Rabu, 13 Februari 2013

Bacaan Baru Dalam Rukun Islam Yang Kelima
                             
Haji dalam bahasa Arab berarti “maksud atau tujuan”. Secara terminologi berarti “wukuf di Arafah pada malam ke-9 dari bulan Dzul Hijjah, tawaf mengelilingi Ka’bah, dan sa’i antara Safa dan Marwah”.
Maksud dan inti dari manasik haji adalah menuju kepada kesempurnaan manusia dan menghadap kepada Allah Ta’ala melalui perjalanan waktu yang terus-menerus tanpa henti-hentinya.
Haji adalah pemenuhan panggilan Allah dalam diri seorang manusia, suatu panggilan yang dipenuhi pertama kali oleh Nabi Ibrahim a.s. Dengan demikian haji merupakan bukti nyata atas kebebasan dan upaya seorang manusia secara suka rela menuju ke hadapan-Nya. Manusia akan hadir di hadapan Tuhan mereka setelah kematian, tetapi seorang yang beriman akan hadir di hadapan Tuhannya sebelum tiba kematiannya. Kehadiran manusia di hadapan-Nya merupakan kehadiran paksa yang tiada pilihan bagi mereka, sedang seorang yang beriman datang kepada Tuhannya secara suka rela dan sesuai dengan pilihannya sendiri sebelum akhirnya ia hadir di hadapan Tuhannya untuk kedua kalinya secara paksa.
Haji dalam Islam bukanlah sekedar kunjungan keagamaan ke tempat-tempat suci sebagaimana terminologi “pilgrimage” mengartikannya, karena kunjungan keagamaan ke tempat-tempat suci mengandung makna adanya tempat tertentu dan tujuan akhir dari kunjungan itu, sedang haji adalah upaya yang mutlak dan abadi menuju ke hadapan Allah Ta’ala, yaitu suatu tujuan yang manusia tidak akan dapat mencapainya namun hanya dapat berusaha mendekatinya.
Haji adalah pengulangan sejarah Nabi Ibrahim a.s. Seorang haji meniru secara simbolis ragam tahap yang dikerjakan oleh Nabi Ibrahim a.s. selama kehidupan dakwahnya. Yang demikian itu di dalamnya terdapat isyarat bahwa Islam bukanlah suatu agama yang terputus dari agama-agama samawi sebelumnya, namun Islam merupakan episode terakhir dari agama-agama samawi sebelumnya yang menyerukan ketauhidan. Banyak dari ritual-ritual ibadah dalam Islam yang mengandung sebagian dari ritual-ritual agama-agama samawi sebelumnya. Berpuasa sebagai contoh telah dikenal oleh para pemeluk agama-agama samawi sebelum Islam.
Nampaknya masuk akal jika kita bertanya, mengapa manasik haji itu dikembalikan ke sejarah Nabi Ibrahim a.s.? Dan apa gerangan yang diwakili oleh sejarah Nabi Ibrahim a.s. sehingga Allah Ta’ala mengabadikannya dan mengulanginya dalam bentuk manasik haji? 
Sebagaimana umum mengetahui bahwa Nabi Ibrahim a.s. meninggalkan negeri Irak yang pada waktu itu peradabannya telah mencapai puncak kedewasaan dan kemapanan. Dia meninggalkan keluarganya untuk semata-mata menyembah Tuhan Yang Maha Esa, sementara penduduk negeri Irak menyembah berhala. Nabi Ibrahim a.s. setelah itu menuju Makkah, suatu negeri gurun pasir yang pada waktu itu dihuni oleh orang-orang badui dan belum mencapai tingkat peradaban sebagaimana yang telah dicapai oleh Irak, namun disana dia dapat menyembah Allah Yang Maha Esa. Bukankah yang demikian itu berarti bahwa dalam manasik haji terdapat suatu seruan yang gaungnya masih bergema untuk hijrah dari negeri madani dan hadari namun menyebarkan ateisme dan peribadahan kepada selain Allah? Bukankah dalam kepergian Nabi Ibrahim a.s. ke Makkah terdapat suatu upaya untuk menjauhi kehidupan peradaban, terdapat suatu kesempatan yang langka untuk mencermati kehidupan alam semesta yang sepatutnya akan mengantarkan manusia kepada pencipta alam semesta, dan terdapat peringatan kepada manusia bahwa sesungguhnya manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari alam semesta?.
Perjalanan Nabi Ibrahim a.s. mencapai puncaknya dalam penyaksian penyembelihan puteranya Nabi Ismail a.s. yang mengisyaratkan bahwa manusia selalu mencari hakikat dan berusaha untuk mencapai hakikat itu. Betapa besar usaha Nabi Ibrahim a.s. menyakini dirinya sendiri tentang perintah ilahi itu. Penyembelihan itu juga mengisyaratkan bahwa kehormatan seorang muslim sesungguhnya lebih besar di sisi Allah Ta’ala daripada kehormatan Ka’bah, karena Islam adalah agama yang menghormati manusia sebagai manusia bukan lantaran ragam faktor yang dimilikinya.

Petunjuk simbolis manasik haji:
Jika kita ingin menggambarkan ritual-ritual haji dalam satu kalimat maka dapatlah dikatakan bahwa manasik haji adalah “kesederhanaan”, suatu kesederhanaan yang mencapai puncaknya dalam bentuk pakaian ihram yang amat sederhana dan luput dari ragam fenomena kerumitan dalam rangka mencapai kesetaraan mutlak antar manusia, suatu kesederhanaan yang mengingatkan manusia pada pakaian kafan sebagai isyarat bahwa Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan seperti kehidupan dan kematian.
Tawwaf adalah rukun terpenting dalam manasik haji. Seorang muslim memulai manasik haji dengan bertawaf mengitari Ka’bah. Tawaf adalah ikrar praktis bahwa seorang muslim akan menjadikan satu titik sebagai pusat segala kerja kerasnya, dan bahwa ia akan bergerak pada satu lingkar, dan lingkar itu adalah pusat yang kita saksikan pada tingkat alam semesta dalam bentuk tata surya, dan tiap planet dalam tata surya mengitari satu garis edar yaitu matahari. Manasik haji mengajarkan kita agar kita menjadikan peribadatan kepada Allah Ta’ala sebagai pusat segala kehidupan kita. Kita mengitarinya, dalam garis edarnya, dan tidak akan keluar darinya.
Sa’i antara Safa dan Marwah bermula dari Safa kemudian kembali kepadanya. Seorang haji mengerjakan itu sebanyak tujuh kali, yang demikian itu secara praktis berarti bahwa usaha kita dalam kehidupan praktis kita berada dalam batas-batas tertentu.
Sisi yang hakiki dari wukuf di Arafat berkaitan dengan akhirat, dan pada waktu yang sama di dalamnya terdapat rahasia persatuan Islam, karena persatuan Islam tercermin dari berkumpulnya jema’ah haji di sekitar pusat yang satu.
Sementara melempar Jumrah mengisyaratkan penolakan manusia secara sepenuhnya kepada kejahatan yang terselubung dalam dirinya yang paling dalam.

Bacaan tentang dimensi-dimensi sosial dari manasik haji:
Peribadatan dalam Islam secara umum memperhatikan dimensi sosial masyarakat untuk mengurangi kecenderungan individualisme dalam masyarakat. Shalat diserukan oleh Rasulullah s.a.w. agar didirikan di masjid supaya kaum muslimin setempat saling kenal mengenal. Zakat disyari’atkan untuk mencapai keadilan sosial. Haji disyari’atkan dalam rangka pengadaan pertemuan sedunia dimana seorang muslim selama manasik haji dapat bertemu dengan saudara-saudaranya seakidah dari berbagai negara, dan pertemuan tersebut menjadikan haji sebagai tempat yang tepat untuk mengumumkan persoalan-persoalan sosial yang penting. Oleh karena itu persoalan-persoalan Islam yang terpenting diumumkan selama manasik haji, di antaranya pengumuman pembatalan perjanjian damai dengan kaum musyrikin yang terjadi setelah diturunkan surat At Taubah. Sebelum surat At Taubah diturunkan ada perjanjian damai antara Nabi Muhammad s.a.w. dengan orang-orang yang kafir dan kaum musyrikin. Di antara isi perjanjian itu adalah tidak ada perang dengan Nabi Muhammad s.a.w., dan bahwa kaum muslimin dibolehkan berhaji ke Makkah dan tawaf mengelilingi Ka’bah. Allah Ta’ala membatalkan perjanjian itu dan mengizinkan kepada kaum muslimin untuk kembali berperang. Hukum pembatalan perjanjian itu diturunkan di Madinah, namun diumumkan di Makkah selama musim haji. Hikmah di belakang itu bahwa Islam memperhatikan perkumpulan kaum muslimin pada satu tempat untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang penting dengan hati yang jernih dan dada yang lapang. Juga di antara persoalan-persoalan terpenting yang diumumkan dalam musim haji adalah khutbah perpisahan yang merupakan salah satu khutbah terpenting dalam kehidupan Rasulullah s.a.w., dimana Rasulullah s.a.w memberitahukan kepada kaum muslimin tentang ajaran-ajaran dasar agama Islam secara tuntas sebelum wafat. Rasulullah s.a.w. tidak mengumumkannya di tempat yang lain, bahkan menunda pengumuman itu sampai tiba musim haji di tahun kesepuluh Hijriah. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. bersabda pada pembukaan khutbahnya sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam sahihnya: (Wahai manusia, dengarlah sabdaku, maka sesungguhnya aku tidaklah mengetahui barangkali aku tidak akan lagi menjumpai kamu sekalian setelah tahun ini pada situasi seperti ini), kemudian Rasulullah s.a.w. memberitahukan kepada kaum muslimin ajaran-ajaran dasar agama Islam.
Khutbah perpisahan dikenal dengan nama khutbah penyampaian karena Rasulullah s.a.w. dalam khutbah tersebut menyampaikan kepada umatnya seluruh ajaran-ajaran dasar Islam, dan mengikat janji dari umatnya agar mereka menyampaikan ajaran-ajaran tersebut kepada orang-orang yang lain. Itu merupakan contoh yang sepatutnya dilakukan oleh khutbah-khutbah islami modern. Khutbah perpisahan itu tidak hanya terbatas pada pemahaman agama dan tidak pula berkisar pada ritual-ritual dan peribadatan-peribadatan saja, namun Rasulullah s.a.w meluaskan lingkar pemahaman khutbah tersebut agar meliputi prinsip-prinsip kerahmatan, kemanusiaan, dan penghormatan hak-hak asasi manusia, maka Rasulullah s.a.w. mewasiatkan pengharaman pertumpahan darah dan perampasan harta benda tanpa hak, juga mewasiatkan agar berbuat baik kepada kaum perempuan, dan menganggap yang demikian itu termasuk di antara ketetapan-ketetapan agama dan ajaran-ajaran dasar Islam.

Sarana Persatuan:
Haji adalah sarana pencapaian persatuan, karena cirikhas keberadaan kaum muslimin di masa kini adalah perselisihan pendapat di antara mereka. Perselisihan pendapat itu berpulang kepada pandangan bahwa haji telah menjadi perkumpulan tradisi ketimbang perkumpulan vital dan konduktif. Persatuan umat memerlukan adanya tujuan bersama antara kaum muslimin, semisal persoalan-persoalan kebangkitan umat ketimbang konsentrasi pada persoalan-persoalan kemazhaban yang sempit yang semakin mengoyak-ngoyak persatuan umat. Tentunya keberadaan elit jema’ah haji dari para pemikir dan cendekia, merupakan kesempatan yang baik dalam rangka tukar menukar pemikiran dan pengalaman.
Hikmah ilahi dari penyatuan pakaian ihram para jema’ah haji adalah pencapaian kesetaraan mutlak dan pencabutan segala bentuk diskriminasi. Pemakaian ihram tidak hanya berarti bahwa kaum muslimin telah mencapai tujuan Islam dalam rangka memberantas diskriminasi saja, namun juga berdampingannya sebagian dari kaum muslimin dengan sebagian yang lain tanpa membeda-bedakan warganegara dan warna kulit mereka. Haji merupakan kesempatan bagi banyak orang untuk melepaskan akar diskriminasi dalam diri mereka, khususnya dari orang-orang yang memeluk agama Islam tapi dilahirkan bukan dari dua orang tua yang muslim.      

Peran sejarah lembaga haji:
Lembaga haji sepanjang sejarah Islam memainkan peran penting dalam bidang sosial, politik, dan dakwah. Para jema’ah haji tatkala menunaikan manasik haji biasanya dipimpin oleh seorang amirulhaj atau yang mewakilinya. Amirulhaj menggunakan kesempatan selama musim haji untuk mencaritahu hal ihwal kaum muslimin dari seluruh dunia, berdiskusi, dan bermusyawarah dengan mereka tentang ragam urusan kenegaraan. Umar bin Al Khattab dahulu mengambil dari manasik haji sebagai sarana untuk menegakkan keadilan, menebar spirit musyawarah, dan mencaritahu hal-ihwal rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar