Rabu, 13 Februari 2013

Al Qur’an Al Karim: Batu ujian, penutup, universal dan kekal


          Allah Ta’ala berfirman: {Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu}.[1]
Yang dimaksud dengan {Batu ujian} bahwa Al Qur’an Al Karim adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.
Dalam penjelasannya tentang ayat di atas[2] Attabari mengatakan: “Dan Kami telah turunkan Al Qur’an yang Kami turunkan kepadamu, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, menjadi saksi terhadap kitab-kitab itu bahwasanya benar dari sisi Allah, dan menjadi penjaga dan pemelihara bagi kitab-kitab itu”.
Maka maksud dari batu ujian Al Qur’an terhadap kitab-kitab yang lain itu bahwa Al Qur’an datang dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, memelihara, menjaga dan menjadi saksi terhadap kitab-kitab itu sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu}.[3]

1- Pengertian batu ujian Al Qur’an terhadap kitab-kitab sebelumnya
Al Qur’an adalah batu ujian terhadap kitab-kitab sebelumnya, dengan membenarkan diturunkannya kitab-kitab itu dari sisi Allah, memelihara pokok-pokok ajakan nabi-nabi yang kepada mereka kitab-kitab itu diturunkan, yaitu ajakan ketauhidan, menjadi saksi terhadap orang-orang yang beriman kepada kitab-kitab itu ketika diturunkan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berkenan kepada perintah Allah dan terhadap orang-orang yang mendustainya, bahwasanya mereka adalah orang-orang yang membangkang kepada-Nya maka mereka berhak mendapatkan murka-Nya.
Al Qur’an memegang teguh pemeliharaan, pembenaran dan kesaksian itu, menjadi penjaga amanat dengan memberitahukan tentang kitab-kitab sebelumnya dan penganut-penganutnya, dan menjadi pengawas terhadap kitab-kitab itu. Itulah makna dari membenarkan apa yang sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab itu dari firman Allah Ta’ala: {Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu}.[4]
Hassan bin Tsabit dalam pujiannya kepada Rasulullah s.a.w. dan penjelasannya tentang batu ujian Al Qur’an mengatakan: “Sesungguhnya Al Qur’an adalah batu ujian bagi nabi kita dan kebenaran yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berakal”.
Al Qur’an di samping sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab sebelumnya, juga membenarkan kitab-kitab itu, menyempurnakan, mengungkapkan letak-letak perubahan dan pemalsuan di dalamnya, dan menjelaskan secara terperinci hukum-hukum yang telah ditetapkan di dalam Al Qur’an. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Tidaklah mungkin Al Qur’an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur’an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam}.[5]Dan firman-Nya: {Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman}.[6]
Persamaan antara Al Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya terletak pada pokok-pokok dan maksud-maksud diturunkannya kitab-kitab itu, yaitu mengajak kepada kebaikan dan memberi petunjuk bagi manusia.
Taurat dan Injil diturunkan Allah Ta’ala untuk memberi petunjuk kepada manusia. Demikian pula Al Qur’an, dengan tetap memegang teguh cirikhas-cirikhasnya yaitu membenarkan kedua kitab itu, menyempurnakan, dan memperbaiki apa yang ada di dalam kedua kitab itu. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Alif laam miim. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan Al kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al Qur’an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; Dan Allah Maha Perkasa lagi Mempunyai alasan (siksa)}.[7]
Demikian pula maksud dari batu ujian Al Qur’an terhadap kitab-kitab sebelumnya, bahwa Al Qur’an memiliki sifat sebagai bahan rujukan dan pengawasan terhadap perubahan, pengubahan, penyembunyian dan pembatalan yang menimpa kitab-kitab sebelumnya, maka Al Qur’an dengan demikian meluruskan sejarah, menegakkan masa kini, dan mengarahkan masa depan.
Batu ujian Al Qur’an terhadap kitab-kitab sebelumnya itu mencakup:

Pertama: Pengulangan
Al Qur’an mengulangi penyampaian kejadian-kejadian besar yang disebutkan dalam kitab-kitab sebelumnya dan menceritakan kembali kejadian-kejadian itu, secara jelas dan rinci, termasuk suri teladan, pelajaran, dan nasehat yang terdapat di dalamnya. Di antaranya adalah kisah-kisah Al Qur’an yang meliputi kisah-kisah para nabi, rasul dan umat mereka, sebagai kemuliaan bagi Nabi Muhammad s.a.w. dan keteguhan bagi hatinya, dan sebagai penjelasan dan petunjuk bagi umatnya. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman}.[8]
Al Qur’an mengambil dari kisah-kisah para nabi itu sebagai sandaran bagi peneguhan argumennya tentang ketauhidan, tentang perjalanan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berdusta, dan tentang pembuktian kebenaran penutup kenabian dan risalah.
Kisah-kisah Al Qur’an juga mencakup penjelasan tentang kesaksian-kesaksian yang baik atas hasil-hasil kepatuhan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum pada umat-umat sebelumnya yang pada gilirannya mendukung berlakunya ketentuan-ketentuan hukum tersebut, sesuatu yang telah disepakati dalam kitab-kitab samawi. Di antaranya kisah-kisah Bani Israil yang diceritakan Al Qur’an tentang penjelasan hukuman kisas dalam Taurat dan pembenaran Injil kepada hukuman tersebut. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa}.[9]
Al Qur’an datang dengan menjelaskan bahwa ketentuan kisas itu memberikan rasa aman bagi kehidupan. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa}.[10]
Ketentuan kisas itu ketentuan yang kekal dan Al Qur’an menguatkan ketentuan itu, yang sebelumnya telah ada dalam Injil, sedang Injil membenarkan apa yang sebelumnya telah ada dalam Taurat, maka Al Qur’an membenarkan apa yang telah ada dalam Taurat dan Injil.

Kedua: Penyerapan
Al Qur’an menyerap lebih banyak kejadian-kejadian tentang para nabi, rasul dan umat terdahulu. Di antaranya: Al Qur’an menceritakan Nabi Ibrahim a.s. dan ajakannya untuk menyembah Allah dan larangannya untuk menyembah berhala sejak usia muda. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim "}.[11]
Padahal kitab-kitab sebelumnya seperti Taurat menceritakan Nabi Ibrahim a.s. dan ajakannya untuk menyembah Allah ketika dia berusia tujuh puluh lima tahun, namun demikian apa yang disampaikan oleh Al Qur’an itu lebih penting dibandingkan dengan penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh kitab-kitab sebelumnya, karena Al Qur’an menyerap lebih banyak pelajaran dan nasehat, dimana Al Qur’an mengambil dari kehidupan para nabi dan rasul itu sesuatu yang merupakan nilai-nilai luhur yang tercermin dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu apa yang disampaikan oleh Al Qur’an tentang ketentuan-ketentuan kitab-kitab sebelumnya itu tidaklah membuatnya keluar dari keasliannya, yaitu membenarkan kitab-kitab sebelumnya bahwasanya datangnya dari sisi Allah. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa}.[12]
Al Qur’an menyerap kebenaran dan kebaikan yang disampaikan oleh kitab-kitab sebelumnya dan mengamalkannya agar dapat melampaui batas-batas kemanusiaan untuk membangun bagi manusia masa depannya, karena para nabi dan rasul semuanya adalah saudara, masing-masing dari mereka datang untuk menyempurnakan kenabian dan kerasulan sebelumnya, sampai Allah Ta’ala mengutus penutup para nabi dengan kerasulannya yang menyeluruh, yang mencakup seluruh syariat dan hukum dalam bentuknya yang terakhir, sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab sebelumnya. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). Dan mereka (ahli Kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu}.[13]

Ketiga: Pelampauan
          Yang dimaksud dengan pelampauan disini adalah pelampauan batas-batas waktu, tempat dan kebangsaan. Walau sebagian di antara ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Al Qur’an adalah ketentuan-ketentuan yang ada di dalam kitab-kitab sebelumnya, namun Al Qur’an datang dengan ketentuan-ketentuan yang lebih baik, lebih sempurna, lebih lengkap dan lebih mudah. Demikianlah maka Al Qur’an menghalalkan segala yang baik, mengharamkan segala yang buruk, dan membuang beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada umat-umat terdahulu, sebagai bentuk keringanan dan kemudahan.
Di dalam Al Qur’an tidak ada lagi beban-beban berat yang di dalam kibab-kitab sebelumnya dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: Mensyari'atkan membunuh diri bagi sahnya taubat, mewajibkan kisas pada kejahatan pembunuhan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung}.[14]
Di atas itu semua Al Qur’an melepas beban akibat kesalahan, lupa dan paksaan, tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya, dan menambah maaf, ampunan dan rahmat. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir}.[15]
          Sebagian dari ayat-ayat Al Qur’an meneguhkan sebagian yang lain dalam kaitannya dengan batu ujian terhadap kitab-kitab sebelumnya dan saksi bagi ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya. Maka tidaklah benar berita-berita di dalam kitab-kitab sebelumnya yang bertentangan dengan Al Qur’an, bahkan di antara bentuk-bentuk dari batu ujian Al Qur’an itu bahwa dia merupakan nasikh bagi kitab-kitab sebelumnya, dan saksi bagi ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.
          Imam Ar Razi dalam tafsirnya tentang ayat terakhir dari surat Al Maa-idah mengatakan: “Di dalam ayat suci tersebut terdapat banyak rahasia. Sesungguhnya surat Al Maa-idah meliputi ragam jenis ilmu. Diantaranya penjelasan tentang syariat-syariat, hukum-hukum, dan beban-beban. Di antaranya perdebatan dengan orang-orang Yahudi tentang pengingkaran mereka terhadap syariat Muhammad s.a.w. Di antaranya perdebatan dengan orang-orang Nasrani tentang perkataan mereka tentang trinitas, maka surat Al Maa-idah menutup surat itu dengan ayat penutup: {Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu}.[16]
         
2- Pengubahan kitab-kitab sebelumnya
Hawa nafsu telah merasuk ke dalam jiwa orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Kajian-kajian perbandingan agama meneguhkan itu, yang pada gilirannya memastikan batu ujian Al Qur’an terhadap kitab-kitab sebelumnya.
Al Qur’an datang mengisahkan Bani Israil yang hidup pada waktu Al Qur’an diturunkan, menjelaskan kepada mereka perkara-perkara yang mereka berselisih tentangnya sehingga sebagian dari mereka mengutuk sebagian yang lain. Al Qur’an diturunkan untuk menjelaskan kepada mereka dan memberi petunjuk kepada mereka ke jalan yang benar yang jika mereka mengikutinya pastilah mereka tidak berbeda pendapat. Di antaranya adalah Taurat dan Injil yang telah mereka ubah.
Pengubahan disini bermakna lafazi dan maknawi. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui}.[17]
Dan Allah Ta’ala berfirman: {Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan}.[18]
Tentang pengubahan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, Al Qur’an menjelaskan: {Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui}.[19]
Dan firman-Nya: {Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya}.[20]
Al Qur’an memperlihatkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam mengubah kitab-kitab mereka, mereka memutar-mutar lidah mereka membaca Al Kitab, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, Padahal ia bukan dari Al kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", Padahal ia bukan dari sisi Allah. mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui}.[21]
Orang-orang Nasrani mengikuti orang-orang Yahudi sengaja melupakan apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya, dengan memalsukan dan menyembunyikan ayat-ayat Injil. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan di antara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; Maka kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan}.[22]
Inilah ungkapan kepada ahli kitab dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, agar mereka mengikuti kebenaran yang disampaikan oleh Al Qur’an, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Katakanlah: "Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu}.[23]
Karena orang yang beriman kepada apa yang diturunkan dalam Al Qur’an, merupakan orang yang beriman kepada agama Yahudi yang sejati, dan orang yang beriman kepada agama Nasrani yang benar.
Sebagian pakar menganggap bahwa Al Qur’an merupakan dokumen ilmiah yang paling tua yang disampaikan dengan cara tawatur, dengan demikian maka Al Qur’an adalah sumber agama Nasrani dan Yahudi ketika kedua agama itu diturunkan.
Al Qur’an memperingatkan manusia agar jangan lebih sibuk dengan kehidupan dunia ketimbang ingat kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang berpaling dari menegakkan kewajiban mereka sehingga mereka meninggalkan kitab-kitab mereka. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik}.[24]
Ibnu Katsir mengatakan: “Maka Allah membebani dosa kepada ahli kitab sebelum kita karena mereka berpaling dari kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, karena mereka lebih menyukai kehidupan dunia dan lebih sibuk kepada selain dari yang diperintahkan dalam kitab-kitab Allah”.[25]
Al Qur’an juga mengisyaratkan kepada apa yang mereka buang dari ketentuan-ketentuan dan kisah-kisah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya Al Quran ini menjelaskan kepada Bani lsrail sebahagian besar dari (perkara-perkara) yang mereka berselisih tentangnya. Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Sebab itu bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata}.[26]
3- Penutup Kerasulan
          Allah Ta’ala telah memutuskan supaya kerasulan Muhammad s.a.w. merupakan penutup kerasulan samawi dan pilar terakhir dari struktur kenabian samawi. Demikian pula Allah Ta’ala berkehendak agar kesempurnaan-kesempurnaan para nabi berakhir pada sosok Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu kerasulan Muhammad s.a.w. harus menjadi batu ujian terhadap kerasulan-kerasulan sebelumnya, maka kerasulan Muhammad s.a.w. adalah penyempurna dan pelengkap kerasulan-kerasulan sebelumnya dan kekal sehingga Allah Ta’ala mewariskan bumi dan orang-orang yang hidup di atasnya. Demikianlah maka Rasulullah s.a.w. merupakan penutup para nabi dan rasul, dan Al Qur’an merupakan kitab suci terakhir dan batu ujian terhadap kitab-kitab sebelumnya. Tentang hal itu Rasulullah s.a.w. bersabda: (Aku memiliki beberapa nama, aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Al Maahi yang dengannya Allah menghapus kekafiran, aku adalah Al Haasyir yang orang-orang akan dikumpulkan di telapak kakiku, dan adalah Al Aaqib (penutup para nabi) yang tidak ada nabi setelahnya).[27]

4- Kemestiaan-kemestian penutup kenabian
          Di antara kemestian-kemestian penutup kenabian bahwa Al Qur’an itu terbebas dari pengubahan dan perubahan, agar pembebanan menjadi benar menurut akal dan syariat, dan konsekuensinya adalah balasan pahala dan hukuman.  
Penutup kenabiaan berarti bahwa Al Qur’an adalah kerasulan terakhir kepada manusia, tidak ada kitab suci setelah Al Qur’an, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam}.[28]
          Sebagai penutup kenabian maka kerasulan itu harus memiliki cirikhas-cirikhas sebagai berikut:
a-   Kekal dan terbebas dari batas-batas waktu dan tempat, yaitu berlaku pada segala waktu dan tempat.
b-   Berlaku untuk seluruh manusia sebagai bentuk pencapaian bagi keuniversalan.
c-   Memiliki kemudahan untuk dibaca dan diamalkan: {Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?}.[29]
d-   Ketentuan-ketentuannya berdasarkan pada kemudahan bukan kesulitan: {Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu}.[30]
e-   Tidak ada di dalamnya suatu kesempitan: {Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan}.[31]
f-   Pembebanan sesuai dengan kesanggupan: {Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya}.[32]
g-   Bertujuan untuk melepas beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada umat-umat sebelum umat Muhammad: {Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka}.[33]
h-   Doa kaum muslimin selalu dipanjatkan di kesepian malam dan di siang hari: {Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya}.[34]
i-    Kerasulan terakhir itu datang memaparkan Islam dalam bentuknya yang terakhir, agar menjadi agama bagi manusia semuanya, supaya syariatnya menjadi pengarah bagi perjalanan alam semesta, bagi manusia semuanya, agar menjadi batu ujian terhadap syariat-syariat sebelumnya, supaya menjadi rujukan terakhir untuk menegakkan metode Allah bagi kehidupan manusia sesuai dengan ajaran-ajaran Al Qur’an: {Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus}.[35]
j-    Kerasulan terakhir itu terus menjelajahi seluruh alam semesta dengan petunjuk Al Qur’an agar kehidupan manusia berputar di pusarannya, karena kerasulan terakhir itu adalah benar dan kekal:  {Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran}.[36]
k-   Kebenaran itu tercermin dalam Al Qur’an yang diturunkan dari sisi Allah, yaitu sisi yang memiliki hak dalam menetapkan ketentuan-ketentuan dan menerapkan undang-undang, dan kebenaran itu tercermin dalam kandungan Al Qur’an dan dalam perkara-perkara akidah dan syariat yang disampaikan dalam ayat-ayat Al Qur’an, dan seluruh berita yang dikisahkan dan arahan yang terkandung di dalamnya.[37]

5- Rasulullah s.a.w. dan kerasulan dalam kitab-kitab sebelumnya
          Al Qur’an menceritakan kabar gembira kitab-kitab sebelumnya tentang rasul terakhir, kerasulannya yang terakhir, dan apa yang terkandung dalam kerasulan tersebut dari penjelasan batu ujian Al Qur’an terhadap kitab-kitab sebelumnya: {Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)"}.[38]
          Walau pengubahan dan perubahan yang telah menimpa kitab-kitab terdahulu, namun demikian isyarat-isyarat kekal di dalamnya memastikan kabar gembira tentang penutup nabi dengan sifat-sifatnya.
          Bahkan para pemuka agama Yahudi dan Nasrani mengetahui dengan sejelas-jelasnya kebenaran Rasulullah s.a.w. sebagai penutup para rasul, dan mereka menemui tanda-tanda di dalam kitab-kitab mereka yang menunjukkan kepada itu:  {Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar}.[39]
          Beruntunglah di antara mereka orang-orang yang mengetahui kebenaran dan yang mengikuti petunjuk ke jalan yang benar: {Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu}.[40]
          Merugilah orang-orang yang tidak beriman: {Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan}.[41]
Al Qur’an adalah kebenaran, ketentuan dan batu ujian yang menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya, baik ayat-ayat tentang ketentuan-ketentuan hukum, sejarah umat manusia, maupun kisah-kisah para nabi, rasul dan umat mereka, karena Al Qur’an mengandung standar-standar dan pokok-pokok benar yang menjelaskan kebenaran dan memperbaiki perkara-perkara yang mereka berselisih tentangnya. Setelah Al Qur’an tidak ada lagi ruang untuk bersandar pada kitab-kitab sebelumnya, juga tidak ada lagi ruang untuk menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.

6- Batu ujian Al Qur’an terhadap sumber-sumber pengetahuan dan keserasiannya dengan hakikat ilmu.
          Sumber-sumber pengetahuan dalam pandangan Al Qur’an melampaui sumber-sumber pengetahuan dalam pandangan kaum materialism. Jika kaum materialisme tidak memasukkan wahyu dan alam ghaib ke dalam sumber-sumber pengetahuan dan membatasi pengetahuan hanya pada sumber inderawi, maka tidaklah demikian dengan Al Qur’an yang meliputi semua sumber, baik inderawi, wahyu, alam ghaib, maupun penglihatan.
Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur}.[42]
Allah Ta’ala berfirman: {Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata}.[43]
Allah Ta’ala berfirman: {Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?}.[44]
Allah Ta’ala berfirman: {Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu."}.[45]
Dan Allah Ta’ala berfirman: {Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?}.[46]
Lebih dari itu semua, sesungguhnya wahyu dengan cirikhas yang dimilikinya sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab sebelumnya, merupakan salah satu sumber pengetahuan dan ilmu, karena Allah Ta’ala-lah yang menurunkan wahyu dan menjaganya: {Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui}.[47]
          Maha Suci Allah Tuhan semesta alam yang menciptakan seluruh makhluk dan mengajarkan ilmu dan pengetahuan kepada manusia: {Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?}[48]
          Walau ilmu telah maju pesat namun tidak dapat mencatat satupun pertentangan dalam teks Al Qur’an. Bahkan ilmu datang untuk memastikan kebenaran yang diturunkan dalam Al Qur’an. Dan keserasian ilmu dengan Al Qur’an merupakan bukti bahwa Al Qur’an mendahului akal manusia yang terbatas, dan bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu: {Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya}.[49]

7- Batu ujian Al Qur’an terhadap ragam peradaban dan agama:
          Lantaran Al Qur’an merupakan satu-satunya teks samawi yang sampai kepada manusia dengan pola ilmiah yang sahih dan memiliki sifat abadi, maka dia mempunyai sifat batu ujian terhadap teks-teks keagamaan sebelumnya. Demikian pula dia menjadi batu ujian terhadap peradaban-peradaban dan agama-agama sebelumnya, terhadap tradisi-tradisi bangsa Arab Jahiliah, terhadap warisan Persia, Romawi dan Yunani, terhadap mazhab-mazhab dan pemikiran-pemikiran kontemporer, baik yang materialisme maupun yang ateisme, timur ataupun barat.
Al Qur’an selaras dengan fitrah manusia: {Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah}.[50]
          Itulah rahasia di belakang masuknya banyak anak bangsa Eropa ke dalam agama Islam setelah ayat-ayat Al Qur’an menyentuh hati nurani mereka dan membuahkan keimanan kepada Allah Ta’ala: {Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi}.[51]
          Ini adalah di antara makna-makna batu ujian yang paling agung yang para reformis berusaha keras untuk mencapainya dalam kehidupan kita sekarang.
Dengan demikian Al Qur’an akan tetap menjadi kitab suci masa kini dan masa depan, yang tidak datang kepadanya kebatilan sebagaimana halnya dengan kitab-kitab dan filsafat-filsafat terdahulu. Al Qur’an memberi petunjuk kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus, karena Allah Ta’ala menurunkannya seperti ini: {(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran}.[52]
Dan firman-Nya: {Alif laam raa. (Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji}.[53]
          Al Qur’an dengan petunjuknya menghapus dari manusia rekam jejak kesesatan dan cirikhas-cirikhas perilaku materialism yang menyimpang: {Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil}.[54]
          Al Qur’an absah dalam berita-beritanya dan adil dalam ketentuan-ketentuan hukumnya. Ia memberi petunjuk ke jalan yang lebih lurus dalam akidah, syariat dan ritual, dan memberi pedoman kepada kehidupan manusia pada umumnya: {Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus}.[55]
          Maka pandangannya adalah yang lebih lurus, petunjuknya adalah yang lebih sempurna dan lebih baik dalam segala sesuatu, dan Al Qur’an dengan demikian merupakan batu ujian terhadap peradaban-peradaban dan agama-agama sebelumnya.
          Batu ujian Al Qur’an itu lebih merupakan batu ujian maknawi. Di antara saksi-saksinya adalah shalat Rasulullah s.a.w. dua rakaat di dalam Masjidilaqsha sebagaimana disampaikan dalam kisah Israa’ Mi’raj dimana Allah Ta’ala mengumpulkan untuknya rasul-rasul-Nya di Baitilmaqdis dan Allah memerintahkan kepadanya untuk bertanya kepada mereka namun dia tidak bertnya karena tiada keraguan padanya. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu}.[56]Itu adalah bukti bahwa Rasulullah s.a.w. adalah penutup nabi-nabi dan rasul-rasul dan datang dengan firman Allah yang terakhir.
Demikian pula mu’jizat-mu’jizat terdahulu yang datang pada umat-umat terdahulu merupakan mu’jizat-mu’jizat inderawi bagi umat-umat tersebut, akan tetapi mu’jizat Al Qur’an adalah mu’jizat maknawi yang luput dari batas-batas waktu dan tempat, yang datang untuk merambah dan menjadi batu ujian terhadap pemikiran-pemikiran sebelumnya secara sukarela dan tanpa paksaan.
Batu ujian itu bukan berarti kekuasaan dan paksaan: {Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat}.[57]
Karena tidak ada paksaan bagi seorang nabi atau pengikutnya untuk memasukkan seseorang ke dalam agama Islam: {Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?}.[58]
Tetapi batu ujian itu dalam kaitannya dengan penjaminan kebebasan berpikir dan berkeyakinan, karena kebebasan berpikir dan berkeyakinan itu adalah jalan satu-satunya untuk sampai kepada kebenaran. Itulah apa yang ada di dalam Al Qur’an.
Islam bertindak menjamin kebebasan berpikir dan berkeyakinan: {Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan}.[59]
          Asal usul dakwah Islam adalah dakwah sukarela, tanpa paksaan, toleransi, dan kemudahan: {Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir"}.[60]
Tidaklah ketetapan berjihad itu ditegakkan kecuali setelah musuh berinisiatif untuk berperang: {Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah}.[61]
Ketetapan berjihad juga bertujuan untuk mengamankan ibadah dan perannya, melindungi orang-orang non-muslim di samping kaum muslimin, sebagaimana disampaikan oleh ayat-ayat ketetapan berjihad: {Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah}.[62]
Seruan yang tak henti-hentinya kepada ajaran-ajaran Al Qur’an sampai Allah mewariskan bumi dan siapa yang ada di atasnya adalah bukti terhadap batu ujian Al Qur’an.

8- Batu ujian Al Qur’an terhadap sumber-sumber perundang-undangan:
Demikian pula Al Qur’an diturunkan sebagai batu ujian terhadap teks agama-agama sebelumnya dan produk budaya yang lahir di bawah naungannya atau yang bertentangan dengannya, maka dia adalah batu ujian terhadap sumber-sumber perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan hukum.

9- Batu ujian orang-orang yang beriman kepada Al Qur’an terhadap umat-umat yang lain.
Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran, baik di dunia maupun di akhirat. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu}.[63]

          Yang dimaksud dengan kesaksian disini adalah batu ujian. Oleh karena itu di antara bentuk-bentuk batu ujian Al Qur’an itu agar orang-orang yang beriman menjalankan fungsi kepemimpinan umat manusia, memberi petunjuk kepada mereka, memperbaiki perjalanan hidup mereka, dan menyuruh mereka untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar: {Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana}.[64]
          Hal itu dengan mempersiapkan diri dan memiliki kekuatan dalam ragam bentuknya, sebagaimana disuruh dalam Al Qur’an: {Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi}.[65]Dan dengan berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya: {Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya}.[66]

Keuniversalan risalah Al Qur’an:
          Keuniversalan adalah salah satu persyaratan bagi penutup risalah. Dan batu ujian itu termasuk di antara ikutan-ikutan dari penutup risalah, maka datangnya risalah Al Qur’an sebagai penutup risalah-risalah sebelumnya memerlukan batu ujian terhadap risalah-risalah sebelumnya. Maka penutup risalah harus bersifat universal, tidak terbatas pada satu umat tanpa umat yang lain.
Keuniversalan Al Qur’an itu nampak dengan jelas dalam bentuk-bentuk berikut:
  1. Risalah Al Qur’an itu bersifat umum:
Sifat umum itu telah disampaikan bersamaan dengan permulaan wahyu sejak periode makkiyah, dalam banyak surat seperti dalam surat Al An’am yang diturunkan pada periode makkiyah: {Dan Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya)}.[67]
Dan dalam surat Al A’raaf yang juga diturunkan pada periode makkiyah: {Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua}.[68]
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Attabari mengatakan: “Allah Ta’ala berfirman kepada nabi-Nya Muhammad s.a.w.: Katakanlah hai Muhammad kepada manusia semuanya: Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, bukan kepada sebagian daripada kamu tanpa sebagian yang lain, sebagaimana rasul-rasul sebelumku yang diutus kepada sebagian manusia tanpa sebagian yang lain, demikian pula risalahku bukan kepada sebagian daripada kamu tanpa sebagian yang lain, akan tetapi kepada kamu semua”.
Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi Muhammad bersabda: (Aku diberi (oleh Allah) lima perkara, itu semua tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku. Aku ditolong (oleh Allah) dengan kegentaran (musuh sebelum kedatanganku) sejauh perjalanan sebulan; Bumi (tanah) dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sholat) dan alat bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang (waktu) shalat menemuinya, hendaklah dia shalat. Harta rampasan perang dihalalkan untukku, dan itu tidaklah halal untuk seorangpun sebelumku. Aku diberi syafa’at (oleh Allah). Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada manusia semuanya).[69]
Ayat pertama dari surat Al Furqaan: {Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam}.[70]
Dalam menjelaskan cakupan ayat tersebut terhadap risalah Al Qur’an yang bersifat umum, Attabari mengatakan: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan penjelasan secara rinci antara yang hak dan yang batil, surat demi surat, pada hamba-Nya Muhammad, agar supaya Muhammad menjadi penyeru bagi alam semesta yaitu manusia dan jin, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada mereka terhadap hukuman-Nya, dan menakut-nakuti mereka terhadap azab-Nya, jika mereka tidak bertauhid kepada-Nya dan tidak pula tulus beribadah kepada-Nya”.
Risalah Al Qur’an itu bukanlah untuk segolongan manusia tanpa yang lain namun untuk manusia semuanya: {Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui}.[71]
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Attabari mengatakan: “Dan Kami tidak mengutus kamu hai Muhammad khusus untuk golongan musyrikin dari kaummu, akan tetapi Kami mengutus kamu untuk manusia semuanya, bangsa Arab, bangsa non-Arab, berkulit merah ataupun berkulit hitam”.[72]
Maka Nabi Muhammad s.a.w. diutus dengan Al Qur’an untuk menjadi rahmat bagi semesta alam: {Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam}.[73]
Para sahabat radhiaullahu‘anhum paham benar makna ayat tersebut. Mereka merupakan utusan-utusan dakwah dan pembawa petunjuk bagi manusia semuanya, maka mereka mencerminkan itu semua dalam kehidupan mereka, dakwah mereka, dan penaklukan mereka. Inilah satu di antara mereka, Rabi’i bin Amer, tatkala dia berkata kepada Rastam raja Persia: “Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk membawa keluar orang-orang yang dikehendaki-Nya dari para penyembah manusia kepada para penyembah Tuhan manusia, dari kesempitan dunia ke kelapangan dunia, dan dari kesesatan agama-agama ke keadilan Islam”.[74]
Tentang makna firman Allah Ta’ala: {Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam},[75] Attabari mengatakan: “Allah Ta’ala mengingatkan kepada nabi-Nya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu hai Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi siapa orang dari ciptaan-Ku yang kepadanya Kami mengutus kamu”.
Kemudian para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat tersebut, apakah untuk seluruh alam, baik yang beriman di antara mereka maupun yang kafir, ataukah hanya untuk orang-orang yang beriman saja?
Attabari mengatakan: “Pendapat yang pertamalah yang benar, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Allah Ta’ala telah mengutus nabi-Nya Muhammad s.a.w. untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, baik yang beriman di antara mereka maupun yang kafir”.[76]

Seruan universal Al Qur’an ke jalan yang lebih baik:
          Sebagaimana telah diketahui bahwa dasar dari seruan untuk memasuki agama Islam adalah sukarela, menurut pilihan sendiri, dan tanpa paksaan, sebagaimana disampaikan Al Qur’an pada periode makkiyah: {Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?}.[77]
          Dan firman-Nya: {Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya}.[78]
          Dan dasar dari seruan untuk memasuki agama Islam yang bersandar pada sukarela, menurut pilihan sendiri, dan tanpa paksaan itu semakin dipastikan pada periode madaniyah: {Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat}.[79]        
Selama periode makkiyah, dakwah Islam berjalan secara sukarela, menurut pilihan sendiri, dan tanpa paksaan, sampai-sampai orang-orang musyrikin Mekkah mengingkari ajakan Islam kepada ketauhidan, mengingkari kebebasan kaum muslimin dalam menyampaikan dakwah mereka, bahkan mereka cenderung mencederai kaum muslimin, mempersempit ruang gerak, mengepung, dan memboikot mereka, malah sampai batas bersekongkol untuk membunuh Rasulullah s.a.w., padahal Rasulullah s.a.w hanyalah ingin berdakwah kepada ketauhidan dan akhlak mulia.
Pada penghujung periode makkiyah, Rasulullah s.a.w. mulai memperkenalkan dirinya kepada berbagai suku, untuk meminta perlindungan demi menyampaikan risalah Tuhannya. Permintaan itu dikabulkan oleh suku Aus dan Khazraj di Yatsrib, dimana mereka menjanjikan kepada Rasulullah s.a.w. untuk memberi perlindungan dan kemenangan. Dan hijrah ke Madinah merupakan pembukaan bagi kebebasan, mempertahankan, dan menyebarluaskan dakwah Islam.
Lebih dari itu orang-orang musyrikin Mekkah tidak membiarkan dakwah Islam berjalan dengan baik, maka mereka tidak saja mengusir kaum muslimin dari kampung halaman mereka di Mekkah, namun juga mereka berkoalisi dengan orang-orang Yahudi dan suku-suku musyrikin yang lain, untuk mematikan dakwah Islam sejak kelahiran barunya di Madinah, maka tidak ada jalan lain bagi kaum muslimin kecuali berperang demi mempertahankan dakwah Islam, dimana datang kepada mereka izin ilahi untuk berperang, demi mempertahankan kebebasan berdakwah, dari kesesatan yang telah kelewat batas dalam mempersempit ruang gerak, mengepung, dan memboikot. Sesungguhnya izin ilahi untuk berperang itu bukan hanya demi dakwah Islam saja, namun juga demi mempertahankan kebebasan beragama bagi non-muslimin, dan melindungi masyarakat dari kehancuran dan kekacauan.
Ayat-ayat dalam surat Al Hajj tentang izin untuk berperang itu memjelaskan alasan-alasan dan motivasi-motivasi berjihad. Pada umumnya ayat-ayat itu berkisar sekitar peneguhan bagi kebebasan berdakwah, kebebasan beribadah, kebebasan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Yaitu lebih dari apa yang sekarang disebut dengan “kebebasan beragama”: {Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan}.[80]
Dalam kerangka inilah perintah untuk berperang dan seruan untuk berjihad itu datang sehingga kaum muslimin dapat menyampaikan seruan mereka kepada agama Islam dan memberi rasa aman kepada diri mereka: {Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!"}.[81]
Dan firman Allah Ta’ala: {Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman}.[82]
Sesungguhnya asal usul metode “seruan kepada agama Islam” itu berpulang kepada seruan dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan bantahan dengan alasan yang kuat: {Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk}.[83]

Rahmat dan keadilan Al Qur’an yang bersifat umum:
          Sesungguhnya penyampaian rahmat kepada manusia adalah tujuan yang untuknya syariat Islam diturunkan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:  {Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam}.[84]
Oleh karena itu maka Allah Ta’ala memerintahkan umat Islam untuk mengelola urusan manusia, untuk memutuskan dan menetapkan hukum Allah dengan adil, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan asal usul tempat kelahiran: {Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat}.[85]
Attabari dalam menafsirkan ayat tersebut di atas mengatakan: “Itu adalah firman dari Allah kepada para pengelola urusan kaum muslimin agar mereka menyampaikan amanat kepada orang yang berhak dikelola urusannya, dalam kaitannya dengan kewajiban-kewajibannya dan hak-haknya, dan kepada apa yang urusannya diamanatkan kepada mereka, dengan pemberian yang adil, dan dengan pembagian yang rata”.[86]
Di dalam ayat tersebut di atas terdapat petunjuk atas keuniversalan Al Qur’an, bahkan Al Qur’an memperingatkan umat Islam dari motivasi-motivasi yang tidak membawa kepada penegakan keadilan: {Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa}.[87]

Kesaksian umat Islam atas umat-umat yang lain:
          Umat Islam adalah umat yang diberi petunjuk oleh apa yang terdapat di dalam Al Qur’an, umat yang layak menjadi saksi atas umat-umat yang lain: {Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu}.[88]
Umat Islam adalah umat yang adil dan pilihan, yang menjadi saksi atas umat-umat yang lain, yang menilai perbuatan umat-umat yang lain dengan adil dan seimbang, yang meletakkan takaran dan timbangan bagi mereka, yang mengekspresikan pendapatnya lalu pendapatnya itu menjadi pendapat sandaran, yang menakar pendapat-pendapat mereka, tradisi-tradisi mereka dan ritual-ritual mereka, yang mengatakan hak adalah hak dan batil adalah batil, bukan umat yang mengambil dari umat-umat yang lain pendapat-pendapat mereka, nilai-nilai mereka dan takaran-takaran mereka, umat yang menjadi saksi atas umat-umat yang lain, umat yang memutuskan ketentuan hukum dengan adil. Sementara umat Islam menjadi saksi atas perbuatan umat-umat yang lain maka Rasulullah s.a.w. menjadi saksi atas perbuatan umat Islam, lalu mengikrarkan bagi mereka takaran-takaran mereka dan nilai-nilai mereka, menetapkan hukum atas perbuatan-perbuatan mereka dan tradisi-tradisi mereka, menakar apa yang lahir dari perbuatan-perbuatan mereka, maka dialah yang mengatakan kata akhir. Dengan demikian menyatulah hakikat umat Islam dan fungsinya dengannya”.[89]
Yang dimaksud dengan kesaksian disini di antaranya adalah penjelasan kebenaran perkara-perkara yang umat-umat sebelum umat Islam berselisih pendapat tentangnya, pengutukan kebatilan yang telah masuk ke dalam kitab-kitab mereka, dan pengungkapan pemalsuan yang mereka ciptakan.
Umat Islam dengan Al Qur’an Al Karim dan Sunnah Nabi yang mereka miliki adalah umat tolok ukur yang menjadi saksi atas umat-umat yang lain. Allah Ta’ala mengaruniai kepada mereka kepeloporan dan kepemimpinan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia}.[90]
Kesaksian atas umat-umat manusia dan kepemimpinan bagi mereka sesuai dengan metode Al Qur’an Al Karim dan Sunnah Nabi itu merupakan salah satu cirikhas tolok ukur yang paling khusus. Hal itu karena umat Islam adalah umat kerasulan yang terakhir, yang mustahil menurut akal dan realita terperangkap ke dalam kesalahan, karena umat Islam memiliki nilai-nilai tolok ukur yang luput dari kesalahan, yang dicerminkan dengan adanya segolongan dari umat Islam yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah, yang pada gilirannya mensyaratkan adanya keluputan umat Islam dari kesalahan.

Kekekalan Al Qur’an:
          Kekal adalah salah satu persyaratan batu ujian. Batu ujian mempersyaratkan dipeliharanya Al Qur’an, agar sampai kepada manusia semuanya, maka Al Qur’an adalah sesuatu yang kekal. Dan di antara cirikhas-cirikhas kekekalan Al Qur’an:
                  
Pemeliharaan Al Qur’an oleh Allah:
       Di antara cirikhas-cirikhas kerasulan terakhir yang paling menonjol adalah Allah Ta’ala telah memberikan jaminan tentang pemeliharaan, kesucian dan kemurnian Al Qur’an selama-lamanya: {Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya}.[91]
Maksudnya: Sesungguhnya Kami memelihara hukum-hukumnya, ketentuan-ketentuannya, dan kewajiban-kewajibannya dari penambahan yang bukan berasal darinya, atau pengurangan yang merupakan bagian darinya.[92] 
Allah Ta’ala memastikan dalam sebuah hadis qudsi bahwa Dia-lah yang memelihara Al Qur’an: (Sesungguhnya Aku menurunkan kitab kepadamu yang tidak dibersihkan dengan air, engkau membacanya di saat tidur dan jaga).[93]
          Yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala dalam hadis qudsi: (Tidak dibersihkan dengan air) bahwa sesungguhnya Al Qur’an itu dipelihara di dalam dada, tidak akan pernah lenyap, dan kekal.
Sedangkan yang dimaksud dengan firman-Nya: (Engkau membacanya di saat tidur dan jaga) bahwa sesungguhnya Al Qur’an itu dipelihara bagimu di waktu tidur dan jaga.
Dikatakan: Sesungguhnya engkau membacanya dengan lapang dan mudah.
          Pemeliharaan tersebut memastikan kredibelitas teks Al Qur’an, secara lisan maupun tulisan, bebas dari perubahan dan pengubahan, sejak dia diturunkan, dihafalkan di dalam dada oleh orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, dan ditulis pada lembaran-lembaran, sejak masa Rasulullah s.a.w. sampai akhir zaman. Tentang hal itu Allah Ta’ala berfirman: {Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya}.[94]

Kesinambungan AL Qur’an dan mu’jizat-mu’jizatnya:
Di antara kesinambungan Al Qur’an dan mu’jizat-mu’jizatnya bagi alam semesta adalah ketidaksanggupan jin dan manusia untuk membuat yang serupa dengannya sejak dia diturunkan sampai Allah Ta’ala mewariskan bumi dan siapa yang ada di atasnya.
Al Izzu bin Abdussalam menyimpulkan makna-makna mu’jizat dengan mengatakan bahwa mu’jizat adalah:
1-       ringkas dan retorika: {Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu}.[95]
2-      atau jelas dan fasih: {Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu)}.[96] Dan firman Allah Ta’ala: {Maka tatkala mereka berputus asa dari pada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik}.[97]
3-      atau pembacanya tidak merasa bosan.
4-      atau keindahannya semakin bertambah dengan semakin banyak dibaca, tidak demikian halnya dengan yang lain, kian bosan jika dibaca terus-menerus.
5-      atau pemberitahuannya tentang apa yang telah berlalu, seperti kisah ahli kahfi (penduduk gua), Dzulqarnain, Musa dan Khidhr, dan kisah-kisah para nabi.
6-      atau pemberitahuannya tentang apa yang sedang terjadi, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya)}.[98]
          Dan firman-Nya: {Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya}.[99]
7-      Pencakupannya atas ilmu-ilmu yang belum diketahui oleh manusia sebelumnya.
          Para ulama menyimpulkan kemu’jizatan Al Qur’an ke dalam empat sisi yaitu: Mu’jizat dari sisi kejelasan, mu’jizat dari sisi ketentuan hukum, mu’jizat dari sisi ilmu pengetahuan, dan mu’jizat dari sisi berita-berita masa depan yang ghaib.

Mu’jizat Al Qur’an dari sisi kejelasan:
Mu’jizat dari sisi kejelasan menempati kedudukan paling tinggi di antara mu’jizat-mu’jizat yang lain karena dia adalah wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas, yang alam semesta tidak sanggup membuat yang serupa dengannya.
Al Qur’an adalah mu’jizat agung bagi keimanan dan akan tetap seperti itu untuk selama-lamanya, mengajak kepada keimanan, dan memberi berita gembira tentang masa depan.
Barangkali yang paling menarik perhatian dari sisi-sisi mu’jizat Al Qur’an adalah keserasian antara ayat-ayat Al Qur’an dan surat-suratnya, sehingga Al Qur’an dalam keseluruhannya laksana satu surat.
Ibnu Hisyam dalam bukunya Mughni’ullabib menerangkan bahwa ketidaan ‘jawaban’ dalam satu ayat atau satu surat, karena Al Qur’an seluruhnya laksana satu surat. Maka Al Qur’an menyebutkan sesuatu dalam satu surat sedang jawabannya ada dalam surat yang lain, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: {Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila}.[100]
Dan jawabannya ada dalam surat yang lain: {Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila}.[101]
Abu Bakar bin Al Arabi dalam bukunya Sirajulmuridiin melukiskan bahwa “Keterikatan sebagian dari ayat-ayat Al Qur’an dengan sebagian yang lain sehingga menjadi laksana satu kalimat yang bermakna konsisten dan tertata rapih, adalah sebuah ilmu yang agung”.
Dalam melukiskan keterikatan sebagian dari ayat-ayat Al Qur’an dengan sebagian yang lain, Al Zarkasyi menerangkan: “Nampaknya Al Qur’an itu seluruhnya laksana satu kalimat”.[102]
Para pakar bahasa Arab sependapat bahwa mu’jizat Al Qur’an dari sisi kejelasan itu berpangkal dari kefasihan kata-katanya, keindahan tata bahasanya, mudah diucap, enak didengar, dan masuk ke dalam hati.[103]
Mu’jizat Al Qur’an dari sisi kejelasan itu berlangsung terus-menerus sejak Al Qur’an diturunkan. Bangsa Arab yang hidup pada waktu itu tidak sanggup membuat yang serupa dengan Al Qur’an, padahal mereka ketika itu hidup di puncak kefasihan bahasa: {Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar}.[104]
Mu’jizat Al Qur’an dari sisi ketidaksanggupan disertai dengan tantangan bagi manusia untuk membuat yang serupa dengannya disampaikan dalam surat Al Israa’: {Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain"}.[105]
Mu’jizat Al Qur’an dari sisi ketidaksanggupan disertai dengan tantangan bagi manusia untuk mendatangkan sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya disampaikan dalam surat Huud: {Katakanlah: (Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar. Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?}.[106]
Mu’jizat Al Qur’an dari sisi ketidaksanggupan manusia untuk membuat sebuah surat seumpama Al Qur’an disampaikan dalam surat Yunus: {Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar”}.[107]
Surat Al Baqarah yang merupakan surat madaniyyah memastikan ketidaksanggupan dan tantangan bagi manusia untuk membuat satu surat saja yang semisal Al Qur’an: {Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir}.[108]
Ayat-ayat di atas merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Qur’an itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mu’jizat Nabi Muhammad s.a.w.
Ketidaksanggupan dan tantangan bagi manusia untuk membuat yang serupa dengan Al Qur’an itu termasuk di antara cirikhas-cirikhas Al Qur’an yang tetap berdiri tegak hingga kini dan sampai akhir zaman. Hal itu dipastikan oleh kajian-kajian linguistik moderen.
Keindahan tata bahasa Al Qur’an telah membantu para ahli bahasa Arab. Mereka mengetahui keagungan bahasa Al Qur’an. Bahasa Al Qur’an bukanlah seperti bahasa bangsa Arab, selaku penduduk tutur kata dan kefasihan. Bahasa Al Qur’an memiliki cirikhas-cirikhas agung yang dengannya kemu’jizatan itu didapat: {Dan sesungguhnya Al Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji}.[109]
Bangsa Arab telah mengambil manfaat dari bahasa Al Qur’an. Lebih dari itu bahasa Al Qur’an telah mengalihkan bahasa Arab dari bahasa sastera ke bahasa ilmu pengetahuan yang rinci.
Para pakar memperkenalkan dan menegaskan kedudukan bahasa Arab yang tinggi, sebagai dasar untuk pemahaman Al Qur’an.
Imam Syafii mengatakan: “Wajib bagi setiap muslim untuk memperlajari bahasa Arab semampu mungkin, sehingga dia bersaksi dengan bahasa itu bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dengan bahasa itu dia membaca Kitabullah (Al Qur’an), berzikir tentang apa yang diwajibkan padanya dari takbir, tasbih, tasyahud, dan yang lainnya”.[110]
Ibnu Taimiah mengatakan: “Sesungguhnya jiwa bahasa Arab termasuk bagian dari agama, dan pengetahuan bahasa Arab adalah wajib. Sesungguhnya pemahaman Al Qur’an Al Karim dan Sunnah Nabawi itu wajib, maka pemahaman itu tidak dapat dipahami kecuali dengan pemahaman bahasa Arab”.[111]
Abu Ishaq Asy Syatibi dalam bukunya Al Muwafiqaat Fi Ushulisysyari’at memastikan bahwa sesungguhnya tidak ada jalan bagi pemahaman dan pengembangan pemahaman Al Qur’an kecuali dengan bahasa Arab. Dia berpendapat: “Sesungguhnya syari’at Islam yang diberkati ini adalah syari’at dalam bahasa Arab. Barangsiapa yang ingin memahaminya maka dari sisi bahasa Arablah dia dapat memahaminya. Dan tidak ada jalan untuk mencari pemahamannya dari sisi yang lain”.
Al Asqalani berpendapat bahwa pengetahuan bahasa Arab adalah salah satu dari kewajiban-kewajiban agama, dimana fikih agama tidak dapat dipahami kecuali dengan pengetahuan bahasa Arab.

Mu’jizat Al Qur’an pada bidang ketentuan hukum:
          Mu’jizat Al Qur’an pada bidang hukum terus berlanjut. Peradaban-peradaban manusia sepanjang sejarah, bahkan peradaban Barat Moderen, telah mengambil manfaat dari ketentuan-ketentuan hukum dan catatan-catatan fikih Islam.
Banyak dari para pakar Al Qur’an yang menganggap bahwa “ilmu tentang halal dan haram” adalah termasuk di antara mu’jizat Al Qur’an.
Muhammad Abu Zahrah, penulis buku Al Mu’jizat Al Kubro memberi alasan dengan mengatakan: “Hal itu karena apa yang dicakup oleh Al Qur’an dari hukum-hukum yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, dan penegakan hubungan antara anggota-anggotanya, atas dasar kasih sayang, rahmat dan keadilan, itu tidak ada sebelumnya dalam salah satu dari syari’at-syari’at bumi. Jika kita perbandingkan apa yang ada dalam Al Qur’an dengan apa yang ada dalam perundang-undangan bangsa Yunani dan Romawi, dan apa yang dilakukan oleh para reformis hukum dan tata negara dengan apa yang ada dalam Al Qur’an, maka niscaya kita dapati bahwa perbandingan tentang itu keluar dari penilaian logika manusia, walau hukum bangsa Romawi itu didirikan oleh kekaisaran Romawi dari pengalaman 1.300 tahun, sejak berdirinya kota Roma sampai tahun 500 M, dan walau hukum Romawi itu dirancang oleh para pakar hukum yang dilukiskan sebagai: Orang-orang yang cerdas seperti Solon peletak hukum Athena.
Muhammad s.a.w. datang dengan membawa Al Qur’an, menuturkan kebenaran dari Allah Ta’ala, tanpa suatu pelajaran yang dipelajarinya, sedang dia berada di suatu negeri buta huruf yang di dalamnya tidak ada lembaga pendidikan, tidak ada universitas, dan tidak ada pula tempat untuk belajar, dan dia datang dengan sistem hubungan sosial dan tatanan kemanusiaan yang tidak pernah ada sebelumnya dan sesudahnya.[112]
Penemuan-penemuan ilmiah meneguhkan bahwa Al Qur’an tidak bertentangan dengan fakta ilmiah apapun yang ditemukan dari masa ke masa, bahkan para pakar dan peneliti tidak dapat menemukan sebagian dari fakta-fakta ilmiah yang telah diisyaratkan oleh Al Qur’an lebih dari empatbelas abad yang lalu kecuali di masa moderen ini, dimana fakta-fakta Al Qur’an tidak bertentangan dengan fakta-fakta yang dicapai oleh penelitian ilmiah.
Penafsiran ilmiah merupakan satu di antara sarana-sarana yang paling kuat untuk menjelaskan mu’jizat Al Qur’an kepada generasi sekarang.
Muhammad Abdullah Deraz dalam bukunya Madkhal Ila Al Qur’an Al Karim[113] mengisyaratkan kepada fakta-fakta ilmiah dalam Al Qur’an seraya mengatakan: “Al Qur’an dalam seruannya kepada keimanan dan kemuliaan, tidak hanya mengajarkan kepada pelajaran-pelajaran keagamaan dan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung saja, tetapi dalam seruannya itu juga menggunakan fakta-fakta alam semesta yang tidak berubah, dan mengajak akal kita untuk mengamati hukum-hukum alam semesta yang tetap, bukan untuk tujuan mempelajari dan memahami alam semesta semata tetapi juga fakta-fakta ilmiah itu mengingatkan kepada Sang Pencipta Yang Maha Agung lagi Maha Besar. Dan kita perhatikan bahwa fakta-fakta yang disampaikan oleh Al Qur’an itu sepenuhnya sesuai dengan apa yang dicapai oleh ilmu pengetahuan moderen. Di antaranya:
-          Sumber terselubung yang darinya keluar air mani: {Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan}.[114]
-          Fase-fase penciptaan manusia ketika masing berada di dalam kandungan ibunya: {Maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan}.[115]
-          Jumlah rongga gelap yang di dalamnya berlangsung penciptaan manusia: {Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan}.[116]Yaitu rongga gelap dalam perut, rongga gelap dalam rahim, dan rongga gelap dalam selaput yang menutup anak dalam rahim.
-          Air sebagai asal-usul bagi segala makhluk hidup: {Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup}.[117]
-          Pembentukan hujan: {Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira}.[118]
-          Peredaran langit dan bumi: {Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam}.[119]
-          Bentuk bumi: {Maka apakah mereka tidak melihat bahwasanya Kami mendatangi bumi (orang kafir), lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya}.[120]
-          Perjalanan matahari sampai pada titik tertentu: {Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui}.[121]
-          Kehidupan binatang-binatang berkelompok-kelompok serupa dengan kehidupan manusia:  {Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu}.[122]
-          Penyampaian tentang kehidupan lebah secara khusus dan rinci: {Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)}.[123]
-          Berpasang-pasangan tumbuh-tumbuhan dan makhluk-makhluk yang lain, suatu fakta ilmiah yang belum diketahui di masa Rasulullah s.a.w.: {Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui}.[124]
Muhammad Abdullah Deraz menambahkan: “Sesungguhnya perumpamaan-perumpamaan terdahulu itu tidak membutuhkan suatu penafsiran atau penerangan, namun demikian mengandung kesamaan yang menakjubkan antara penjelasan Al Qur’an dan penjelasan ilmu pengetahuan, yang baru dibuktikan setelah diadakan penelitian yang berlangsung dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi, dan berakhir kepada hasil yang mutlak kebenarannya, berkat peran para pakar yang ahli di bidangnya masing-masing.
Apakah semua ini hanya suatu kebetulan belaka? Dan mampukah di masa Jahiliah seorang manusia yang tidak memiliki perangkat ilmu pengetahuan memaparkan ilmu-ilmu anatomi, astrologi, psikologi, sosiologi, teologi, dan cabang-cabang ilmu lain, yang memerlukan ragam kapabilitas ilmu pengetahuan yang rinci dan ragam percobaan ilmiah kolektif yang komprehensif lalu tiap-tiap bidang ilmu itu memberikan kepada kita fakta-fakta ilmiah yang abadi?
Ilmu pengetahuan telah meneguhkan bahwa penciptaan tata surya dahulu adalah gumpalan yang satu, lalu berpencar-pencar, lalu muncullah matahari dan rangkaian planet-planet yang berada pada garis edarnya.
Itulah fakta ilmiah yang dicapai oleh ilmu pengetahuan modern, yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Al Qur’an, setelah berabad-abad melakukan penelitian: {Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?}.[125]
Sebagaimana Al Qur’an memberitahukan tentang permulaan penciptaan alam semesta, Al Qur’an juga memberitahukan tentang akhir dari alam semesta itu: {(Malaikat berkata): "Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu". (Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya}.[126]
Sementara ilmu fisika masih ragu tentang permulaan dan akhir dari penciptaan alam semesta, Al Qur’an justeru sudah memberitahukan kepada kita secara meyakinkan tentang hal itu.
Di antara mu’jizat Al Qur’an di bidang ilmu pengetahuan adalah bahwa Al Qur’an tidak mengadopsi budaya dan ilmu pengetahuan alam yang dominan di masa ayat-ayatnya diturunkan, tetapi justeru melewati situasi masa silam dan melangkah ke masa depan: {Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?}.[127]

Mu’jizat Al Qur’an dengan pemberitahuannya tentang perkara-perkara ghaib di masa depan:
          Di antara bentuk mu’jizat Al Qur’an adalah pemberitahuannya tentang perkara-perkara yang ghaib, baik di masa silam maupun di masa depan. Pemberitahuan tentang umat-umat terdahulu yang disampaikan oleh Al Qur’an semuanya sesuai dengan kebenaran dan kenyataan, yang membuktikan bahwa sesungguhnya Al Qur’an adalah dari sisi Allah: {Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya}.[128]
Di antaranya adalah pemberitahuannya tentang apa yang terjadi di masa silam, seperti kisah penghuni gua (ahlulkahfi), Dzulqarnain, Musa dan hamba yang saleh, dan kisah-kisah nabi-nabi yang lain.
Dari manakah salah seorang dari para nabi dan rasul itu dapat bercerita tentang kisah penciptaan sejak bapak leluhur kita Adam a.s., tentang anak cucunya, dan tentang pembenaran yang benar dan pembatilan yang batil, jika bukan dari sisi Allah Ta’ala?
Di antaranya adalah pemberitahuannya tentang perkara-perkara ghaib di masa depan. Dan sesungguhnya Al Qur’an telah membuktikan sebagian dari pemberitahuan itu, semisal firman Allah Ta’ala dalam surat Ar Ruum: {Alif laam Miim, telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang. (Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui}.[129]
          Maksudnya: Rumawi Timur yang berpusat di Konstantinopel, yang dekat ke negeri Arab yaitu Syria dan Palestina sewaktu menjadi jajahan kerajaan Rumawi Timur. Dan bangsa Rumawi adalah satu bangsa yang beragama Nasrani yang mempunyai kitab suci sedang bangsa Persia adalah beragama Majusi, menyembah api dan berhala. Kedua bangsa itu saling perang memerangi. Ketika tersiar berita kekalahan bangsa Rumawi oleh bangsa Persia, maka kaum musyrik Mekkah menyambutnya dengan gembira karena berpihak kepada orang musyrikin Persia, sedang kaum muslimin berduka cita karenanya, kemudian turunlah ayat-ayat tersebut di atas menerangkan bahwa bangsa Rumawi sesudah kekalahan itu akan mendapat kemenangan dalam kurun waktu beberapa tahun saja, dimana waktu antara kekalahan bangsa Rumawi (tahun 614-615 M) dengan kemenangannya (tahun 622 M) adalah kira-kira tujuh tahun. Dengan kejadian yang demikian nyatalah kebenaran Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi dan rasul dan kebenaran Al Qur’an sebagai firman Allah Ta’ala.
          Di antaranya adalah pemberitahuannya tentang apa yang sedang terjadi: {Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir}.[130]

Kemu’jizatan Al Qur’an di bidang pendidikan:
Tentang metode Al Qur’an di bidang pendidikan, Allah Ta’ala Dia-lah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang baik bagi hamba-hamba-Nya: {Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?}.[131]
          Allah Ta’ala menjadikan seluruh kandungan Al Qur’an sebagai petunjuk ke jalan yang lebih lurus dari ilmu yang bermanfaat, perkataan yang baik, dan amal perbuatan yang saleh: {Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar}.[132]
Mu’jizat di bidang pendidikan itu berpulang pada penggabungannya antara pendidikan individu dan pemurnian masyarakat dalam satu konteks, hal itu dibuktikan oleh metode beribadah dan mu’amalah untuk memperbaiki individu, tatanan keluarga dan negara, bahkan dalam tata hukum pidana (hudud dan qishash) untuk kemaslahatan individu dan kelompok dalam waktu yang sama.


[1] Surat Al Maa-idah: 48
[2] Surat Al Maa-idah: 48
[3] Surat Al Baqarah: 143
[4] Surat Al Maa-idah: 48
[5] Surat Yunus: 37
[6] Surat Al Baqarah: 97
[7] Surat Ali Imran: 1-4
[8] Surat Huud: 120
[9] Surat Al Maa-idah: 44-46
[10] Surat Al Baqarah: 179
[11] Surat Al Anbiyaa’: 60
[12] Surat Al Baqarah: 183
[13] Surat Asy Syuura: 13-14
[14] Surat Al A’raaf: 157
[15] Surat Al Baqarah: 286
[16] Surat Al Maa-idah: 120
[17] Surat Ali ‘Imran: 78
[18] Surat Al Baqarah: 79
[19] Surat Al Baqarah: 75
[20] Surat An Nisaa’: 46
[21] Surat Ali ‘Imran: 78
[22] Surat Al Maa-idah: 14
[23] Surat Al Maa-idah: 68
[24] Surat Al Hadiid: 16
[25] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azim, jilid I, mukadimah.
[26] Surat An Naml: 76-79
[27] Hadis riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad.
[28] Surat Al Anbiyaa’: 107
[29] Surat Al Qamar: 17
[30] Surat Al Baqarah: 185
[31] Surat Al Hajj: 78
[32] Surat Al Baqarah: 286
[33] Surat Al A’raaf: 157
[34] Surat Al Baqarah: 286
[35] Surat Al Israa’: 9
[36] Surat An Nisaa’: 105
[37] Sayyid Qutub, Fi Zilalilqur’an, 2/ 901-902
[38] Surat Ashshaf: 6
[39] Surat Al Fath: 29
[40] Surat Al A’raaf: 156
[41] Surat Al An’aam: 21
[42] Surat An Nahl: 78
[43] Surat Qaaf: 6-7
[44] Surat Al Ghaasyiah: 17-20
[45] Surat Al An’aam: 11
[46] Surat Fushshilat: 53
[47] Surat Al An’aam: 115
[48] Surat Al Mulk: 14
[49] Surat An Nisaa’: 82
[50] Surat Ar Ruum: 30
[51] Surat Ar Ra’d: 17
[52] Surat Al Baqarah: 185
[53] Surat Ibrahim: 1
[54] Surat Al An’aam: 115
[55] Surat Al Israa’: 9
[56] Surat Az Zukhruf: 45
[57] Surat Al Baqarah: 256
[58] Surat Yunus: 99
[59] Surat Quraisy: 3-4
[60] Surat Al Kahfi: 29
[61] Surat Al Hajj: 39-40
[62] Surat Al Hajj: 40
[63] Surat Al Baqarah: 143
[64] Surat At Taubah: 71
[65] Surat Al Anfaal: 60
[66] Surat At Taubah: 78
[67] Surat Al An’aam: 19
[68] Surat Al A’raaf: 158
[69] Hadis riwayat Bukhari
[70] Surat Al Furqaan: 1
[71] Surat Saba’: 28
[72] Tafsir At Tabari, 22/66
[73] Surat Al Anbiyaa’: 107
[74] At Tabari, Tarikh Al Umam Wal Muluk, dan Ibnu Katsir, Al Bidayah Wan Nihayah, Daar Al Kutub Al Ilmiah, Beirut, 7/40
[75] Surat Al Anbiyaa’: 107
[76] At Tabari, Jami’ulbayan ‘An Ta’wiliqur’an, 17/83
[77] Surat Yunus: 99
[78] Surat Huud: 118-119
[79] Surat Al Baqarah: 256
[80] Surat Al Hajj: 39-41
[81] Surat An Nisaa’: 75
[82] Surat At Taubah: 12-13
[83] Surat An Nahl: 125
[84] Surat Al Anbiyaa’: 107
[85] Surat An Nisaa’: 58
[86] At Tabari, Jami’ulbayan ‘an Ta’wil Ayyiqur’an, 5/92
[87] Surat Al Maa-idah: 8
[88] Surat Al Baqarah: 143
[89] Fi Zilalilqur’an, 1/130-131
[90] Surat Al Hajj: 78
[91] Surat Al Hijr: 9
[92] At Tabari, Jami’ulbayan ‘an Ta’wil ailquran, 14/6
[93] Hadis sahih riwayat Muslim.
[94] Surat Al Qiyamah: 17-19
[95] Surat Al Baqarah: 179
[96] Surat Al Hijr: 94
[97] Surat Yusuf: 80
[98] Surat Al Baqarah: 24
[99] Surat Al Baqarah: 95
[100] Surat Al Hijr: 6
[101] Surat Al Qalam: 2
[102] Al Zarkasyih, Al Burhaan Fii Uluumiqur’an, 1/39
[103] Al Baqlani, I’jaz Al Qur’an, tahqiq Ahmed As Sayyid Shaqar, hal. 51
[104] Surat Ath-Thuur: 33-34
[105] Surat Al Israa’: 88
[106] Surat Huud: 13-14
[107] Surat Yunus: 38
[108] Surat Al Baqarah: 23-24
[109] Surat Fushshilat: 41-42
[110] Imam Syafii, Ar Risalah, hal. 48, cetakan Daarulfikri.
[111] Ibnu Taimiah, Iqtidhaa’ Ash Shiraathilmustaqiim, 1/69.
[112] Muhammad Abu Zahra, Al Mu’jizat Al Kubro Al Qur’an, 427-428
[113] Muhammad Abdullah Derz, Madkhal Ila Al Qur’an Al Karim, hal. 175-176
[114] Surat At Taariq: 5-7
[115] Surat Al Hajj: 5
[116] Surat Az Zumar: 6
[117] Surat Al Anbiyaa’: 30
[118] Surat Ar Ruum: 48
[119] Surat Az Zumar: 5
[120] Surat Al Anbiyaa’: 44
[121] Surat Yaasiin: 38
[122] Surat Al An’aam: 38
[123] Surat An Nahl: 68-69
[124] Surat Yaasiin: 36
[125] Surat Al Anbiyaa’: 30
[126] Surat Al Anbiyaa’: 103-104
[127] Surat Fushshilat: 53
[128] Surat An Nisaa’: 82
[129] Surat Ar Ruum: 1-6
[130] Surat Al Baqarah: 24
[131] Surat Al Mulk: 14
[132] Surat Al Israa’: 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar