Syria, Palestina dan Lebanon).
Ibnu Shadaad, wafat pada tahun 1239 masehi, seorang penulis biografi Salahuddin, membagi bukunya Annawadir Assulthaniah wal Mahasin Al Yusufiah ke dalam dua bagian. Bagian pertama, ia dedikasikan untuk bercerita tentang akhlak yang mulia, perilaku yang luhur, dan hubungan baik Salahuddin dengan anak bangsanya. Ia bercerita, misalnya, tentang keimanan dan kepatuhan Salahuddin kepada kewajiban-kewajiban keagamaannya dan kunjungan-kunjungannya yang ia lakukan berulang-ulang kali untuk menemui guru agamanya, Syaikh Hafidz Asfahani di Iskandaria, Mesir, untuk mendengarkan hadis-hadis Nabi. Ia pun bercerita tentang kebaikan hati Salahuddin, yang ia lukiskan sebagai kelewat batas, sehingga aparat yang bertanggungjawab terhadap keuangannya terpaksa menyisihkan sebagian dari uangnya karena khawatir seandainya sesuatu urusan penting akan mengejutkan mereka, lantaran Salahuddin selalu memberi perintah di waktu yang sempit sebagaimana ia juga memberi perintah di waktu yang luang, malah Salahuddin tidak meninggalkan uang di dalam kas keuangannya kecuali 1 Dinar emas dan 47 Dirham perak.
Tentang sikap adilnya, Ibnu Shadaad menuturkan bahwa Salahuddin sangat peduli pada orang yang dizalimi, berperilaku adil, dan melindungi orang yang lemah, sehingga untuk itu ia meluangkan dua hari dalam sepekan, Selasa dan Kamis, untuk mempelajari dan menyelesaikan urusan-urusan yang berkaitan dengan masalah kezaliman.
Tentang sikap beraninya, Ibnu Shadaad menerangkan bahwa Salahuddin ialah “seorang pemberani besar, berjiwa tegar, berhati gigih, berpandangan teguh, dan tiada suatu perkara apapun yang membuatnya terkejut”.
Bagian kedua dari bukunya, Shadaad persembahkan untuk bercerita tentang Salahuddin dan penaklukan-penaklukannya, namun demikian ia juga mencatat dalam bagian tersebut, sebagai saksi mata, beberapa peristiwa fakta yang menyingkap tentang betapa besar kedisiplinan Salahuddin pada moral dan etika keksatriaan ketika berurusan dengan musuh-musuhnya walau ia sudah berada di puncak kejayaannya.

Salahuddin dan tahanan perang Tahin.
Pasca kemenangannya atas kaum Salib di pertempuran Tahin pada tahun 1187, Salahuddin perintahkan tentaranya agar memperlakukan dengan baik seluruh tawanan perang kaum Salib dan agar memberikan kenyamanan kepada mereka di tempat-tempat penawanan mereka. Ia bertemu muka di sebuah kemah khusus dengan sejumlah pemuka tawanan perang kaum Salib, di antara mereka ialah raja Salib Guy Lozagnann dan Arnett pangeran dua benteng Kirk dan Shobik. Ia memberi salam hormat dengan penuh santun kepada keduanya. Maka tatkala ia tahu bahwa sang raja Salib itu merasa haus, takut dan letih, iapun segera menyuruh asistennya untuk memberi air minum kepada sang raja dan sang raja pun minum air munum itu hingga puas lalu ia berikan air minum itu kepada Arnett yang duduk di sampingnya maka Arnettpun pada gilirannya meminumnya.
Disini Salahuddin berkeberatan atas perilaku sang raja Salib itu, seraya berkata kepada penerjemahnya: ”Katakan kepada sang raja bahwa ia tidak meminta izin dahulu darinya ketika berikan air minum itu kepada Arnett, sebab aku sesungguhnya tak pernah menjamin keamanan orang itu”. Karena Salahuddin pernah bersumpah beberapa tahun sebelumnya bahwa ia akan bunuh Arnett jika sekiranya ia di suatu hari dapat menjadikannya sebagai tawanan perang. Hal itu sebagai hukuman baginya atas kejahatan-kejahatan yang pernah ia lakukan terhadap Arab dan muslimin. Arnett pernah menyerang lebih dari sekali kafilah-kafilah haji dan pedagang-pedagang muslim yang mengakibatkan mereka menderita kerugian sangat besar, bahkan lebih daripada itu Arnett pernah berusaha lebih dari sekali menyerang kaum muslim di Makkah dan Madinah, dua tanah suci yang paling diagung-agungkan kaum muslim. Dan tatkala raja Guy memberikan air minum itu kepada Arnett, maka Salahuddinpun teringat akan prinsip menjamu tamu dan keksatriaan sejati pada bangsa Arab muslim, yaitu bahwa seseorang jika memberi minuman dan makanan kepada seorang tawanan perang, maka hal itu berarti ia membiarkannya hidup dan tak boleh membunuhnya. Inilah yang menafsirkan kepada kita bagaimana Salahuddin bersegera memastikan bahwa Arnett telah minum tanpa seizinnya. Kemudian Salahuddin menoleh ke Arnett sambil mengingatkannya kembali tentang kejahatan-kejahatan, dan pelanggaran-pelanggaran yang ia lakukan terhadap kaidah hormat kepada agama, kemuliaan, dan keksatriaan.
Herannya Arnett, yang ketika itu berada dalam tawanan perang dan di bawah belaskasihan Salahuddin, justeru membalasnya dengan sangat brutal dan tak senonoh, maka Salahuddinpun mencabut pedangnya lalu menebas kepalanya.
Salahuddin lalu melihat bahwa raja Salib Guy Luzegnann mulai gemetar ketakutan lantaran ia mengira bahwa iapun akan bernasib serupa dengan Arnett, namun Salahuddin justeru menaruh tangannya di pundaknya sambil menenangkannya bahwa etika keksatriaan mengajarkan (bahwa raja tidak akan pernah membunuh raja). Lain halnya dengan Arnett, ia telah kelewat batas, maka terjadilah terhadapnya apa yang terjadi.
Tak lama kemudian Salahuddin membebaskan raja Salib yang ditawan itu setelah ia bersumpah kepada Salahuddin untuk tidak lagi memerangi kaum muslim, dan bahwa ia akan segera meninggalkan Tahin menuju pantai dan dari sana ia akan berlayar pulang ke negerinya. Salahuddin percaya pada sumpah yang raja Salib itu ucapkan kepadanya maka iapun mengerahkan sejumlah tentaranya untuk mengawalnya hingga ia selamat tiba di pantai, namun di tengah perjalan menuju kota Tripoli, raja Salib itu berjumpa dengan seorang pemuka agama dari kaum Salib yang membolehkannya ingkar dari sumpahnya yang ia ucapkan kepada Salahuddin, dengan alasan bahwa sumpah itu diucapkan dibawah tekanan dan kepada seorang non-kristiani, oleh karenanya di mata gereja hal itu dianggap tidak sah. Dengan demikian Guy menemukan sandaran hukum dari petuah pemuka agama tersebut untuk meingkari sumpahnya dan melanggar jamji-janjinya kepada Salahuddin. Akhirnya Guy kembali berperang melawan Salahuddin. Demikianlah perilaku raja Salib Guy Lozegnann merupakan contoh keksatriaan mayoritas raja dan pangeran kaum Salib.
Di antara peristiwa-peristiwa yang sangat menakjubkan, adalah peristiwa yang berlangsung antara Salahuddin dan penguasa kota Ramalah pangeran Salib Palyan.
Pangeran Salib ini melarikan diri dari Tahin beberapa hari menjelang kekalahan kaum Salib, ia berlindung ke kota Shour, sementara isterinya berada di kota Jerusalem.
Pasca kemenangan Salahuddin di Tahin dan menjelang penyerbuannya ke Jerusalem untuk membebaskan kota itu dari tangan kaum Salib, pangeran Palyan meminta kepada Salahuddin agar ia diberikan kesempatan pergi dari Shour ke Jerusalem guna mengeluarkan isterinya dari kota itu, ia berjanji untuk tidak mengangkat senjata melawan Salahuddin dan untuk tidak menginap di Jerusalem kecuali satu malam. Maka Salahuddinpun senyetujuinya. Tetapi yang terjadi adalah bahwa ketika Palyan tiba di Jerusalem, ia ditahan oleh kaum Salib yang mendesaknya untuk tetap tinggal di Jerusalem demi mempertahankan kota itu melawan Salahuddin, apalagi raja mereka Guy Lozegnann telah ditawan di Tahin. Pangeran Palyan mendapati dirinya berada dalam situasi bahaya yang tidak menguntungkan, lantaran ia adalah seorang ksatria Salib sejati dan tahu betul akan etika keksatriaan. Ia telah berjanji kepada Salahuddin untuk tidak mengangkat senjata melawannya. Oleh karena itu, jika ia mengikuti keinginan kaum Salib di Jerusalem maka dengan demikian ia telah ingkar janji dan melanggar kaidah keksatriaan. Palyan tidak menemukan solusi apapun atas situasi moral yang tidak menguntungkan itu kecuali pergi untuk bertemu langsung dengan Salahuddin guna meminta pendapatnya tentang apa yang sepatutnya ia kerjakan, padahal Salahuddin ketika itu sedang bersiap siaga untuk mengepung Jerusalem dalam rangka membebaskan kota itu dari tangan kaum Salib.
Palyan akhirnya bertemu dengan Salahuddin yang ketika itu merasa sangat kagum dengan moral Palyan, maka Salahuddinpun membebaskan ksatria Salib sejati ini dari janji-janji dan sumpah yang telah ia ucapkan kepadanya, seraya berkata kepadanya: ”Jika kewajiban berperang memaksamu untuk tetap tinggal di Jerusalem demi mengangkat senjata, maka hendaknya kamu kerjakan itu”.
Keksatriaan Salahuddin terlihat jelas ketika ia menyiapkan dan mengerahkan pengawalan kepada isteri Palyan demi mengamankan perjalanannya ke kota Shour lantaran suaminya sedang sibuk dengan urusan peperangan demi mertahankan Jerusalem melawan Salahuddin.
Kelihatannya Salahuddin amat mengagumi keksatriaan Palyan yang sangat jarang didapat di antara para pangeran kaum Salib. Oleh karena itulah maka Salahuddin, seperti penuturuan seorang peneliti, tak pernah menolak suatu permintaan dari seorang ksatria yang memegang teguh etika sikap mulia dan keksatriaan sejati walau orang itu ialah musuhnya yang paling bengis sekalipun.

Perdamaian bagi tawanan perang Jerusalem
                           Salahuddin menyelesaikan persoalan tawanan perang Jerusalem dengan sangat santun dan mulia. Sebagaimana diketahui Salahuddin membebaskan Jerusalem secara damai pada tahun 1187 masehi, dimana kaum Salib menyerahkan kota itu kepada Salahuddin tanpa pertumpahan darah setelah ditandatangani perjanjian damai.
                           Perjanjian damai itu berbunyi di antaranya:
-                          Membolehkan kaum Salib untuk meninggalkan Jerusalem secara damai dan membawaserta seluruh harta benda mereka, dengan syarat membayar uang tebusan sebesar 10 dinar bagi setiap lelaki dewasa, 5 dinar bagi setiap perempuan dewasa, dan 1 dinar bagi setiap anak kecil.
-                          Memberikan tenggat waktu 40 hari agar masing-masing dari para tawanan perang itu mengurus dan mencari uang tebusan yang diminta.
-                          Menghormati tempat-tempat suci Kristen di Jerusalem dan membolehkan kepada orang-orang Eropa untuk melakukan ziarah keagamaan ke Jerusalem.
                           Atas dasar itu, maka dibebaskanlah ribuan dari tawanan kaum Salib. Akan tetapi tatkala tenggat waktu telah berakhir, masih banyak ribuan kaum Salib fakir miskin yang tak mampu membayar uang tebusan atas diri mereka lalu mereka berkumpul di pintu-pintu gerbang Jerusalem sambil meminta-minta kepada Salahuddin dan para ksatria muslim.
Disinilah keksatriaan Salahuddin terlihat jelas, dimana ia setuju atas usulan Palyan agar membebaskan 7.000 tawanan perang dari kaum Salib dengan bayaran uang tebusan sebesar 30.000 dinar. Dengan demikian uang tebusan bagi setiap lelaki dewasa menjadi sekitar 4 dinar dari 10 dinar. 
Salahuddinpun mengabulkan permintaan saudaranya Adel Al Ayubi agar menyetujui membebaskan 1.000 tawanan perang dari golongan fakir miskin tanpa uang tebusan. Ia mengabulkan permintaan pemimpin suci Salib di Jerusalem agar membebaskan 700 tawanan perang tanpa uang tebusan. Lebih dari itu iapun mengabulkan permintaan Palyan, sekali lagi, agar membebaskan 500 tawanan perang kaum Salib dari orang-orang fakir miskin tanpa uang tebusan.
Salahuddin memerintahkan kepada aparatnya agar membebaskan seluruh tawanan perang dari kaum Salib yang tua renta, baik lelaki maupun perempuan, tanpa uang tebusan.
Kemudian ia menyetujui permintaan kaum perempuan Salib yang telah membayar uang tebusan atas diri mereka sendiri, agar ia membebaskan tawanan suami-suami, anak-anak dan orang-tua-orang tua mereka, Salahuddin memerintahkan aparatnya agar memberikan kepada setiap janda dan anak yatim bantuan keuangan dari kas peribadinya sebelum mereka pergi ke negeri asal mereka.
Pada hakikatnya setiap orang pasti akan terheran-heran jika ia sekiranya membanding-bandingkan sikap Salahuddin kepada para tawanan perang kaum Salib di Jerusalem pada tahun 1187 masehi, dengan sikap raja Inggris Richard the Lion Heart kepada tawanan perang kaum muslim di Akka pada tahun 1191 masehi, dimana raja Richard memerintahkan kepada pasukannya untuk membantai seluruh tentara muslim di Akka, berjumlah 2.700 orang, beserta isteri-isteri dan anak-anak mereka, walau sang raja sendiri telah mengikat perjanjian dengan tentara muslim bahwa ia dan tentara Salibnya akan menjamin keselamatan kehidupan seluruh tentara muslim.
Seperti itulah keksatriaan Barat sebagaimana telah diperlihatkan oleh raja Richard, satu dari raja-raja Barat yang paling agung di abad pertengahan.
Para peneliti Baratpun menyaksikan secara langsung perlakuan bijak yang dilakukan oleh Salahuddin kepada kaum Salib tatkala ia membebaskan Jerusalem, dimana ia melarang seluruh tentaranya untuk menyerang siapapun dari kaum Salib, bahkan ia membentuk kelompok-kelompok tentara muslim yang bertugas melakukan patroli keliling kota Jerusalem dalam rangka menghalang-halangi segala bentuk kekerasan atau perbuatan balas dendam terhadap kaum kristiani. Ia membolehkan orang-orang Arab Kristen untuk pulang ke kampung halaman mereka di Jerusalem agar mereka dapat menikmati kembali hak-hak yang mereka miliki sebelum kaum Salib menindas dan mengusir mereka dari sana tatkala kaum Salib menduduki Jerusalem tahun 1099.
Ketika membebaskan Jerusalem, Salahuddinpun memperlihatkan sikap hormat yang tinggi pada tempat-tempat suci Kristen. Maka ketika sebagian dari kaum muslim meminta darinya untuk meruntuhkan gereja Kiamat, sebagai bentuk balas dendam atas apa yang kaum Salib lakukan terhadap tempat-tempat suci Islam tatkala mereka menduduki kota itu, iapun menolak dengan tegas permintaan mereka, malah ia melipatgandakan pengawalan terhadap gereja-gereja dan tempat-tempat suci kaum Kristiani.
Para peneliti Baratpun membanding-bandingkan sikap mulia Salahuddin terhadap kaum Salib tatkala ia membebaskan Jerusalem, dengan apa yang kaum Salib lakukan ketika 88 tahun sebelumnya, mereka menduduki kota itu, dimana para panglima perang Salib ketika itu berbangga diri bahwa mereka telah membumihanguskan Jerusalem, merampas, mencuri, dan menyerbu rumah-rumah dan masjid-masjid, sambil membunuh dan membantai penduduknya, sehingga jalan-jalan raya Jerusalem dibanjiri oleh darah para penduduk muslim.
Yang mengejutkan bahwa para tawanan perang kaum Salib yang dibebaskan oleh Salahuddin tanpa uang tebusan itu kemudian mengalami petaka, bukan dari Salahuddin dan tentaranya, tetapi justeru di tangan saudara-saudara seiman mereka, dimana kaum Salib pantai di Tripoli, Antakya, dan Shour menolak dengan tegas kedatangan mereka ke kota-kota tersebut, malah sebagian dari kaum Salib pantai itupun merampas harta benda para tawanan perang tersebut.
Begitu pula para pemilik kapal laut menolak untuk mengangkut para tawanan perang Salib yang miskin, dari pantai-pantai di negeri Syam dan Mesir ke negeri asal mereka di Eropa, kecuali jika mereka sekiranya mau membayar mahal ongkos perjalanan.
Hal inilah yang mendorong para tentara Salahuddin campurtangan dan memaksa para pemilik kapal laut itu agar bersedia mengangkut mereka dengan cuma-cuma.
Para sejarawan di masa itu menuturkan secara rinci sikap mulia Salahuddin terhadap pemimpin suci Jerusalem, dimana Salahuddin mengabulkan permintaan pemimpin suci itu agar ia membebaskan sejumlah tawanan perang Salib dari golongan yang miskin tanpa uang tebusan.
Demikian pula Salahuddin membiarkan pemimpin suci itu untuk meninggalkan Jerusalem dengan membawa serta seluruh harta kekayaan yang dimilikinya, malah ia menyiapkan baginya pengawalan khusus demi menjamin keselamatan jiwanya tiba di kota Shour tanpa seseorang dapat mengganggunya. Pemimpin suci Jerusalem itu sendiri hanya membayar uang tebusan sebesar 10 dinar. Ibnu Al Athir menuturkan dalam bukunya “Al Kamil fii Attarikh” bahwa “pemimpin suci itu keluar membawa serta harta kekayaan gereja-gereja (tiada seorangpun yang tahu selain Allah Ta’ala)”.
Kelihatannya kejadian yang demikian itu telah memicu rasa heran sejumlah tentara Salahuddin, apalagi mereka melihat langsung bahwa pemimpin suci itu meninggalkan Jerusalem dengan membawa serta beberapa kereta kuda yang berisi penuh emas, barang-barang berharga, dan cerek-cerek yang dilapisi logam mulia. Dan kelihatannya seorang penasehatnya membisiki Salahuddin bahwa (pemimpin suci itu membawa serta harta kekayaan yang nilainya tak kurang dari 200.000 Dinar, dan kita telah membolehkan kepada mereka untuk membawa serta barang-barang milik peribadi mereka, namun bukankah sebaiknya kita melarang mereka untuk membawa serta barang-barang inventaris gereja dan monastri), maka Salahuddinpun berkata kepadanya bahwa ia tidak akan pernah mengkhianati pemimpin suci itu, bahwa ia akan pegang perjanjian-perjanjian dan janji-janji yang ia ikat dengan kaum Salib, dan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan seorangpun untuk melontarkan tuduhan bahwa kaum muslim itu ingkar kepada janji-janji dan perjanjian-perjanjian mereka, dan bahwa kaum Salib tak akan pernah lupa akan sikap santun dan mulia yang kita persembahkan kepada mereka”.

Salahuddin menghormati kaun perempuan Salib
                           Menyusul kemenangan-kemenangannya atas kaum Salib, iapun memperlakukan mulia kaum perempuan Salib, di antara mereka ialah isteri-isteri para pangeran yang berperang melawannya di Tahin. Maka pasca perang Tahin, Salahuddin menjamin keamanan pangeran puteri Tabaria, bernama Achivia. Ia memperlakukannya dengan santun dan mulia, dimana pangeran puteri itu dapat meninggalkan kota Tabaria beserta putera-puteri, karib kerabat dan harta bendanya dengan rasa aman dan tenteram, bahkan Salahuddinpun memerintahkan pasukannya untuk mengawal pangeran puteri itu dalam perjalanannya untuk bergabung dengan suaminya, Raymond pangeran Tripoli.
Tatkala Salahuddin membebaskan Jerusalem, iapun membebaskan ratu Sabella, permaisuri raja Salib Guy Lozegnann, mengizinkannya untuk menyusul suaminya, membolehkannya untuk membawa serta seluruh harta benda yang dimilikinya dan karib kerabat yang ikut menyertainya.
Salahuddinpun memperlakukan dengan hormat dan mulia janda pangeran Arnett, membebaskannya dari tawanan perang, membolehkannya keluar dari Jerusalem bersama para pengikutnya, mengabulkan permintaannya agar Salahuddin membebaskan puteranya yang menjadi salah seorang tawanan perang ketika saudara kandungnya Adel Al Ayubi membebaskan dua benteng Kirk dan Shobik.
Salahuddin memperlakukan dengan hormat dan mulia kaum perempuan Bizentium bersama pelayan-pelayan mereka yang berada di Jerusalem ketika ia membebaskan kota itu, yang sebagian dari mereka ialah permaisuri-permaisuri para raja Bizentium. Ia memberikan rasa aman kepada mereka, membolehkan mereka untuk membawa serta harta benda yang mereka miliki, dan memberikan pengawalan khusus kepada mereka dalam perjalanan mereka menuju ke negeri mereka.

Sikap santunnya kepada kaum papa dan balita
                           Keksatriaan Salahuddin tak hanya terbatas pada kaum lelaki dan perempuan dewasa, namun juga meliputi kaum papa dan balita.
Di antara sikap santun dan mulia Salahuddin itu, adalah apa yang diriwayatkan oleh sumber-sumber sejarah bahwa pada tahun 1191 di Beirut bangsa Arab muslim menawan sekitar 45 warga Salib, mereka semuanya dibawa ke Salahuddin yang ketika itu sedang berperang melawan kaum Salib di kawasan Akka. Ibnu Shadaad yang ketika itu menjadi saksi mata atas peristiwa tersebut menuturkan ”Aku menyaksikan suatu sikap santun dan mulia darinya yang tak pernah aku saksikan sebelumnya, hal itu lantaran di antara para tawanan perang itu ada seorang tua renta, ompong tak bergigi, dan tak mempunyai kekuatan apapun kecuali sekedar untuk menggerakkan tubuhnya saja, lalu Salahuddin berkata kepada penerjemahnya: ”Tanyakan kepadanya apa yang membuatnya datang kesini dalam usia tua seperti itu? Berapa jauh jarak dari sini ke negerinya? Maka orang tua renta itupun menjawab: ”Negeriku jauhnya ditempuh dalam waktu sepuluh bulan, sedang kedatanganku adalah dalam rangka ziarah suci ke gereja Kiamat”. Lalu Salahuddinpun merangkul, membebaskan, dan memulangkannya dengan menunggang kuda ke markas musuhnya”. Ibnu Shadaadpun meriwayatkan sebuah kisah bahwa seorang muslim menyerbu sebuah kemah kaum Salib dan menculik seorang anak bayi berusia tiga bulan dari kemah itu, ketika ibu anak bayi itu merasa kehilangan akan buah hatinya itu maka ia tak henti-hentinya menangis sepanjang malam, lalu ia meminta pertolongan, maka para pangeran Salib menyuruhnya agar ia pergi ke markas Salahuddin, mereka menggambarkan kepada ibu itu bahwa Salahuddin ialah seorang berhati mulia dan tak akan pernah menolak permintaannya.
Demikianlah, ibu anak bayi itupun pergi ke markas Salahuddin sambil menangis sejadi-jadinya, lalu Salahuddin bertanya kepada anak buahnya tentang apa yang sedang dihadapi oleh perempuan itu, lalu anak buahnya menceritakan kepadanya, maka Salahuddinpun meneteskan airmata dan menyuruh anak buahnya untuk mencari anak bayi itu dan membawanya segera kepadanya. Ia tetap berdiri tak beranjak dari tempatnya sampai anak bayi itu dibawa kepadanya dan diserakan kepada ibunya kemudian iapun menyuruh anak buahnya agar ibu dan anak bayinya diantar pulang ke markas kaum Salib dengan menunggang kuda, di tengah kekagumam dan keterkejutan orang-orang atas sikap mulia dan santunnya.

Kisahnya bersama Richard the Lion Heart

                           Raja Inggris Richard the Lion Heart ikut berperan serta dalam perang Salib ke-3 antara tahun 1189-1191, yang bertujuan mengembalikan apa yang telah dibebaskan oleh Salahuddin. Pertempuran-pertempuran sengit terjadi antara Richard dan Salahuddin. Richard berusaha masuk ke Jerusalem namun mengalami kegagalan fatal, yang pada gilirannya memaksanya menandatangani perjanjian damai Ramallah dengan Salahuddin tahun 1192, setelah itu Richard meninggalkan Palestina untuk pulang ke negerinya. Ada beberapa peristiwa tentang sikap kemanusiaan Salahuddin terhadap musuhnya raja Richard. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Salahuddin mendengar bahwa Richard kehilangan kuda tunggangannya di pertempuran Yafa tahun 1191, maka Salahuddin mengirim kepadanya dua kuda di antara kuda-kuda terbaiknya, karena ia memandang bahwa seorang ksatria sejati seperti dirinya tidak layak bertempur dengan berjalan kaki. Sumber-sumber sejarahpun bercerita banyak tentang sikap Salahuddin terhadap Richard ketika sang raja itu menderita sakit pada tahun 1192. para sejarawan menuturkan bahwa Richard pada waktu sakit mengirim utusan meminta kepada Salahuddin buah-buahan, es salju, dan makanan lain. Salahuddinpun tak ragu untuk segera mengabulkan permintaannya, dimana ia mengirim segala apa yang dibutuhkannya selama sakitnya.       
                           Richad merasa kagum atas sikap luhur dan mulia Salahuddin, lalu para utusannya selalu datang bergiliran ke markas Salahuddin untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan pernghargaan kepadanya. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa Salahuddin merasa sangat sedih atas keadaan kesehatan Richard dalam fase-fase sakitnya. Ia mengirim dokter peribadinya, yang berhasil menyembuhkan penyakitnya. Salahuddin ialah contoh tauladan keksatriaan Arab muslim di masa perang Salib, iapun merupakan suber daripada setiap sikap berani, rasa mulia, santun, toleransi, dan sikap adil. Keksatriaannya memperoleh rasa hormat dan perhargaan dari Barat. Jika kebanyakan penulis Barat mengakui bahwa ia adalah seorang musuh yang paling mulia sepanjang zaman, maka para ksatria Barat berharap jika Salahuddin adalah seorang kristiani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar